Malam itu Dinda tak bisa tidur, sejak bertemu dengan adik junior yang berani menyatakan cinta padanya. Hatinya mulai gundah, selama mereka tak bertemu. Dinda pikir, dokter itu akan mencari penggantinya. Tidak sulit bagi dokter Jodi yang memiliki paras tampan untuk mendapatkan kekasih baru. Banyak wanita pasti ingin menjadi pasangannya atau dengan kemapanannya sekarang keluarga akan memilihkan wanita yang sepadan.
Sikapnya tak berubah, Dinda merasakan kembali bagaimana posesifnya dokter muda itu mengendalikan tindakannya. Dia yang akan selalu mengingatkan kapan Dinda untuk makan dan beristirahat. Ia yang paling tahu bagaimana workholiknya Dinda. Saat sahur, Dinda tak punya alasan untuk tak menerima ajakan dokter Jodi untuk makan di kafetaria rumah sakit.
Ketika perpamitan dengan Maudy, Jo sudah menunggu untuk pulang bareng. Sebenarnya Dinda tinggal di rumah kontrakan tapi demi menghindari pertemuan pertemuan selanjutnya, ia minta diantarkan ke rumah orangtuanya saja, agar Jodi tak terus datang menemuinya.
Dinda memasuki kamar Hermita, adiknya. Tadi ia lihat adiknya sedang membuka tirai dan melihat Jo membukan pintu mobil untuknya, ia yakin Mita tak suka dengan pemandangan itu.
“ Mit, boleh kakak masuk ? “ ujar Dinda sambil mengetuk pintu pelan.
Pintu terbuka, tapi Mita tak terlihat di pintu. Dinda memasuki kamar adiknya, terlihat Mita sedang berbaring telungkup di Kasur. Ia memeluk bantal guling.
Dinda ikutan berbaring disamping adiknya, itu yang selalu ia lakukan setiap pulang ke rumah. Dinda tidak tinggal di rumah mama dan papanya. Ia memilih untuk mencari rumah kontrakan. Ia merasa tidak nyaman tinggal dengan ibu sambungnya itu setelah papa sakit.
Meski ia dan Mita tak punya tali darah, Dinda selalu menganggap Mita adalah adik kandungnya sama seperti Tyas dan Ibrahim yang merupakan adik satu ayah dengannya.
“ Kak, kakak jangan sampai suka juga ya sama dokter Jodi “ terdengar suara Mita yang resah. Dinda menggigit bibirnya, tadi saat ia turun dokter spesialis penyakit dalam itu bicara dengan nada pasti.
“ Aku tak akan melepaskanmu Din, sampai kau mau menerima lamaranku “
Dinda menghela nafas, meski tak menjawab apapun. Dinda tak bisa membohongi hatinya, cinta itu terlalu kuat untuk dia bohongi pada dokter yang terpaut usia lima tahun dengannya.
“ Kamu ngomong apa sih Mit, kakak sama Junior kakak itu cuma teman “
“ Junior ? “
Mita yang tadinya berbaring tiba-tiba duduk dan menatap Dinda serius. Ia memang mencurigai saat pertemuan bukber kemarin sepertinya kakaknya dan dokter Jodi saling kenal. Kenapa dokter Jodi tidak canggung berbincang dengan kak Dinda saat mereka menuju mobil.
Dinda menarik nafasnya, aduh..kenapa ia keceplosan. Ia ingin Mita tidak tahu soal hubungan dengan dokter muda itu saat dokter itu masih kuliah.
“ O…kebetulan kami satu organisasi dulu. Dia sama kakak sama sama aktivis PMI. Jodi junior kakak “
“ Kenapa kemarin, kaya nggak saling kenal. Diam diaman, nggak bilang..hai sudah lama ya kita nggak ketemu. Bang Rey saja mantan bos kakak bisa sumringah lihat kakak “
Dinda hanya tersenyum sambil mengacak acak rambut adiknya, ia ingat kalau dua adik kakak itu punya sifat yang bertolak belakang. Jodi memiliki sifat introvert, yang tak suka menunjukan perasaannya. Dia lebih kalem dari abangnya. Dinda ingat sekali saat pertama kali bertemu Jodi pada kegiatan Latihan Dasar Kepemimpinan, anak baru itu terlihat sangat gugup berbicara di depan mahasiswa yang lain. Dari sinilah semua bermula, ketika ada panitia Kesehatan memberitahunya kalau ada peserta yang pingsan saat jurit malam.
Ia sebagai ketua panitia yang bertanggung jawab atas kegiatan itu harus menunggu adik juniornya itu siuman. Adik junior yang punya tampang imut. Baby face.
Setelah sadar, mereka berbincang akrab. Jodi antusias pada semua kegiatan yang di bawahi Dinda. Mereka selalu ada ditempat yang sama. Mereka ikut menjadi relawan di daerah daerah yang terkena bencana. Ya..Jogja…Dinda ingat sekali junior yang masih duduk disemester 6 fakultas kedokteran itu menyatakan cinta padanya. Di bantu teman-teman satu organisasi mendukung maksud Jodi. Dindapun tak bisa memungkiri hatinya, ia juga punya rasa yang sama.
Saat itu ia dengan pasti menjawab ya…atas permintaan Jodi kalau mereka bukan hanya sekedar teman. Teman istimewa. Tapi saat Jodi melamarnya, ia harus menggantung jawaban itu.
“ O,,ya, Mit, ini ada sedikit reski kakak untuk bantu kuliah kamu “
Dinda menyerahkan amplop coklat ke tangan Mita.
“ Makaciiii…kakakku sayang “ Mita mencium pipi Dinda. Ia berlalu keluar kamar tapi sebelumnya ia mendengar suara pesan masuk dari hp Dinda.
“ Maaf ya kak, tadi aku kasih nomor kakak sama bang Reyhan, kakaknya bang Jodi “
Dinda menanggapi dengan senyuman. Ia tak bakal bertemu dengan mantan bosnya itu. bos raja gombal. Tak ada momen yang akan mempertemukan mereka tapi entahlah, kalau Tuhan mengabulkan doa doa mantan bosnya yang selalu ingin bertemu dengannya.
Dinda melihat pesan masuk. Dari jodi
[ Besok ada pertemuan alumni PMI, aku sudah konfirm kalau kita bisa ikut. aku sudah bilang sama ketua alumni kamu sudah balik ]
Mita balik ke kamar, Dinda buru-buru menutup layar pesan dan mengalihkan pada ikon rekaman vidio, tapi tak sengaja memencet vidio kenangannya bersama Jodi saat di Jogja, waktu Jodi menyatakan cinta. Buru buru Dinda mematikan hpnya.
'' Kak, papa mau ngomong. katanya ada perlu. tadi papa nelpon mama "
Dinda terpaksa menghidupkan kembali hpnya, baru saja hp hidup. sebuah panggilan sudah menggetarkan hpnya. tidak hanya hp tapi hatinya juga. buru-buru ia keluar kamar Mita. Jodi menghubunginya melalui panggilan suara.
“ Kenapa belum dibalas ” belum sempat ia mengatakan haloo, suara Jodi sudah memburunya.
“ Kan kamu sudah konfirm, aku mau jawab apa lagi ? ”
“ Bilang iya kek…”
“ Iya…iya…”
“ Iya kamu terima lamaranku ? ”
“ Sudah dulu ya, aku ada kerjaan. iya Insya Allah aku datang ”
Dinda menutup telponnya. Tak lama ada telpon masuk lagi. Kali ini ia lihat nomor tak dikenal.
“ Hai..cantik ! ” Dinda sudah hafal suaranya. Tadi sang adik sudah memblokir nomor kakaknya. Dinda tahu bagaimana bosnya itu mencari cara agar bisa bicara dengannya.
“ Assalamualaikum pak Reyhan ”
“ Eh..iya walaikumsalam calon ibu anak-anakku ”
“ Ngomong apaan, ngomong itu lagi, aku blok ni ”
" Eit, jangan ! kenapa sih kamu mesti ngeblok aku. rekan setim kamu ngundang bukber besok. mereka antusias pengen kamu datang pas tau kamu sudah di Jakarta lagi "
" Vani sudah punya anak dua, kamu kapan ? aku bersedia jadi calon bapaknya "
Dinda menurunkan telponnya. pertanyaan ini, pertanyaan yang selalu mengusik hatinya, umurnya semakin bertambah tapi ia belum punya pasangan juga. laki-laki yang menelponnya ini bahkan sampai berlutut memberikan cincin untuk memintanya jadi istri saat ia tengah asik bekerja.
“ Kayaknya nggak bisa pak, aku sudah ada janji sama Jodi ”
“ Jodi adikku ? ”
“ Iya..”
Mita yang berdiri tak jauh dari Dinda terbatuk. Dinda meniupkan nafasnya, ia lupa ada Mita di sampingnya.
“ Ada pertemuan alumni PMI, dulu kami sama sama aktivis PMI ”
“ Aku ikut ”
“ Ngapain ? ”
“ Mau donor donor, trus aku mau donorkan hatiku untukmu ”
Dinda tertawa. Mita yang tadi terlihat resah, menetralkan kembali mimik mukanya, ia meyakini kakaknya punya hati untuk kakak dokter Jodi bukan pada orang yang sedang ada di hatinya.
“ Bikin hatiku tertawa dong ”
“ Caranya ? ”
Meski Dinda malas mendengarkan gombalan selanjutnya, tapi ia suka juga digombali.
“ Bilang I lope you too …”
“ Aku blok ni..ya.. ” ancam Dinda. tapi tanggapannya membuat hati Dinda luluh.
“ Blok saja nomorku, tapi jangan kau blok hatiku ”
“ Undur saja acaranya, besoknya lagi gimana ?. aku juga kangen pak sama timku dulu ”
“ Wokeeeh…untukmu Dinda, apa yang tidak. Gunung kan kudaki, laut kan su berangi ”
“ Gombal ! ”
“ Cantik ! ”
Bu Hana masuk ke dapur dan melihat Dinda sedang berbincang akrab dengan seseorang di telpon.
Entah kenapa, dari dulu bu Hana seperti tidak menganggap kehadiran Dinda sebagai anak sambungnya.
“ Ma..biar aku bantu ” tawar Dinda sambil mengambil kantong kresek yang berisi penuh belanjaan ditangan ibu sambungnya. Bu Hana memberikannya tapi tak memberikan sedikit senyum untuk Dinda. itu sudah berlangsung sejak Dinda kecil. Bu Hana tak menerima kehadirannya sebagai anak papa. Seperti papa menerima Mita sebagai anaknya.
“ Din, kenapa kamu nggak jawab telpon papamu, dari tadi ia nelponin mama nanyain kamu terus, papamu itu sudah tua, jangan buat dia susah. tiap hari dia mikirin jodoh kamu ”
Dinda ingat kalau tadi Mita menyampaikan kalau ayahnya ingin bicara. tapi kakak beradik itu sudah menyita waktunya. Sekarang ayahnya sedang menunggui toko yang juga dibelikannya. Prestasi kerjanya yang bagus di kantor sebagai Public Relation membuatnya sering di beri bonus. Apalagi saat bekerja dengan Reyhan. Bonusnya sering dilebihkan dari yang lain. Ia selalu menerima banyak lembur. Mungkin ini sebagai pemicu penyakit yang ia derita sekarang. Tapi ia tak ingin ayahnya tau soal diagnosa kanker itu.
“ Iya..ma, nanti Dinda ke toko ”
Ketika Dinda melangkah kaki keluar. Langkahnya terhenti oleh sindiran ibu sambungnya itu.
“ Kamu jangan ambil hati ucapan anak bu Rahmi. dia memang begitu sama orang, mungkin saja dia sudah punya pacar ”
“ Ya..ma ”
“ Trus..jangan coba-coba merayu adiknya, Dokter Jodi itu sudah dijodohkan dengan adikmu ”