Tentukan pilihanmu, Dinda

1007 Kata
Jo menarik Dinda ke sebuah sudut ruang tunggu yang sedang sepi. Dinda merasakan cengkaram tangan Jo menyakiti lengannya. " Benar bang Rey melamar kamu ? " tanya Jo sambil menekan Dinda ke dinding, dokter muda itu seperti tidak bisa menahan emosinya lagi. " Ini lepasin dulu Jo, sakit " rengek Dinda menunjuk lengannya yang dicengkram Jo. Jo menghela nafas lalu melepaskan cengkramannya dan mengatur nafasnya yang memburu karna emosi. " Maaf " ucapnya seraya menatap mata mantan kekasihnya penuh arti. " Apa jawabanmu pada bang Rey ? " lanjut Jo. Dinda menoleh sebentar, ia merengut karna lengannya terasa sakit ulah Jo. " Aku tolak " Dokter muda itu merasakan dadanya terasa lega oleh sesak yang menghimpit d**a karna tak suka melihat abangnya merayu wanita yang dicintainya. " Lalu bagaimana dengan permintaan aku Din ? bukannya aku orang yang kamu cintai ? kenapa kita tidak bisa menikah ? " beruntun pertanyaan keluar dari bibir Jo. Suara itu kembali terdengar emosi. Dokter yang biasanya terkenal tenang dan kalem malam ini menjadi tantrum setelah bertemu kembali dengan wanita yang ia cintai. Hanya menunggu sebuah jawaban, ya atau tidak. Dinda menatap Jo sebentar lalu ikut menghela nafas, bibirnya bergerak ingin berkata sesuatu tapi tak jadi, ia malah berjalan menjauhi Jo. Dokter itu masih bisa meraih pergelangan tangannya. " Lepas Jo, kalau tidak aku akan teriak " Jo berdecak dan membiarkan Dinda menjauh. Ia mengikuti kemana Dinda pergi, ternyata Dinda mencari kafetaria yang ada di rumah sakit. Dinda masih merasa lapar, acara pertemuannya dengan dua laki-laki yang pernah punya kisah dalam hidupnya membuatnya tak nyaman menikmati makanan. Dinda mencari tempat duduk di sudut kafe. Jo ikut duduk di hadapannya. Paramedis yang ada dalam kafe melirik tingkah Jo yang terlihat tak biasa malam ini. Mereka memindai Dinda, kenapa Jo terlihat keluar dari jati dirinya yang pendiam dan dingin pada wanita yang terlihat lebih dewasa darinya. " Biar aku yang pesan " sergah Jo saat Dinda didatangi pelayan kafe. Ia menyampaikan makanan seperti apa yang harus Dinda makan. Ini adalah kebiasan yang dulu sering ia lakukan ketika mereka makan bersama di tempat makan. Dinda membiarkan saja dari pada dokter itu akan memberinya kuliah soal menjaga pola makan yang baik. Beberapa orang dokter perempuan memasuki kafe dan melihat ke arah Jo dan Dinda. Dinda merasa risih dengan tatapan mereka, seolah olah ia adalah musuh yang harus di waspadai. " Dokter wanita disini, cantik cantik ya Jo, masa nggak ada satupun yang kamu taksir " ulas Dinda sambil menuangkan saus ke soto yang dipesankan Jo. Jo mengambil alih saus ditangan Dinda, ia menuangkan sedikit dari porsi yang diinginkan Dinda. " Tambah Jo " " Nggak " " Sambal boleh " " Boleh dikit " Dinda mendengus tapi tak membantah saran sang dokter. Ia mulai menyendok makanan ke mulut. Jo mengambil kepuruk yang ada di depannya dan memberikannya pada Dinda. Semuanya seolah berputar seperti saat lima tahun lalu. Saat mereka resmi tak malu menunjukan hubungan istimewa mereka diantara teman teman Dinda maupun teman Jo. Dinda membuka bungkusan kerupuk itu dan memberikannya pada dokter yang selalu bersikap manja padanya, setegas apapun ia memberi batasan. " Kamu belum jawab pertanyaan aku Jo, diantara mereka pasti ada yang menarik perhatianmu " Jo menanggapi dengan senyum tipis, ia mengambil tisu lalu melap tepi bibir Dinda. Beberapa pasang mata semakin tertegun dengan pemandangan itu. Dinda merasakan darahnya berdesir menerima perlakuan laki laki di depannya. Berapa kali pun ia mengatakan ia lebih tua dari sang dokter tetap saja Jo akan bersikap dia adalah pria dewasa yang sedang jatuh cinta. Ponsel Dinda berdering, ia melihat nomor tak dikenal melakukan panggilan suara. Foto profil kucing anggora muncul d layar, Dinda merasa itu adalah dari kliennya. Ia mengangkat panggilan itu dan terkejut oleh suara yang menyapanya. " Malem Din " " Pak Reyhan ? " tanya Dinda memastikan si pemilik suara adalah orang yang ia kenal. " Yoi, hafal betul kamu suaraku " lanjut si penelpon. Dinda melihat ke arah Jo, ekspresi sang dokter terlihat kesal. " Ya..ada pak ? " " Astaga Dinda, sebentar lagi kita jadi suami istri masa kamu tetap aja manggil aku pak. Abang dong atau mas, bagusnya...ayang Rey " Dinda menekuk wajah, ia sudah siap siap makan rayuan mantan bosnya. " Apa...pak..maaf sinyal di sini jelek...halooo..halooo..." Dinda mematikan panggilan. Ia terkejut dengan tangan Jo yang merebut hpnya. Dengan cekatan ia memblokir nomor yang ia tahu itu kontak itu milik siapa. " Jangan ladeni dia lagi " ucapnya posesif. Dokter itu melihat jamnya dan memanggil pelayang kafe untuk membayar makanan Dinda. Ia meninggalkan sang mantan kekasih yang terpaku menatap punggung tegapnya. Sementara di ruang rawat Maudy. " Jo kenal Dinda ? " tanya Bima suami Maudy, ia juga seorang dokter. " Bukan kenal lagi sudah sayang sayangan " " Kok Bisa, bukannya Dinda seusia kamu dek. Beda jauh lo umur mereka " " Cinta nggak kenal umur, Jo yang dari dulu naksir Dinda. Tapi sayang, sekarang hubungan mereka gantung " Bima membukakan pintu yang diketuk beberapa kali. Suami istri itu saling pandang melihat wajah sendu seorang dokter muda. " Aku sudah nggak tahan lagi kak, kenapa dia betah nyiksa perasaanku. Aku siap kak kalau seandainya dia jawab tidak " keluh Jo, seperti biasa ia akan berkeluh kesah pada Maudy soal Dinda. Bima menepuk bahu Jo, ia mengulum senyum baru kali ini ia lihat dokter yang terkenal bijak dalam menangani pasien sekarang jadi pusing sendiri dengan penyakit yang di deritanya. Malarin akut. " Begini dok, wanita itu memang sulit dimengerti, tapi kalau jodoh tidak akan kemana " Maudy menatap Jo serius, kali ini ia bukan ingin memberikan bimbingannya sebagai dokter senior tapi sebagai sahabat Dinda yang mengerti situasi apa yang tengah dhadapi Dinda. Sahabatnya itu melarang memberitahukan pada siapapun tentang apa yang ia derita. " Dinda punya alasan Jo, suatu saat kamu pasti mengerti kenapa dia bersikap seperti ini " " Tapi aku nggak akan nyerah kak, dia harus tahu seberapa kuat aku berjuang untuknya " Dinda yang berdiri di depan pintu, mendengar jelas perkataan laki laki yang masih memiliki tempat di hatinya itu. Ia menyandarkan punggung ke dinding dengan perasaan tak berdaya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN