Dinda dan Mahesa baru meninggalkan alun-alun kota Malang ketika hari sudah petang. Dari tadi Mahesa mengajak Dinda untuk pulang, tapi gadis itu masih betah berlama-lama tinggal di sana. Entah sudah berapa kali ia meminta Mahesa memotret dirinya menggunakan ponselnya. Mahesa sendiri tak mengerti kenapa ia bersedia menuruti permintaan konyol Dinda.
"Ya udah kalau gak mau fotoin, aku minta tolong orang lain aja," kata Dinda yang langsung membuat Mahesa bersedia mengambil foto dirinya acap kali Dinda mengatakan hal tersebut. Mahesa seperti tak berkutik saat Dinda menyatakan hal tersebut.
Jadi Mahesa seperti tukang foto Dinda saja. Jika Dinda mengatakan kalau hasil foto Mahesa buruk, maka Dinda akan meminta Mahesa untuk mengulang mengambil foto Dinda lagi sampai hasil foto Dinda bagus sesuai dengan apa yang diharapkannya. Dan itu terus terjadi sampai hari petang. Mereka baru memutuskan berhenti mengambil foto ketika cahaya matahari sudah mulai tenggelam dan Mahesa sangat kesal kepada Dinda.
"Makasih ya buat hari ini, besok lagi ya," kata Dinda saat ia sudah duduk dibonceng Mahesa.
Besok lagi?
Enak aja besok lagi?
Gue jadi tukang foto donk!
"Gak ada besok lagi! Udah cukup hari ini!" kata Mahesa tegas.
"Eh? Perjanjiannya kan sebulan!" kilah Dinda pada Mahesa.
"Iya, tapi masak setiap hari? Kapan lo nyuci seragam gue?" kata Mahesa berkilah.
"Gampang tuh mah, pake mesin cuci trus pake pengering, trus setrika dan beres deh kayak di loundry!" kata Dinda tertawa penuh kemenangan.
"Tapi gue capek jadi tukang foto lo!" keluh Mahesa.
"Sapa suruh mau? Lo sendiri, kan? Gue minta tolong buat difotoin orang lain juga lo gak ngebolehin kok," kata Dinda mencoba membela dirinya.
"Kalo hape lo malah dibawa kabur kan gue yang repot," jawab Mahesa tak mau kalah.
"Halahhh, ngeles aja bisanya," jawab Dinda.
Keduanya masih saja berdebat hingga Mahesa selesai mengantarkan Adinda pulang ke depan rumahnya. Mahesa mengamati rumah Adinda yang terlihat cukup mewah dan mengamati sekelilingnya.
"Masuk dulu, yuk," ajak Dinda sopan. Mahesa menggeleng ke arahnya.
"Gue langsung cabut aja," jawab Mahesa seraya menyalakan kembali mesin motornya.
"Minum-minum dulu, Hes!" ajak Adinda kembali tapi lagi-lagi Mahesa menolak dengan halus permintaan Dinda dan mengatakan kalau ia harus pulang. "Hmmm, ya udah hati-hati, ya," kata Dinda pada Mahesa.
Mahesa melajukan motornya meninggalkan area rumah Dinda. Di dalam helm yang ia kenakan, ia tersenyum senang untuk pertama kalinya. Bahagia yang dibawanya itu mengantarkannya sampai ke rumah.
"Ya Allah Mahesa, dari mana saja?" tanya Safira cemas setelah membukakan pintu rumah untuk Mahesa yang pulang dengan bersiul. Sang papa yang duduk di ruang tamu sembari membaca koran di tangannya itu sampai menoleh heran ke arah putranya tersebut. Ia memandang ke arah Safira yang juga heran dengan sikap Mahesa yang aneh.
"Kan tadi Mahesa udah bilang, lagi main sama temen," jawab Mahesa seraya mencium punggung tangan papanya dan duduk di sampingnya.
"Kencan maksud kamu?" tanya sang papa memperjelas ucapan Mahesa. Mahesa menoleh kaget tapi kemudian menggeleng cepat ke arah papanya.
"Papa bisa aja, nggak, Pa. Lagian Mahesa belum punya pacar kok," jawab Mahesa dengan senyum lebar.
"Oh, jadi pedekate?" tanya ulang sang papa. Mahesa menatap sang papa dengan wajah herannya dan lagi Mahesa menggelengkan kepalanya kuat-kuat ke arah papanya.
"Udah ah, Mahesa mau mandi!" ujar Mahesa seraya beranjak dari sofa dan berjalan ke arah kamarnya yang berada di lantai atas.
"Papa kenapa bicara seperti itu? Kan Mahesa bilang kalau dia gak punya pacar," kata Safira dengan wajah kesal.
"Mama kenapa? Gak rela anak perjakanya jatuh cinta?" tanya balik sang papa menggoda istrinya. Safira lalu merajuk ke arah pelukan sang suami.
"Mahesa udah besar ya, Pa?" tanya Safira pada sang suami.
"Udah mimpi basah dia mah, Ma," kata sang papa jahil.
"Ihhh! Papa apaan sih!" kata Safira yang langsung membuat sang suami tertawa keras.
Dinda meletakkan tasnya di kamar dan langsung menyambar handuk yang ada di gantungan baju di dapur setelah itu ia berlalu masuk ke dalam kamar mandi. Sembari membasuh tubuhnya ia teringat senangnya bermain bersama Mahesa di alun-alun kota Malang. Ia senang karena berhasil mengerjai Mahesa soal pengambilan foto dirinya.
Sementara itu Mahesa juga senang karena bisa menghabiskan waktu bersama dengan Dinda. Ia tak mengerti kenapa ia bisa sesenang itu padahal di alun-alun ia hanya jadi tukang foto Dinda saja. Mahesa awalnya hanya ingin mengajak Adinda beli seragam sekolah untuk cewek ukuran L yang stok di kopsis lagi habis. Nyatanya mereka malah bersenang-senang di alun-alun kota Malang hingga petang datang.
Selesai mandi, Dinda menyambar ponselnya dan melihat-lihat hasil foto yang diambil oleh Mahesa. Ia tersenyum puas dengan hasil foto tersebut. Ia bahkan tertawa cukup keras karena ternyata Mahesa telah mengambil foto dirinya sebanyak sembilan puluh dua foto.
"Din, ayok makan," ajak sang papa kepada Adinda yang asyik melihat foto-foto dirinya di ponselnya.
"Iya, pa," jawab Adinda seraya beranjak dari tempatnya duduk.
Adinda dan papanya menikmati menu makan malam buatan neneknya di sebelah rumah. Semur daging kesukaan Adinda. Ia makan dengan sangat lahap.
"Tadi main sama siapa, Din?" tanya sang papa.
"Mahesa," jawab Adinda ringan. Mendengar nama Mahesa disebut, sendok makan papa Adinda terdiam di tempat.
"Mahesa? Kenapa sama Mahesa? Cowok kan dia? Kenapa gak sama temen cewek aja?" tanya sang papa. Dinda langsung menoleh heran ke arah papanya.
"Kenapa emang dengan temen cowok, Pa? Dulu waktu di Bandung temen-temen Dinda itu rata-rata cewek semuanya dan papa bilang, jangan main sama cewek melulu ntar dikira orang Dinda lesbi, " ujar Adinda mengingatkan masa lalu kepada sang papa. Sang papa hanya tersenyum kecil menanggapinya.
"Iya ya, papa lupa," jawab sang papa. "Tapi emang dari kemarin yang kamu bahas itu Mahesa saja. Nyuciin baju milik Mahesa, trus main sama Mahesa. Kamu gak punya temen perempuan?" tanya sang papa memperjelas.
"Ada. Namanya Helen, teman dekat duduk di kelas," jawab Dinda.
"Nah itu, kenapa gak ajak Helen juga mainnya?" tanya sang papa kepada Dinda.
"Dia mah sibuk kencan," jawab Dinda asal. Sang papa hanya mengangguk-anggukkan kepala saja.
"Tapi kamu gak sibuk kencan juga dengan Mahesa, kan?" tanya sang papa langsung yang membuat Dinda langsung tersedak makanan di mulutnya. Ia menatap sang papa dengan tatapan kaget dan tak percaya. Ia meraih air minum di sebelah piringnya demi meredakan batuk akibat tersedak makanan barusan.
"Papa tanya-tanya tuh karena takut aku pacaran sama Mahesa? Ihh nggak, Pa! Cowok nyebelin gitu!" sergah Dinda. Sang papa tersenyum lega mendengarnya.
Papa hanya takut kamu bertemu saudara kandungmu, yang namanya juga Mahesa, nak.