Bento dan Bastian duduk di belakang gedung sekolah dengan merentangkan baju seragamnya sebagai tempat duduk. Di tengah-tengah mereka ada mangkok sambal yang mereka berdua pinjam di ibu kantin. Juga ada pisau cutter di sana untuk mereka pakai kupas buah mangga.
"Jangan makan dulu b**o, ini nunggu penuh dulu mangkoknya baru makan sama-sama." Kesal Bento yang merasa capek karena sedari tadi mengupas dan memotong buah mangga dalam tangan. Sedangkan, Bastian dengan tanpa dosanya langsung memakan tanpa menyisakan untuknya.
"Kelamaan, ini mulut gue udah berair kayak air kran." Balasnya tanpa dosa makin mengunyah kasar mangga muda yang sudah dicocolnya dengan saus yang mereka buat seadanya. "Ya, harunya ada etika dan tata kramahnya dong. Gue belum makan, monyet." Bastian mendecak sembari mengambil alih mangga yang belum selesai Bento kupas.
"Sekarang giliran lo yang makan, gue yang kupas." Kata Bastian inisiatif, Bento pun langsung tersenyum lebar dengan bangganya. "Gitu dong, harus tau diri." Ujarnya terkekeh sendiri, kemudian mulai mengunyah mangga dengan nikmat.
Bastian masih duduk santai dengan satu kaki terangkat, dagunya ia letakan di atas lutut sembari tangan yang masih sibuk mengupas mangga yang tersisa.
"Lo kepikiran sesuatu soal wali kelas baru?" Bento mulai membuka obrolan, sesekali mendesis merasa kepedasan. Tapi, tetap saja ia kembali melanjutkan makan. "Hm, ganteng?"
"Bukan b**o, yang sesuatu yang mencurigakan." Sahut Bento kesal, Bastian terdiam beberapa saat dengan alis terangkat samar. "Apaan? Dia seorang idol, ganteng gitu, gue aja naksir." Ujar Bastian tanpa dosa membuat Bento mendelik ngeri menatapnya.
Bastian memutar mata jengah, meletakan pisau dalam tangan dan membuang biji mangga yang sudah dia kupasi dagingnya.
"Ya, emang dia ganteng. Kalau gue ganteng begitu gue mau jadi artis, bisa gonta-ganti pacar tiap hari. Senangnya," Bento masih menatap Bastian tidak bersahabat. Sudah ingin melemparkan mangkok berisi sambal ke depan muka temannya itu. "Gue kira lo m**o, anjir." Bastian langsung maju dan menabok kepalanya kasar sampai pemuda itu meringis kesakitan.
"Sakit, bang––" umpatannya terhenti saat melihat bayangan seseorang mendekat dan langsung duduk di sebelah mereka berdua. Bahkan, dengan tanpa dosanya mengambil potongan mangga, mencoleknya pada sambal lalu memasukannya ke dalam mulut. Setelah itu, dia pergi begitu saja tanpa patahan kata.
Bento dan Bastian saling pandang sesaat lalu kompak bergidik merinding. Teman kelas mereka itu memang terkenal dengan kelakuan anehnya. Datang tidak diundang, pulang tidak diantar.
Seperti jelangkung.
"Itu yang namanya Dewi kan?" Tanya Bastian masih mengusap tengkuknya yang meremang. "Dwi, elah. Bukan Dewi, emangnya cewek?" Sahut Bento sarkas dengan memandangi mangkok sambalnya nanar. "Tadi udah dipegang sama anak aneh itu, kalau kita ketularan aneh gimana?" Bastian menggeleng cepat lalu bangkit berdiri, meninggalkan saja Bento di sana sendirian. Dan kini sudah meneriakinya dengan suara cemprengnya.
Bastian menghentikan larinya saat melihat sekumpulan anak kelas unggulan tengah berjalan ke arah ruangan mereka. Ada kepala sekolah di sana yang mengobrol dengan ketua kelas sekaligus si juara umum tiap tahun itu, Hendra.
Sebelas dua belas dengan nama teman kelasnya, Hendrik. Tapi, otak mereka berdua sangat jauh berbanding terbalik.
Hendra Raja Riandra itu adalah murid terpintar di sekolah Garuda. Orangtuanya juga salah satu orang paling berpengaruh di kota yang mereka tinggali sekarang. Kekayaan orangtua Hendra bisa bertahan sampai anak cucunya nanti. Emang sekaya itu, mungkin Hendra ini tidak pernah merasakan panik saat token listrik bunyi.
Gak pernah mandi pake gayung lope. Gak pernah jajan telur gulung. Hidupnya Hendra serba mewah kayaknya. Datang sekolah saja pake mobil sport, tapi masih di antar karena dia belum punya SIM.
Bastian masih menatap sinis Hendra dan teman-temannya sudah melangkah menaiki tangga menuju lantai dua. Tempat kelas mereka berada. Kelas yang paling disukai kepala sekolah. Bahkan, hampir tiap hari selalu nengokin anak kelas unggulan di kelasnya.
Pernah juga beliin mereka sarapan mahal pakai uangnya sendiri. Kepala sekolah beneran royal kalau berbicara soal anak kelas unggulan. Yang membuat Bastian makin merasa kesal setengah mati.
Bastian terdorong maju, hampir menubruk dinding di depannya saat Bento dari belakang menabok keras kepalanya.
"Sakit, anying." Geramnya sembari mengusap kepalanya yang berdenyut nyeri. "Ya, lo ngapain langsung pergi. Gak bantuin sama sekali buat beresin mangkoknya ibu Minah." Racau Bento dengan ekspresi kesalnya.
Bastian yang merasa terganggu mendengus samar sembari menunjuk di depan mereka dengan dagu. "Apaan?" Tanya Bastian mengikuti arah tunjuk pemuda itu.
"Biasa, si Hendrasu tadi lewat sama teman-temannya."
"Loh, kenapa emangnya? Kan emang mereka biasanya lewat di jalan sini juga. Sekolah ini kan punya lo, ege." Bento melangkah duluan dengan memeluk mangkok di tangannya, Bastian pun mengekori sembari merutuk dalam hati karena balasan yang tidak memuaskan itu. "Gue jadi pengen belajar, biar bisa ngalahin si Hendrasu itu." Kata Bastian menggebu-gebu.
Bento menipiskan bibir sembari menepuk pelan bahu Bastian dengan raut serius. "Jangan terlalu dipaksakan, otak lo sama Hendra beda kualitas." Ujar Bento kemudian mengangguk-nganggukan kepalanya sembari menepuk bahu Bastian menenangkan. Setelah itu berbalik pergi meninggalkan Bastian di koridor yang sudah memakinya dengan sumpah serapah.
"Lihat aja, gue bakalan ngalahin Hendra dengan prestasi gue sendiri." Teriaknya yakin dengan tangan yang mengepal kuat, menyemangati diri sendiri. "Ck, tapi malas belajar, elah. Sudahlah, begini aja apa adanya. Otak gue gak bisa nerima pelajaran." Gumamnya berbicara sendiri, "emang paling benar, bolos sekolah sekarang." Katanya sudah berbalik ke arah lain, tidak jadi ke kelas.
Bastian melangkah santai sembari bersenandung lirih dengan menaikan alisnya tinggi saat melihat salah satu teman kelasnya berpapasan dengannya. Cowok itu menyapanya samar dengan tersenyum manis khas buaya.
"Bas, mau kemana? Kenapa gak ke kelas?" Cowok itu –– Ilham, Bastian mendengus sembari mengedikan bahu pelan. "Gak ada mata pelajaran yang menarik. Coba aja ada pelajaran tentang cara mendapatkan perhatian cewek cantik, gue maju paling depan." Ilham menganggukan kepalanya mencoba mengerti.
"Kalau mau, gue bisa kenalin lo sama adik kelas atau senior. Gue punya banyak teman cewek. Lo mau?" Tawar pemuda itu yang langsung membuat Bastian merekah senang, "yang benar, lo?" Ilham kembali menganggukan kepala membenarkan.
"Benar, yakali gue bohong."
Ilham pun melangkah lebih dulu dengan sok kerennya. Bastian pun mengikuti sembari berdehem membersihkan tenggorokannya. Entah untuk apa. Tangannya pun sudah sibuk merapikan rambut dan alisnya dengan terburu-buru. Bibirnya tidak henti-hentinya tersenyum senang sudah berimajinasi untuk bertemu gadis cantik nantinya.
Keduanya pun sudah sampai depan kelas XII IPA 3, Ilham melongokan kepalanya sembari melambai pada salah satu gadis di dalam sana. Bastian pun langsung merekah melihat sang senior yang perlahan melangkah mendekat ke arah keduanya.
Senior berambut panjang gelombang, proporsi tubuh tinggi semampai. Terlihat berbeda dari anak-anak sesusianya. Cantik dan juga menawan, menurut Bastian.
Ilham tersenyum sesaat sembari menyenggol lengan Bastian pelan membuat gadis di depan mereka melemparkan tatapan tidak bersahabatnya.
"Sorry, kemarin gue emang gak bisa. Sekarang gue udah dapat orangnya." Kata Ilham dengan menunjuk Bastian dengan dagu. "Lo pasti bohongin gue lagi kan?" Curiga gadis itu sudah memeluk tangan di depan d**a. "Gak, kali ini dia yang bakalan ngasih lo semuanya. Percaya sama gue," Bastian yang mendengar itu mendadak salah tingkah sendiri.
Apa yang harus ia kasih? Dan maksudnya semuanya ini dalam konteks apa. Bastian mendadak tremor dengan perasaan gugup.
"Semangat, lo pasti bisa." Bisik Ilham di sampingnya, kemudian pemuda melangkah pergi meninggalkan Bastian dan perempuan itu di koridor depan kelas. Saling tatap selama beberapa detik.
"Lo temannya, Ilham?" Tanya gadis itu basa-basi.
"Eh, iya kak."
Senior itu pun menganggukan kepalanya paham, sembari melenggak masuk ke kelas yang tidak ada penghuninya itu. Hanya mereka berdua kini yang membuat Bastian makin panas dingin.
"Lo sudah siap?"
Bastian tersentak, "siap? Eh, gue siap." Balasnya sembari membasahi bibir bawah agak salah tingkah. Senior cewek itu pun merogoh sesuatu dalam ranselnya mengeluarkan buku dan membantingnya di depan Bastian.
"Satu juta enam ratus dua puluh lima ribu rupiah," jelas cewek itu dengan ekspresi keruhnya.
Bastian mengerjapkan matanya tak paham, "maksudnya apaan, ini kak?" tanyanya dengan alis bertautan. "Kenapa nanya, lo datang ke sini buat itu kan?" Balas si gadis dengan galak.
"Tapi, maksud juta-jutaan?"
Senior itu mendecak kasar sembari memutar mata jengah, "itu utangnya Ilham, dari kelas sepuluh dia ngutang pulsa biasa sama paket di gue. Itu nominal semuanya, jadi lo bayar sekarang. Gue cuma punya modal dikit, tapi gara-gara si penipu itu gue jadi bangkrut." Racau gadis itu menggebu-gebu.
Bastian terdiam lama, berusaha mencerna situasi apa yang sedang terjadi padanya sekarang. Ini maksudnya dia dijadikan tumbal untuk membayar hutangnya Ilham. Bukannya datang kencan sama senior cantik?
"Gue gak akan biarin lo pergi sebelum lo bayar hutangnya, Ilham. Lo udah ngangguk setuju tadi."
"Eh, kak ... bentar, gue juga gak tahu ka––"
"Jangan banyak alasan, gue hajar lo sampai mampus kalau lo berani cari alasan."
"Anying." Umpat Bastian tidak sadar sembari menatap jendela di depannya dengan nanar. "Buruan bayar, apa perlu gue geledah dulu celana lo?" Bastian menggeleng pelan sudah ingin menangis. Dengan terpaksa ia mengeluarkan dompetnya dari saku celana sembari mengekuarkan uang sakunya yang tersisa dua puluh ribuan.
"Lo bercanda, hah?" Bastian termundur kaget karena bentakan sang senior. "Ya, gue mana pegang uang sejuta kak. Lagian itu kan utangnya, Ilham. Kenapa gue yang bayar?"
"Kan tadi lo yang mau lunasin, ya?!"
Bastian memekik kuat saat rambutnya dijambak kasar lalu tubuhnga di banting begitu saja di lantai. "Gue terpaksa pake k*******n, karena lo gak mau nurut." Bastian pun memejamkan matanya sesaat berharapa ini hanyalah mimpi.
Dalam hati, ia merutuk. Memaki Ilham dengan seluruh isi kebun Binatang. Karena saat ini dia ditipu oleh teman sekelasnya itu.