Ganesh memang mudah ngambek, tetapi enggak lama. Dia selalu luluh jika Vara sudah memeluk lengannya dan memasang raut wajah seperti anak bayi yang minta dikasihani. Rekor ngambek terparah Ganesh adalah dua hari. Dan itu terjadi karena Vara melupakan janji mereka untuk bertemu di bandara saat Ganesh datang mengunjunginya di Jakarta. Waktu itu, Vara lembur sampai jam lima pagi untuk menyelesaikan pekerjaannya agar bisa meluangkan waktu dengan Ganesh, tetapi Vara ketiduran dan baru terbangun jam dua belas siang.
Ganesh yang ngambek langsung ambil penerbangan lagi esok harinya, tanpa menyelesaikan kesalahpahaman di antara mereka. Vara yang tidak merasa bersalah atau berusaha membujuk Ganesh membuat semuanya semakin kacau. Barulah di hari selanjutnya, Vara yang goyah lebih dulu dan langsung terbang ke gunung Sewu untuk meminta maaf.
Vara, benar-benar tidak bisa kehilangan Ganesh.
“Untung aku enggak ngabarin dulu kalau dateng.” Vara menatap beberapa kantong kresek yang dimasukkan Ganesh ke dalam bagasi. Isinya ada kentang yang baru dipanen, alpukat, salak dan buah carica. Masing-masing beratnya satu kilo. “Kalau ngabarin, pasti oleh-olehnya nggak bakal muat dimasukin ke mobil.”
“Itu karena Ayah sama Bunda sayang banget sama kamu,” balas Ganesh, kemudian menutup bagasinya.
“Iyalah. Soalnya aku mantu perempuan pertama keluarga ini. Adik-adikmu kan masih sekolah semua. Cowok-cowok lagi.” Vara tersenyum lebar pada si kembar Varrel dan Varren yang mengantar Vara sampai ke depan gerbang. Bocah-bocah itu baru kelas lima SD, tetapi pintarnya luar biasa.
“Lain kali enggak perlu beliin mainan buat mereka,” kata Ganesh, sambil menatap Vara tajam. “Nanti jadi kebiasaan dan ngarep mainan terus kalau kamu dateng.”
“Orang aku datengnya enggak setiap hari kok.” Vara mengabaikan Ganesh dan mengusap kepala bocah kembar itu bergantian. Senyum Vara terlukis lebar. “Kalian baik-baik ya. Jaga Ayah sama Bunda di rumah.”
“Siap, Kak Vara!” Mereka berdua menjawab bersamaan, seperti prajurit. Varrel dan Varren memang pernah bercerita jika cita-cita mereka ingin jadi tentara. Vara memang gampang akrab kalau sama anak-anak, karena keponakan Vara sendiri ada sekitar tujuh orang. Yang paling tua sudah kelas dua SMA, dan yang paling kecil baru lahir kemarin.
Mereka kemudian bertos ria, tertawa bersamaan. Ganesh yang melihat itu, diam-diam juga menyunggingkan senyuman.
***
“Kemarin malem aku lihat kamu di street food deket rumahnya Vara.” Rahma berujar dengan nada tenang, padahal hatinya sudah terbakar cemburu. Mereka sedang di depan rumah Vara. “Padahal kamu bilang waktu itu lagi ada rapat sama klien penting dan nolak buat kuajak keluar.”
“Oh ya?” Dana menoleh, menatap Rahma dengan kening berkerut. “Aku emang ketemu sama klien di restoran dekat sana. Kenapa kamu nggak nyapa aku kalau emang liat?”
Rahma memandang Dana lekat-lekat, berusaha mendeteksi kebohongan di raut wajahnya. Rahma memang sengaja tidak menyapa mereka, tetapi Rahma mengabadikan kedekatan mereka dengan kamera ponselnya, sebagai bukti kalau-kalau Dana berusaha mengelak. Bibir Rahma baru saja terbuka hendak berujar, tetapi Dana mendahuluinya,
“Setelah ketemu klien, kemarin aku ketemu sama Miranda dan jalan-jalan bentar di steetfood.” Dana tersenyum tipis. “Aku udah pernah cerita soal Miranda kan? Adik tiriku? Dia baru pulang dari Paris dua hari lalu.”
Rahma mengerjapkan mata, beberapa kali. Amarah yang hendak dia keluarkan kini tertahan lagi di kerongkongan. “Ah, jadi itu Miranda, ya?” Rahma tersenyum canggung. Dia mencengkram ujung roknya, merasa bersalah karena sudah menuduh Dana yang tidak-tidak. “Aku belum pernah liat adiknya Mas Dana, jadi enggak tahu.”
“Harusnya kamu langsung nyamperin aku. Jangan menahan diri.” Dana tersenyum manis, kemudian mengusap puncak kepala Rahma penuh sayang. “Kamu pasti marah banget mikirin kemungkinan kalau aku selingkuh. Iya kan?”
Pipi Rahma sontak memerah. Dia hanya bisa menunduk sambil memilin roknya kuat-kuat. Tangan Dana kemudian terulur dan menggenggam punggung tangan Rahma lembut. Tatapan mereka kembali bertemu. Dana mengulas senyum manis yang menenangkan.
“It’s okay. Salah paham itu wajar, kok. Lain kali kalau penasaran, langsung samperin atau tanyain langsung. Jangan nyiksa diri kamu sendiri. Oke?”
Tubuh Rahma terasa meleleh seperti lilin yang dipanaskan. Meski begitu, senyum tipisnya terlukis. “Maafin aku, Mas. Seharusnya aku nggak berspekulasi dan langsung tanya sama kamu.”
Dana mengangguk. Dia melepas seatbelt-nya, memajukan tubuh dan mengecup kening Rahma. Dia berbisik di telinga Rahma kemudian, degan nada semanis madu. “Di dunia ini, hanya kamu satu-satunya wanita yang aku cintai, Rahma. Aku nggak mungkin minta kamu dari orangtua-mu kalau aku nggak bisa perlakuin kamu dengan baik.” Dia menjauhkan wajahnya dan menatap Rahma lekat-lekat. “Setelah kamu jadi istriku, kamu adalah tanggung jawabku sepenuhnya.”
“Aku beruntung banget bisa ketemu sama pria sebaik kamu.” Senyum Rahma terlukis lebar. Dia segera mengalungkan lengannya di leher Dana, memeluknya erat. “Mas Dana harus janji. Enggak boleh ada orang ke-tiga di antara kita.”
“Hmm.” Dana mengangguk. “Aku janji akan selalu setia sama kamu.”
***
Nongkrong lagi.
Katanya Gala sedang berada di sebuah kafe di kawasan Lembang. Elisha sungguh tak percaya dengan apa yang dirinya lakukan sekarang. Dia sedang mengemudi seorang diri ke kawasan Lembang hanya untuk bertemu dengan Gala yang mungkin saja akan menolaknya lagi. Tiga jam yang menguras tenaga dan mungkin akan berakhir sia-sia. Elisha bahkan tidak tahu apakah Gala sedang sendirian di sana, atau sedang nongkrong sama teman-temannya, atau justru liburan dengan pacarnya.
Kenapa sih, perusahaan tempat Elisha bekerja itu enggak punya harga diri? Bukankah seharusnya engineer yang pontang-panting nyari investor? Ini Elisha lagi menawarkan uang dengan jumlah besar, loh. Bisa buat beli cilok ribuan gerobak sekalian sama perusahaannya. Kenapa Gala sialan ini menolaknya mentah-mentah? Toh, dia juga yang bakal dapat untung besar jika mereka bekerja sama. Sumpah, Elisha enggak paham sama cara berpikir Gala.
Namun, Elisha lebih penasaran dengan alasannya. Kenapa dia seolah sengaja menyiksa Elisha?
Seluruh tubuh Elisha pegal-pegal saat akhirnya sampai di kafe yang dimaksud Pak Bram. Kafe itu letaknya di atas bukit, dengan nuansa tradisional yang pekat. Seluruh bangunan terbuat dari kayu yang diplitur mengkilat. Sayup-sayup, Elisha bisa mendengar suara live music band indie. Lirik dan musiknya terdengar asing.
Elisha menarik napas kuat-kuat, kemudian mengembuskannya perlahan. Jujur saja, Elisha malas bertemu Gala. Bocah tengil itu selalu bisa membuat Elisha darah tinggi. Entah hal absurd apa yang akan Gala lakukan nanti, Elisha tidak siap menerimanya. Begini amat memang, mau naik jabatan. Elisha rela melakukan semuanya asal tidak diajak tidur bareng.
Ketika membuka pintu mobil dan keluar, Elisha menyadari jika dia salah berpakaian. Elisha hanya memakai dress selutut berbahan sifon, dengan cardigan katun sebatas siku. Elisha tak menyangka jika udara Lembang bisa begitu dingin. Mungkin karena musim penghujan?
Bodo, Elisha. Kenapa kamu enggak datang dengan persiapan? Ini kayak bukan kamu sama sekali.
Sambil menenteng map, Elisha kemudian naik untuk menuju ke dalam kafe. Dia hanya bisa berharap jika Gala masih ada di sana. Kafe ini cukup ramai di siang hari menuju sore. Hanya tersisa beberapa kursi yang masih kosong. Rata-rata pengunjung kafe ini adalah anak muda berusia sekitar tujuh belas hingga awal dua puluhan. Mungkin karena nuansa kafe-nya sangat cozy dengan menu yang murah di kantong anak muda? Elisha mengedarkan pandangannya ke sekitar untuk menemukan keberadaan Gala, tetapi tak kunjung menemukannya.
Elisha kemudian memilih duduk di sebuah kursi. Perutnya keroncongan. Baiklah. Setidaknya Elisha harus beristirahat dulu sambil mengisi perut, kan?
Sambil membuka buku menu, Elisha mendengar sebuah lagu yang terdengar tidak asing. Dimainkan dengan iringan gitar akustik. Sebuah lagu yang mengingatkan Elisha dengan masa lalu. Itu adalah lagu yang dipopulerkan Pilot band, berjudul ‘Sepanjang Hidupku’. Elisha tidak bisa menahan diri untuk mengangkat kepala, dan terkejut saat melihat sosok Gala sedang duduk sambil memetik gitar di atas panggung. Dia menyanyi seperti seorang pro. Ekspresiniya tampak sangat menghayati. Dan, ajaibnya, suara Gala terdengar sangat indah, sopan masuk ke telinga Elisha.
Dia punya jenis suara dengan tone rendah, halus, namun memikat dan terdengar romantis, seperti Mahen.
Mata Elisha tak bisa beranjak dari sosok Gala, sampai cowok itu selesai dengan lagunya dan mata mereka bertemu tatap. Kemudian tanpa diduga, Gala tersenyum, begitu manis, ke arah Elisha. Mata mereka seperti terpaku dalam detik-detik yang mendebarkan.
Entah kenapa, Gala hari ini terlihat... agak tampan?