Dinda berangkat sekolah lebih pagi. Ia telah membawa dua seragam Mahesa yang telah ia cuci bersih dan setrika sekaligus. Dinda bahkan memasukkan dua buah seragam Mahesa ke dalam kantong plastik bening seperti yang ada di laundry-laundry.
"Adinda!" teriak seseorang memanggil namanya. Dinda menoleh ke arah belakang dan mendapati Raditya sedang berlari ke arahnya dengan penuh semangat. Dinda telah berdiri di gerbang dan Raditya berlari dari dekat jalan utama. Dari jalan utama ke gerbang sekolah lumayan jauh jika berjalan kaki. Sampai di depan Adinda, napas Raditya ngos-ngosan.
"Kenapa ngos-ngosan gitu, kak? Lagian gak usah lari, pasti aku tungguin kok," kata Adinda pada Raditya.
Raditya mendongakkan wajahnya dan menatap Adinda lekat-lekat, "biar hemat waktu, Din," kata Raditya.
Raditya dan Adinda berjalan beriringan bersama masuk sekolah. Pagi itu belum banyak siswa datang jadi suasana sekolah masih tampak sepi dan sangat asri.
"Kalau malam di sini serem gak?" tanya Adinda memecah keheningan diantara mereka.
"Tergantung," jawab Raditya ambigu. Adinda menoleh dan menatap Raditya dengan heran. "Kalau lampu mati ya agak serem gitu, apalagi kalau ada pak Mukhlis, tambah deh seremnya," canda Raditya pada Adinda. Adinda tersenyum kecil tapi langsung mampu membuat Raditya merasakan sensasi luar biasa di hatinya.
Bagi Raditya, Adinda adalah perwujdan dewi yang turun dari langit. Kecantikan yang dimiliki Adinda mampu membuat d**a Raditya berdebar-debar setiap memandangnya. Wajah Adinda membuat Raditya berpaling dari putri sekolah yang sebelumnya menyandang sebagai siswi tercantik di sekolah itu.
"Kalau hantu pernah lihat?" tanya Adinda penasaran. "Sekolah kan kalau malam bau mistisnya biasanya kental banget," lanjut Adinda menjelaskan.
"Aku belum pernah main film horror di sekolah sih, jadi ya belum begitu tahu," jawab Raditya. Lagi-lagi Adinda tersenyum mendengar Raditya melempar candaan atas pertanyaannya.
"Emang situ bisa nyeremin kalau main film horror?" tanya Adinda.
"Bisa, bikin deg-deg an juga bisa," kata Raditya.
"Ih, apa hubungannya? Deg-deg an itu adanya di drama romantis," jawab Adinda.
"Kata siapa? Emang kamu kalau nonton film gak deg-deg an gitu? Apalagi kalau setannya mau keluar?" tanya Raditya.
Adinda menggeleng kuat, "Nggak pernah. Karena aku tahu mereka cuma akting. Aslinya yang bikin takut penonton itu soundnya aja, pas banget aku gak mudah baper," kata Adinda menjelaskan.
"Jadi susah donk ya bikin kamu berdebar gitu?" pancing Raditya.
"Ha ha ha. Aku tuh juga mudah berdebar apalagi kalau ketemu pak Mukhlis," kata Adinda.
"Loh, loh, kamu suka pak Mukhlis, Din?" canda Radit.
"Bukan gitu maksudnya," Adinda tertawa. Bersama Raditya ia merasa hidup kembali. Banyak tawa dan canda saat mereka bersama kini.
"Trus apa?"
"Deg deg annya kan beda, kalo sama cowok yang disuka kayak ada kupu-kupu main di perut, kalau sama pak Mukhlis deg-deg annya bikin sesak napas," jawab Adinda. Raditya tersenyum mendengarnya.
"Jadi Adinda udah punya cowok yang disuka?" tanya Raditya penasaran. Ia berharap bahwa Adinda masih belum punya pacar.
Adinda menggeleng, "Gak punya, baca di n****+-n****+ kalau soal kupu-kupu terbang di perut itu mah,"
"Kalau beneran terbang di perut, habis lambungnya," jawab Raditya yang ditanggapi dengan tawa oleh Dinda.
Mereka berdua telah sampai di depan kelas Adinda. Adinda menoleh ke arah Raditya yang terlihat sangat tampan karena matahari yang menerpa wajahnya.
Pantas aja para siswi tergila-gila padanya, lah emang kayak artis Korea ketampanannya.
"Makasih kak udah ditemenin sampai depan kelas, aku masuk dulu, ya," kata Adinda seraya tersenyum kepada Raditya yang menggangguk bingung dan kaku di depannya.
Adinda berbalik dan melangkah masuk ke dalam kelas.
"Din!" panggil Raditya yang membuat langkah Adinda terhenti di ambang pintu kelas, gadis itu menoleh kembali ke arah Raditya dengan tatapan menunggu dan bingung.
Raditya termangu di tempatnya. Senyum dan wajah Adinda yang sangat ayu tersebutlah yang membuatnya terpaku dan bibirnya terasa kelu. Ia sudah ingin mengatakan sesuatu kepada Adinda tapi tiba-tiba saja ia merasa gugup luar biasa dan hanya bisa diam di tempat.
"Ya, kak?" Adinda menatap bingung Raditya yang menatapnya dengan terheran.
"Anu ..." Raditya merasa gugup sekali. "Bisakah besok kita ...."
"Nggak bisa! Besok aku dan Dinda ada keperluan," jawab Mahesa yang tiba-tiba datang dan sudah berdiri di belakang Raditya. Raditya dan Dinda terhenyak kaget. Adinda sampai harus sedikit melangkah keluar kelas melihat Mahesa di belakang Raditya yang berdiri di samping pintu.
Sejak kapan Mahesa berada di balik pintu?
Raditya menoleh ke belakang dan ia juga sudah melihat Mahesa berdiri di belakangnya. Rasa amarahnya meninggi setiap kali Mahesa ikut campur urusannya dengan Adinda.
"Apa urusan lo?" tanya Raditya marah.
"Ya jelas jadi urusan gue donk, karena gue dan Adinda terikat!" kata Mahesa.
Terikat?
Raditya menoleh ke arah Adinda dan menatapnya penuh tanya sekaligus kecewa.
"Kamu pacarnya dia?" tanya Raditya kepada Adinda.
"Nggak, kak, cuma saya dan Mahesa ..."
"Bukan urusanmu aku dan Dinda pacaran or gak! Urus saja organisasimu!" kata Mahesa memotong ucapan Adinda yang membuat Adinda menepuk jidatnya heran.
"Yang penting Adinda udah bilang gak," kata Raditya merasa lega bahwa Adinda tak punya hubungan spesial dengan Mahesa. Raditya menoleh ke arah Adinda, "aku ke kelas dulu ya, Din. Senang ngobrol sama kamu, besok lagi, ya," kata Raditya yang entah mengapa membuat Mahesa merasa geram dan marah sekaligus.
Raditya meninggalkan Mahesa dan Adinda dengan senyuman sinis yang ia tujukan khusus untuk Mahesa.
Setelah kepergian Raditya, Dinda berbalik masuk ke kelasnya disusul kemudian oleh Mahesa yang langsung juga duduk di sebelahnya. Mahesa memilih tak menyapa Adinda, pun begitu dengan Adinda yang memilih tak peduli dengan kemarahan Mahesa yang baginya sangatlah aneh.
Adinda mengeluarkan dua buah seragam Mahesa dan menyerahkannya kepada Mahesa. Mahesa menoleh ke arahnya dan segera menerima seragam itu. Ia lalu melepaskan seragam sekolahnya dan menggantinya dengan seragam yang dibawa oleh Adinda.
"Woi! Ngapain ganti di sini!" seru Adinda pada Mahesa. Mahesa hanya menoleh sejenak dengan lirikan matanya dan tak peduli protes yang dilontarkan oleh Adinda. Adinda menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Setelah mendengar suara tubuh Mahesa yang dihempaskan ke kursi di sebelahnya, barulah Adinda berani membuka tangannya dan wajahnya kembali terlihat, ia langsung menoleh ke arah Mahesa yang berwajah tersebut.
"Kalo tadi ada siswa lain yang lihat, apa kata mereka?" protes Adinda pada Mahesa yang tak dijawab sama sekali oleh Mahesa, Adinda benar-benar tak dihiraukannya. Adinda sebal bukan main.
"Bau bajunya masih apek, lo nyucinya gimana?" tanya Mahesa bikin gara-gara lagi. Adinda menoleh kembali ke Mahesa dan menatap heran. Ia serta merta mendekatkan wajahnya ke lengan kiri Mahesa dan mencium bajunya.
"Woi! Kalian ngapain!" seru seorang siswa yang baru masuk dan melihat adegan Adinda mencium lengan baju Mahesa. Adinda terhenyak kaget bukan main hingga ia langsung menarik dirinya dari dekat Mahesa. Mahesa hanya diam saja sembari tersenyum dalam hati kala melihat teman satu kelasnya, Fajar berjalan mendekat dengan langkah kaki panjang-panjangnya tersebut. "Apa yang kalean lakukan di kelas?" tanya Fajar berapi-api.
"Lo salah paham, kita-kita gak ngapa-ngapain!" seru Adinda dengan wajah yang takut-takut tersebut. Mahesa cuek bebek dan memilih tak peduli.
"Tapi gue lihat lo cium lengan Mahesa!" kata Fajar meyakinkan dirinya.
"Gue? Cium makhluk kayak dia?" tanya Dinda seraya melirik ke arah Mahesa yang bagai es batu itu, menoleh dan melihat perdebatan antara Dinda dan Fajar saja tidak.
"Iya! Gue lihat sendiri!" kata Fajar.
Dinda menghela napas berat, "Gue cuma mau nyium bau baju Mahesa yang dibilangnya masih apek!"
"Apa? Maksud lo nyium bau bulu keteknya Mahesa?!" kata Fajar yang langsung membuat Mahesa tertawa mendengarnya.
"Kok bau ketek sih!" protes Adinda kesal.
"Lo dibilang cium lengannya Mahesa gak mau, malah bilang nyium bajunya yang apek, mana gue percaya! Kalo bau keteknya baru gue percaya!" kata Fajar pada Dinda yang dongkol bukan main mendengarnya.
"Lo tuh ya sama kayak Mahesa, sukanya bikin gara-gara sama gue!" kata Dinda seraya berdiri dari kursinya.
"Gue ngomong sesuai apa yang gue lihat, Din, bukan asal-asalan saja," kata Fajar membela diri.
"Tapi gue gak nyium Mahesa!" kata Dinda. Sungguh, saat ini Mahesa sedang menahan tawa mendengar perdebatan antara Dinda dan Fajar.
"Kalau gitu cium gue aja, Din," kata Fajar seraya nyengir.
"Maksud lo?" tanya Mahesa dengan tatapan tajam yang membuat Fajar langsung kehilangan senyum tampannya.
Tanpa berkata-kata atau mendebat Dinda lagi, Fajar berjalan ke arah bangku duduknya. Saat ia sudah duduk, ia menoleh ke arah Dinda yang masih menatapnya sebal. Fajar dengan rasa kepedean tingkat dewanya, serta merta mengirimkan tanda cinta lewat dua tangannya ke arah Dinda dengan sedikit senyuman. Ketika Fajar kembali menoleh ke arah Mahesa, ia melihat Mahesa menatapnya dengan tatapan tajam tak bersahabat. Ia langsung membawa badannya ke arah depan.
Mahesa adalah pria dingin yang terkenal tampan di sekolah. Kerjaannya hanya seputar olah raga basket dan perpustakaan. Banyak perempuan mencoba mendekatinya karena ia terkenal tampan dan cool. Nyatanya tak ada satupun yang mampu menaklukan hatinya. Ia selalu mengabaikan surat-surat cinta yang diselipkan di kolong meja belajarnya. Mahesa juga tak pernah membalas satupun pesan dari perempuan-perempuan yang mengiriminya pesan. Mahesa juga tak pernah memedulikan pemberian bunga atau coklat atau apapun dari perempuan yang menggemarinya. Karena ia terkenal cuek dengan sikapnya tersebut, ia malah dibenci kebanyakan siswi perempuan. Meski begitu, pemujanya masih banyak dan beberapa diantara pemujanya kini mulai mengintai Adinda yang selalu berada di sekitarnya.
Kelas mulai ramai siswa, guru Biologi datang dan meminta siswa membentuk kelompok. Antara laki-laki dan perempuan tak boleh bersama. Satu kelompol minimal dua orang, maksimal tiga orang.
Helen, Sasi dan Adinda jadi satu kelompok. Fajar, Mahesa dan Putra juga jadi satu kelompok. Satu kelas tersebut pergi ke ruang laboratorium Biologi untuk meneliti mikroba.
"Hes, si Dinda udah punya cowok kah?" tanya Putra kepada Mahesa. Mahesa menoleh ke arah Putra sejenak lalu menatap Dinda dari jauh yang tersenyum ke arah Helen dan terlihat sangat cantik sekali.
"Udah," jawab Mahesa berbohong.
"Yahh, gue telat masuk ya," kata Putra dengan nada menyesal.
"Kenalin, gue pacarnya," kata Fajar kocak dengan mengulurkan tangannya ke arah Putra. Putra meringis tak percaya sedangkan Mahesa hanya menatap dengan sinis, hanya Fajar yang tertawa seorang diri.
"Hes, tapi lo tahu gak siapa cowoknya?" tanya Putra serius.
"Emang kenapa kalau tahu?" tanya Mahesa.
"Ya gue pengen tahu aja kayak gimana cowok yang disukai oleh Dinda itu," kata Putra.
"Lo antusias banget sih, Tra!" kata Fajar. "Lo tinggal lihat gue, tiru semua gaya gue, udah pasti si Dinda klepek-klepek ke lo," kata Fajar lagi-lagi narsis.
"Lo punya temen yang bisa ngeruqyah, gak, Hes?" tanya Putra.
"Ada. Gak cuma setannya aja yang dibasmi tapi juga orangnya sekalian," ujar Mahesa yang langsung membuat Fajar otomatis mingkem dan melirik kesal.
"Kalo diantara kalian berdua itu kelak nanti ada yang bisa jadian sama Dinda, gue beneran janji bakalan ngelayani kalian kek raja selama seminggu di sekolah!" kata Fajar yang langsung membuat Mahesa dan Putra saling pandang heran. Gak ada hujan, gak ada angin tapi tiba-tiba saja Fajar berucap janji. Mereka benar-benar tak mengerti apa yang sedang dipikirkan oleh Fajar tersebut.
"Lo gak lagi ngigau, kan?" tanya Putra heran.
"Ya gak lah," kata Fajar dengan sangat yakin.
"Oke, gue catet omongan lo di otak gue," kata Mahesa dengan tenang.
Sejak tadi Helen mencuri pandang ke arah Mahesa, berulang kali ia bahkan gak nyambung ketika Sasi dan Dinda saling bicara satu sama lain. Ia seperti sedang dilempar ke dunia lain saking fokusnya ia mengamati Mahesa yang terlihat sangat fokus dan asyik ngobrol dengan Putra dan Fajar.
"Din, gue boleh tanya gak sama lo?" tanya Helen tiba-tiba.
"Tanya aja," jawab Dinda cuek.
"Selama lo duduk di bangku yang sama dengan Mahesa, tuh cowok pernah gak ngomong soal ceweknya lo?" tanya Helen.
Adinda menoleh dan menatap dengan heran ke arah Helen, "Hah? Maksudnya? Pacarnya gitu?" tanya Dinda memperjelas ucapan Helen. Helen mengangguk antusias seraya tersenyum kecil ke arahnya. "Emang ada, ya, cewek yang mau sama Mahesa?" tanya Dinda dengan ekspresi yang sama.
"Mahesa kurang apa, Din? Body ukuran cowok dia dapet, tinggi oke banget, olah raga jago sekali, pinter gak diragukan lagi, tampang? Ya Allah bikin gue yakin keturunan gue nanti cakep-cakep," kata Helen penuh dengan kekaguman. Adinda hanya nyengir sedikit mendengar kekaguman Helen tersebut. Sasi tertawa karena ia sudah tahu kalau Helen sudah mencoba jungkir balik mendekati Mahesa tapi hasilnya nol besar. Mahesa tetap saja bungkam.
"Lo cuma lihat Mahesa dari luarnya aja, Len!" kata Dinda.
"Gue kenal Mahesa dari gue masih ingusan. Dia temen TK gue, dan gue masih inget kenapa gue nangis pas masuk SD. Itu karena nyokap gue gak nyekolahin gue di sekolah yang sama kayak Mahesa!" papar Helen
"OMG, cinta buta lo?!" kata Sasi yang menatap Helen dengan tatapan tak percaya. Adinda hanya tersenyum kecil mendengar celotehan mereka.
"Emang! Makanya gue sebenarnya gak ikhlas Dinda duduk sama Mahesa! Apalagi udah berhari-hari duduk bersama!" kata Helen kesal. Dinda langsung menoleh ke arah Helen dan menatapnya dengan tatapan heran.
"Mau tukar tempat duduk sama gue?" tanya Dinda pada Helen yang matanya langsung berbinar senang.
"Kenapa tukar?" tanya Mahesa tiba-tiba yang langsung membuat Helen dan Dinda saling pandang dengan tatapan terkejut. Mereka sama sekali tak mengestimasi kedatangan Mahesa yang tiba-tiba di meja kolompok mereka. Apalagi tatapan Mahesa tetap saja dingin tak bersahabat.