First Case

2912 Kata
Hendrik atau biasa disapa Haechan, tengah duduk membaca komik favoritnya seperti biasa. Duduk lesehan di belakang kelas dengan tatapan fokus pada komiknya itu. Cowok berkulit agak gelap itu terkikik sendiri membuat Yuta di sebelahnya yang sedang merunduk bermain hape jadi bergidik horor. Hendrik membalikan komik bacaannya, kali ini mengangguk-nganggukan kepala berusaha mencerna alur cerita yang dibacanya. Cowok itu tidak sengaja mengangkat wajah bertepatan dengan Jaya yang baru masuk ke kelas. Keduanya bertatapan sekilas membuat Hendrik jadi heboh sendiri. Pengen nyapa tapi takut dijadiin adonan. Gak nyapa juga curiga kalau Jaya bakalan hajar dia sampai babak belur. Tapi, masalahnya sekarang mereka berdua sudah menjadi partner kerja untuk menstabilkan keadaan kelas yang bacotnya minta ampun. Sebagai wakil ketua kelas yang menjabat satu semester ke depan, kurang beradab kalau ia tidak menyapa ketuanya sendiri. "Hai, Jay." Sapa Hendrik sudah melambai riang ke arah cowok yang baru saja mendudukan diri pada kursinya itu. Jaya yang namanya baru saja disebut jadi menoleh sesaat, menaikan alis kirinya sebagai balasan. Yuta yang berada di antara keduanya jadi makin bergidik sendiri. Ini mau kiamat apa bagaimana. Kenapa Jaya mendadak bisa nyapa balik begini. Biasanya dia juga suka nyapa balik sih, tapi pake bogeman. Emang anaknya seliar dan se-sensitif itu. 24/7 emosian, melebihi emak-emak yang lagi datang bulan. Kebayang kan gimana cowok itu kalau ngamuk. Sudah banting sana-sini, hajar kanan-kiri. Ya, kalau mau selamat pokoknya harus menghindari pemuda yang alis kirinya terbelah itu. "Sok akrab banget lo, pake nyapa-nyapa dia segala?" Bisik Yuta penuh penekanan. Hendrik melengos samar dengan menutup komiknya pelan, "sekarang gue sama Jaya partner kerja. Jadi, kita sudah akrab dan punya hubungan spesial yang gak orang tau." Jelas pemuda itu asal lalu sontak merunduk saat Jaya berdiri menggeser kursinya. Jaya melangkah ke luar kelas dengan kedua tangan mengisi masing-masing saku celananya. "Anju, gue hampir jantungan tadi. Kirain dia mau hampirin gue karena gue sok akrab." Racau Hendrik heboh sendiri, Yuta menggeleng heran sembari kembali merunduk pada hapenya bermain game. "Jangan terlalu baper sama Jaya, dia gak bakalan mau dekat-dekat sama orang. Apalagi lo yang cuma butiran debu." Sahut Yuta berusaha menyadarkan. "Gak butiran debu juga dong, zigot." Protes cowok itu dengan menghela napas kasar. Yuta mengedikan bahu tidak mau ambil pusing. Hendrik menggelengkan kepalanya pelan, sama sekali tidak setuju dengan perkataan Yuta. Sebenarnya Jaya itu baik kelihatannya, tapi mungkin karena emang tatapannya yang menakutkan jadi orang-orang susah buat dekatin. Tapi, masalah Jaya itu kalau marah sama orang bukan cuma natap tajam atau sinis gitu. Tangannya juga ikut melayang, makanya orang-orang cari aman agar gak berurusan sama cowok itu. Sumpah ini lebih nyeremin dari film setan di laptopnya Yuta. Setan-setan di sana kalau disandingin sama Jaya pasti lebih sereman Jaya. Setan gak akan ada harga dirinya lagi kalau ada Jaya. Hendrik berdiri, mengusap belakang celananya sesaat. "Kemana lo?" "Kantin, mau beli minum, haus dari tadi ngebacot." Katanya sudah merogoh saku seragamnya yang tidak berdasi, "gue titip mineral gelas ya dua, besok gue bayar." Hendrik mendecak sembari melotot pada Yuta yang sama sekali tidak peduli. "Utang lo dari kelas sepuluh belum lo bayar ya, setan. Ini lo mau ngutang lagi? Emang gue orang kaya yang bisa bersikap dermawan sama rakyat jelata?" Geramnya sudah ingin menimpuk Yuta dengan sepatunya. "Elah, utang gue kan cuma seratus ribu doang." "Heh! Utang lo dua ratus ribu tiga puluh sembilan ribu lima ratus perak ya, jangan korupsi lo." "Eh anjir, dijabarin segala. Nanti gue bayar." "Nanti kapan?" "Pas gue ada uang." Hendrik berusaha bersabar lalu melangkah pergi dengan menggerutu sepanjang jalan. Ia pun melangkah keluar kelas dengan merapikan kancing seragamnya. Pemuda itu menghentikan langkahnya, memandangi sosok di depannya yang sekilas menatap ke arahnya. "Kelas berbeda di mana?" Tanya pemuda itu dengan alis bertautan, Hendrik menunjuk kelas berbeda dengan dagunya. Cowok berambut panjang agak menutupi matanya itu langsung berbelok masuk tanpa mengucap terima kasih. Hendrik jadi mendecak berusaha bersabar. Kalau diingat-ingat anak itu kayaknya kemarin gak masuk. Apa karena keberadaannya tak kasat mata makanya tidak kelihatan. Ya, bodo amatlah. Sekarang Hendrik mau ngantin dulu. Siapa tau ada adik gelas yang mau mentraktirnya makan. Jadinya dia tidak usah mengeluarkan uang sakunya. "Haechan!" Hendrik atau Haechan itu menoleh pada sosok tengil yang kini berlari mendekatinya. Ia sudah mengenali cowok ini dari kelas sepuluh. Karena mereka punya hobi yang sama yaitu membaca komik. Tapi, Hendrik bacanya yang rate 21+. Sedangkan cowok ini komik dalam aplikasi. Jadinya, Hendrik sering dipanggil Haechan. Haechan alis Hendrik Candra. Iya, emang gak ada hubungannya. Sampah, emang. "Napa lo?" Juteknya melanjutkan langkahnya membuat Gilang mendelik samar. "Cuek amat dah, padahal kemarin kita udah senang-senang di kelas." Katanya dengan mengedipkan sebelah matanya. Haechan mengumpat kasar, mendorong pemuda itu menjauh darinya. "Kalem, kalem, gue becanda." Ujarnya terkikik geli. "Jangan bacot ya, gue lagi butuh ketenangan untuk memulai pagi ini." Kata cowok itu sudah puitis. "Gimana kalau kita temui adik kelas, pura-pura jalan depan kelas mereka aja. Gue juga kenal beberapa di kelas X-4." Haechan langsung berbinar dan meraih kedua tangan Gilang memegangnya haru. "Lo emang sobat paling baik, nanti gue traktir bakso aci." Katanya sudah menarik lengan Gilang antusias. Keduanya pun sudah berbelok ke arah koridor kelas sepuluh. Jalan menyebrang lapangan dengan langkah sok keren. Gilang bahkan sengaja membuka dasinya agar terlihat seksi. Berbeda dengan Haechan yang berulang kali menyisir rambutnya ke belakang sampai tangannya kebas sendiri. "Itu depan kelas sana, harus pasang muka sok jutek gitu. Ciwik-ciwik kan paling suka sama tipe yang bad boy dingin begitu, jadi lo harus bisa menjadi bad boy hari ini untuk memikat hati adik kelas." Bisik Gilang memberi ide, Haechan mengangguk saja dengan pedenya. Keduanya sudah melangkah di koridor kelas sepuluh, beberapa murid kelas sepuluh jadi menoleh ke arah keduanya yang tumben-tumbenan melewati kelas mereka pagi itu. "Kak Gilang." Gilang dan Haechan menghentikan langkahnya saat seorang gadis berdiri menghadang keduanya. Haechan sudah mode bad boy, alisnya sedari tadi sengaja ia angkat dengan membusungkan dadanya agar kelihatan tegap. Tapi, jadinya malah kelihatan kayak orang ayan. "Kak Gilang kenapa gak pernah chatt aku lagi?" "Eh dek Chelsea, bukan begitu. Kemarin kan emang lagi sibuk belajar karena kenaikan kelas." Jelas Gilang dengan nada manis membuat Haechan menahan diri tidak memuntahkan isi perutnya. "Ah, aku kira Kak Gilang udah gak mau chattan sama aku karena kemarin aku sempat salah paham sama kakak." Ujar gadis cantik itu malu-malu. "Gak dong, Kak Gilang masih tetap free sampai bisa mendapatkan dek Chelsea, eh keceplosan." Kata Gilang sok kaget membuat gadis bernama Chelsea itu merunduk malu dengan mukanya yang memerah. Haechan menggelengkan kepalanya pelan, merasa takjub dengan topeng yang Gilang pakai. "Dek, kalau begitu kita pamit dulu ya. Itu udah mau bel masuk, dah Chelsea. Semangat belajarnya ya." Gilang sudah tersenyum manis sembari menjulurkan tangan memegang kepala mungil Chelsea. Setelah itu pun Gilang melenggak pergi dengan langkah pelan membuat Haechan mau tidak mau mengekori. "Lo bilang mau kenalin gue ke adik kelas, gimana sih?" Protes cowok berkulit agak gelap itu, "lo belum siap, brother. Besok lagi ya, semoga beruntung." Kekeh Gilang sudah berlari duluan meninggalkan Haechan di koridor anak kelas sepuluh. Pemuda itu menggerutu sepanjang jalan dan menyumpahi Gilang agar diputusin pacarnya. Padahal tadi ia sudah berusaha terlihat tampan di depan adik kelas. Namun, sayang sungguh sayang. Keberadaannya tak kasat mata. ** Bento menaruh hape dalam laci meja, mulai merasa bosan karena sedari tadi hanya menggulir layar hapenya asal. Ia menyenderkan punggungnya pada kursinya sembari memandangi anak kelas yang belum semuanya datang pagi itu. Cowok itu menaikan alisnya saat melihat Bastian di kursinya tengah mengemili keripik kentangnya dengan lahap. Sesekali mencoleknya pada sambal dalam kemasan. Bento beranjak berdiri, menghampiri pemuda itu yang jadi melirik saat dihampiri olehnya. Bastian langsung menutup snacknya dan memasukannya ke dalam laci membuat Bento mengumpat samar. "Najis, pelit banget lo." Umpat cowok itu sudah melotot, "loh? Kan makanan gue kenapa jadi lo yang marah." Balas Bastian dengan menatap dagu sengak. "Ya, bagi dikitlah. Gue belum ada sarapan nih, tukang bubur yang biasanya lewat depan rumah tadi pagi gak ada." Cerita Bento mendadak curhat. "Itu sih, derita lo. Jangan memakai trik murahan begitulah biar dikasih snack." Cibir Bastian dengan menggoyang-goyangkan bahunya dengan tengil. "Gue besok bawa mangga muda, gak akan gue bagi sama lo ya, setan." Geram Bento penuh dendam, "eh, lo ada pohon mangga?" Tanya Bastian berbinar. "Ada, kenapa emang?" Bastian mendecak, dengan mencolek lengan Bento samar. "Lo mah baperan ya, gue kan cuma becanda. Ini, ini ... gue bagi snacknya." Ujarnya sudah kembali mengambil snack dalam laci meja, menyodorkan pada Bento untuk makan bersama. Bento langsung merekah dan menarik kursi langsung duduk di hadapan Bastian, mulai mengambil keripik kentang satu-persatu. "Beneran ya besok bawa mangga muda, gue bikin sambal dari rumah deh. Biar besok kita makan di kelas, gimana?" Saran Bento dengan tatapan berbinarnya, "boleh. Lo bawa cutter juga," tambah Bento sudah membagi tugas. "Entar dirajiah guru, ege. Pake gigi aja kenapa sih, masih kuat nih." Katanya mengacungkan giginya ke depan Bento membuat temannya itu langsung mengumpat kasar. "Ya, masa pake gigi?" "Kenapa sih, atau minjam di ibu kantin aja pisaunya. Atau lo motong dari rumah dulu deh, biar sampai sekolah langsung makan." Kata Bastian dengan menaik-turunkan alisnya. "Dih, emang gue segabut itu? Gue sibuk, jadi motong sendiri aja di sekolah." Kata Bento tidak setuju. "Elah, perhitungan banget." "Biarin." Bento kembali mencolek kentang, sedangkan Bastian sudah menggerutu di depannya. Masih membicarakan masalah cutter. "Kau bohong kau bohong lagi lagi ... dan aku percayaaa," Yogi sudah mengambil sapu di sudut kelas dan memegangnya menjadikannya mic. Pemuda itu sudah berdiri di depan kelas, bernyanyi lagu sedih dengan ekspresi sendu yang dibuat-buat. "SAYA CEMBURU ... SAYA CURIGAAA. KAU ... ADA MAIN DI BELAKANGKU..." Lanjut Bento sudah bangun dari kursinya. Melanjutkan lirik lagu lain. "Bang jali ... bang jali ... Asik asik joss!" Yogi sudah menggerakan kedua dadanya ke depan dan ke belakang lalu bergerak mengibas rambutnya pendeknya. Bento sudah maju dengan berjoget seperti Denny Cagur, menggerakan pinggul dan kakinya ke kiri dan kanan dengan tangannya bergerak seperti adegan silat. Keduanya makin heboh saat Lucas datang, pemuda itu langsung menyeruak dan bergabung. Goyang ngesot di lantai dengan gaya kupu-kupu. Yuta yang baru masuk kelas dengan Hendrik jadi saling pandang lalu ikut juga. Yuta cosplay jadi tukang sawer, mengusap-ngusap rambut Yogi kasar sampai pemuda itu hampir terjengkang ke belakang. Hendrik sendiri sudah mengambil topi entah milik siapa di atas meja untuk meminta sumbangan pada anak kelas. Suasana kelas berbeda makin bising dan tidak terkendali. Bahkan, sudah ada yang mengangkat kursi sembari menggoyangkan pinggulnya. Jake baru masuk setelah tadi habis dari ruang tata usaha untuk mengambil seragam olahraga yang baru. Pemuda itu tersenyum samar melihat teman-teman kelasnya yang sudah asik di depan kelas. Hanung tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia mengambil hapenya dan langsung menbuka ** live di sana memperlihatkan teman kelasnya yang sudah joget-joget di atas meja guru. Yuta sudah menyenderkan kepalanya pada papan tulis, sembari berjoget seperti orang mabuk di sana. Bel masuk sudah berbunyi, namun mereka masih melanjutkan dangdutannya. Belum mau berhenti. Bayangan seseorang berdiri di depan kelas, ada sang guru di sana yang menatap mereka tajam. Tapi, tidak dihiraukan. Malah anak-anak itu makin menjadi-jadi. "Berhenti semuanya!" Sentak sang guru dengan suara lantangnya. "Lagi asik, pak." Balas Yogi masih menjadikan sapunya gitar kali ini. Jake yang berdiri di samping sang guru menggebrak pintu membuat semuanya jadi terdiam. Langsung kicep dan bubar ke meja masing-masing dengan napas ngos-ngosan. Capek juga joget-joget di kelas. "Semua yang joget-joget tadi sekarang ke ruang BK." Ujar sang guru sudah berlalu pergi meninggalkan kelas berbeda. Semua murid saling pandang dengan alis bertautan, "ngapain ke ruangan BK, njir. Cuma joget-joget doang." Cibir Yogi dalang mulainya dangdutan. "Siapa tadi yang joget di atas meja? Itu kali yang bikin gurunya marah." Sahut Bento dengan menyeka keringatnya pada pelipis. "Gue, nyet. Enak aja gitu joget di atas meja, berasa konser." Aku Yuta tanpa beban membuat Haechan menepuk keningnya heran. "Terus gimana sekarang? Yakali kita semua ke sana, nanti dihukum kan gak enak." Gerutu Lucas memrotes. "Sudah, sudah, lebih baik kalian ke sana aja dulu. Daripada bikin Pak Jaelani tambah marah," saran Jake lebih kalem, "Pak Jaelani siapa?" Bingung Yogi dengan alis bertautan. "Wali kelas lo, gob." Balas Bento jadi kesal sendiri. Yogi merapatkan bibir lalu cengengesan untuk menutupi rasa malunya karena tidak mengenali wali kelasnya sendiri. "Buruan yang tadi joget-joget, langsung ke ruang BK." Ajak Hendrik beranjak lebih dulu membuat Yogi, Yuta, Bento dan Lucaa langsung mengekor. Bastian juga beranjak meraih ranselnya dengan sekilas melirik jam tangannya. Cowok itu berjalan bersama teman-temannya yang pergi menuju ruang BK untuk di sidang. Sedangkan, dirinya ada tujuan lain. "Lo mau kemana, woi?" Kesal Bento pada Bastian yang sudah berbelok ke belakang sekolah. "Bolos, malas di sekolah. Gak seru," balas Bastian santai lalu melambai pada yang lain dengan tersenyum lebar. Bento memandangi itu dengan lelah. Cowok itu tidak mau peduli, sekarang bukan saatnya untuk memperdulikan masalah orang lain. Karena sebentar lagi ia akan dihadapkan dengan hukuman yang entah apa nantinya. "Ini nanti jangan ada yang saling tunjuk-tunjuk siapa yang mulai joget ya?" Ancam Yuta dengan memandangi teman-temannya yang mendecih saja. "Sumpah ini baru hari kedua masuk sekolah, udah masuk BK aja. Gue nanti langsung digampar bokap nih kalau sampai tau." Gerutu Bento jadi nelangsa. "Yaudah sih, kita kan emang salah. Tinggal terima hukuman aja kan beres, lagian gak bakalan digantung juga. Palingan lari keliling lapangan beberapa putaran," ujar Yogi menyepelekan. "Tau ah, buruan jalan." Decak Hendrik mendorong Yuta lebih dulu saat mereka sudah sampai di depan ruangan BK. Yuta mengetuk pintu pelan lalu tersentak kecil saat wali kelasnya berdiri di dalam sana, membukakan mereka pintu. "Hanung, mana?" Tanya sang guru, "Hanung gak ikut joget, pak." Sahut Lucas dengan nada manis. "Kan livenya pake hape dia," jelas guru BK itu membuat Yuta ingin mengumpat lalu kembali menahan diri. "Satu orang panggil dia ke sini, live kalian yang joget-joget itu tidak sengaja ditonton oleh kepala sekolah. Jadinya, beliau ngamuk dan suruh memanggil kalian semua yang terlibat." Hendrik mendecak lirih dengan berdiri menyender pada dinding mulai merasa bosan. "Gue aja yang manggil, eh maksudnya saya aja, pak." Ralat Bento cepat, meringis kecil karena ditatap tajam oleh sang guru. Bento hendak melangkah ke luar untuk memanggil Hanung, namun pemuda itu terhenti saat melihat Bastian kini berdiri di hadapannya dengan guru sejarah yang memegang kerah belakang baju pemuda itu. "Pak Jaelani, ini murid bapak juga, kan?" "Iya, pak. Dia kenapa?" "Tadi mau bolos, tapi ketangkap basah sama saya pas lompat di tembok belakang sekolah." Bastian tersenyum saja melambai haru ke arah teman-teman kelasnya, Bento memutar mata jengah sembari berlari pergi untuk memanggil Hanung. Pak Jaelani menepuk keningnya, sudah kelelahan melihat tingkah laku anak kelasnya. "Selamat bergabung di ruang BK, sobat." Sapa Yuta sudah bersalaman dengan Bastian yang langsung membalas uluran tangannya. "Terima kasih, gue terharu." Balasnya membuat Hendrik jadi terkikik sendiri. "Kalian masih bisa becanda ya, padahal situasi lagi serius begini?" Omel wali kelasnya dengan melemparkan tatapan tidak bersahabatnya. "Padahal baru dua hari jadi murid kelas sudah ada kasus saja," gumam sang guru dengan memegang alisnya merasa penat. "Santai aja lagi, pak. Kita juga gak ngelakuin hal yang berbahaya. Cuma ngelepas stress." Sahut Bastian dengan tersenyum membuat Hendrik melotot ke arahnya menyuruh cowok itu diam saja. "Sekarang kamu ngebantah, bapak? Kalian baru saja ngelakuin kesalahan. Bukannya ngerasa bersalah dan minta maaf malah bela diri begini?" Bastian terkekeh pelan dengan menggaruk pipinya dengan telunjuk. "Kesalahan segitu doang, lebai banget." Balas Bastian dengan mengorek-ngorek telinganya dengan muka tanpa dosanya. "Kamu?!" "Pak, Bastian lagi geger otak, pak. Makanya ngomongnya ngaco, jangan didengarin, pak." Relai Hendrik sudah maju saat sang guru ingin maju, entah apa yang akan dilakukannya. "Lo ngapain manas-manasin, b**o?" Umpat Yuta ke samping Bastian yang mengedikan saja bahunya pelan. "Diem aja." Yogi menghela napas samar dengan mendengarkan ceramah guru BK yang menyinggung soal mereka yang joget-joget tadi. Bento dan Hanung yang baru datang langsung bergabung dan mendengarkan nasehat guru BK dan wali kelas. Keduanya tidak hanya membahas masalah tadi, tapi malah melebar kemana-mana. Jadi, bahas kenakalan mereka saat berada di kelas sepuluh dan membuat guru-guru angkat tangan dengan kelakuan mereka. "Kalian tau kan kenapa kalian masuk ke kelas berbeda. Itu karena kalian semua bermasalah, masing-masing dari kalian punya kasus." Kata guru BK dengan suara lantangnya, "jadi, saya mohon untuk tidak mengulangi kesalahan kalian saat di kelas sepuluh." Lanjutnya memandangi keenam murid itu satu persatu. "Kalian bukannya harus berubah menjadi lebih baik ya? Masa harus bolak-balik ruang BK terus. Apa gak malu sama teman-teman kalian yang lain?" Hendrik merapatkan bibir masih merunduk, Bastian tidak mendengarkan malah memikirkan pulang nanti akan makan di restoran Jepang atau restoran Korea. Yuta masih melongo sudah mengantuk, Lucas sudah menghitung berapa lama ia berdiri di dalam sana. Hanung sendiri masih bingung kenapa ia juga dipanggil, berbeda dengan Bento yang benar-benar mendengarkan nasehat sang guru. "Kalau kalian terus-terusan bikin masalah begini, buat guru-guru capek dengan tingkah laku kalian. Sekolah tidak akan lagi memberi keringanan, sekali kalian bikin masalah akan langsung dikeluarkan. Paham?" "Paham, pak." Jawab mereka kompak walau terdengar malas-malasan, "kalau begitu ke luar ke lapangan, lari keliling lapangan sepuluh kali putaran. Setelah itu masuk kelas, buruan." Mereka pun langsung berlari ke luar dengan terburu-buru menuju lapangan sekolah. Pak Jaelani yang masih berdiri jadi menatap murid-muridnya sendu, merasa berat untuk melanjutkan jabatannya sebagai seorang wali kelas. "Bapak sepertinya sudah mau mengundurkan diri ya? Sampe pucat wajah bapak." Singgung guru BK membuat Jaelani mengangguk membenarkan, "gimana saya gak pucat pak, saya ditegur langsung sama kepala sekolah." Jawabnya dengan nada lirih. "Jangan nyerah dulu, mereka juga kan masih anak-anak. Tunggu satu bulan dua bulan dulu, kalau memang gak kuat, ngundurin diri aja. Biar kepsek cari pengganti wali kelas mereka. "Iya, pak." Balas Jaelani dengan helaan napas panjang, ragu sendiri kalau ia bisa bertahan dengan anak-anak kelas berbeda.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN