Tamparan kuat itu membuat kepala Wawan sampai tertoleh ke samping, dengan pipi kanannya yang kini membekas merah di sana. “Apa kau harus memperlakukan mama seperti tadi? Membangkang di depan semua orang seakan mama telah berbuat jahat padamu?” Wawan tersenyum masam, menatap mamanya lurus. “Seharusnya aku yang bilang begitu, mah.” Ucap pemuda itu perlahan mengepalkan tangannya kuat, “aku yang harusnya merasa malu terhadap apa yang mama lakukan pada teman kelasku. Dan dengan bangganya mama menerobos masuk ke kelas aku, dan menampar salah satu teman kelas aku. Apa mama tidak malu?” Clarissa sontak menggigit bibir bawah menahan amarah. “Kenapa mama harus malu? Mama melakukan hal yang seharusnya,” “Sampai akhir pun, mama tidak mau mengalah.” Gumam Wawan miris sendiri, “kamu sendi