2-?Beautiful Eyes?

1707 Kata
_***_ •Selagi masih bisa memberikan manfaat, kenapa tidak mencoba menjadi orang yang bermanfaat? •Selama masih bisa diberi kesempatan hidup, kenapa tidak meperbanyak amal ibadah? •Selagi masih bisa mengamankan diri dari gejolak api neraka, mengapa tidak mencoba bersemangat menggapai keindahan syurga-Nya? -Fitri Yulita- _***_ Author's POV Bulatnya bulan yang teramat besar terlihat jelas di gelapnya malam. Bulan berwarna putih yang sedikit kemerah-merahan itu nampak indah dengan bintang-bintang yang bertebaran di sampingnya. Seorang gadis tengah duduk bersantai di balkon rumah tanpa peduli angin malam yang menerpa wajahnya berulang-ulang. "Purnama ya?" gumam gadis itu sembari mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya di dagunya. "Ah serigala!" serunya agak keras. Ia terburu-buru berlari masuk ke kamarnya lalu duduk di balkon kembali. Ia membuka laptop yang ia ambil kemudian ia letakkan di pangkuannya lalu membiarkan jari jemarinya menari-nari di atas keyboard. "Eummm tapi apa masuk akal?" "Ah sepertinya terlalu fiksi deh." Dia bermonolog sedari tadi karena ia harus menyelesaikan project mingguan yang ia jadwalkan. Padahal malam ini sebenarnya ide Mira sedang mampet, tapi demi disiplin waktu. Ia rela sampai larut malam memikirkan ide cerita yang hendak ia tulis. "Ah coba dulu aja deh," gumamnya sekali lagi kemudian mulai menulis sesuatu di laptopnya. *** Calista's Pov "Astagfirullah, Radif lo ngagetin gue tau nggak," omelku begitu melihat Radif yang tiba-tiba telah muncul di depanku Radif memandangku dengan tatapan aneh kemudian dia merebut tas jinjing yang berisi bekal. Iya, aku terbiasa membawa bekal sendiri ke sekolah. Mama melarangku untuk jajan sembarangan karena waktu aku SD, aku sempat keracunan karena jajanan sembarangan. Mulai dari situlah Mama selalu bawel mengenai makanan yang aku konsumsi. Tapi aku suka, itu artinya Mama menyayangiku. "Ehhh ... Radiffff mau lo apain bekal gue? Ini masih pagi, jangan buat gue emosi!" seruku histeris begitu melihat Radif membuka bekalku. "Woy, itu bekal gue. Jangan lo makan!" seruku lagi mencoba merebut makanan itu. Namun, tanpa disangka tanganku malah di cakar olehnya. "Awwwss .... " rintihku melihat bekas cakaran Radif yang mengeluarkan darah yang cukup kental. Aku melihat ke arah Radif yang kukunya sangat panjang dan terlihat tajam. Tak lama, saat aku sedang mengamatinya, ia mengendus-endus sesuatu dan dia bergerak maju mendekat kearahku. Aku yang melihat mata Radif memerah pun menjadi ketakutan sendiri. "Radif lo kenapa?" tanyaku ketakutan melihat Radif yang tampak menyeramkan. Aku ingin berjalan mundur lagi, namun di belakangku telah ada tembok yang menahanku sedangkan posisi Radif semakin mendekat kearahku. "Difff Radiffff!!!" seruku masih tak diidahkan. Radif terus mendekat dan tiba-tiba ia menyeringai dan muncul taring di mulutnya. Aku yang melihat itu pun langsung terbelalak dan semakin ketakutan. Radif melihat kearah tanganku yang masih mengeluarkan darah. Ya Allah, jangan bilang Radif itu serigala. Radif pun mencekal tanganku yang terluka dan setelah itu dia menyeringai kembali menunjukkan taring yang amat runcing. "RADIFFFF!!!" Aku terperanjat merasakan benda dingin menempel di pipiku. "AAA .... " "Astagfirullah, alhamdulillah kamu bangun." Aku menoleh ke samping dan mendapati Kak Ken di sana. "Kak Ken? Kenapa di sini?" "Kami tu tadi ngigo sampai ke kamar kakak. Ya udah kakak samperin eh ternyata beneran mimpi buruk," jelas Kak Ken. Aku pun segera teringat kembali mimpiku tadi. Radif jadi serigala? Ya Allah, mimpi apa ini. "Dih ditanya malah nggak jawab," ucap Kak Ken mengejutkanku. "Apa, Kak?" tanyaku seperti orang i***t. Kak Ken menghela nafas berat. "Radif siapa?" Aku membulatkan mataku begitu mendengar Kak Ken menanyakan itu. Bukannya gimana-gimana, aku cuma takut Kak Ken salah faham. "Temen kelas Lista kok, Kak." "Temen? Sampai dimimpiin?" gumam Kak Ken secara tidak langsung menyindirku. "Iya, cuma temen, Kak. Eh Kak makasih banyak yah udah dibangunin. Kak Ken capek kan pasti, terusin gih bogannya," usirku secara halus. Aku hanya takut Kak Ken bertanya aneh-aneh. "Dih ngusir. Inget yah jangan pacaran, fokus sekolah." Aku pun mengangguk cepat dan memintanya untuk segera kembali ke kamarnya. *** Aku berjalan di karidor sembari bersenandung ria. Walaupun semua kengerian yang aku alami tadi malam masih terbayang di otakku, namun sebisa mungkin aku menghilangkannya. "Hai Calista," sapa Helen yang sudah berjalan di sampingku. "Eh, Hai Helen." "Kayaknya lagi seneng nih, kenapa, Lo? Baru dapat undian berhadiah ya? Atau kucing Lo lairan?" ucap Helen memberondong pertanyaan. "Idih emangnya nggak boleh gitu gue bahagia? Lagian gue nggak punya kucing, Len. Kucing siapa yang lairan coba? Kucing tetangga?" "Ya heran aja gue, ngelihat wajah lo bersinar-sinar, hehehe. Lagian kan gue nggak mungkin nanya, mama lo melahirkan? Bisa-bisa gue digampar malahan," celetuk Helen membuatku tertawa kencang. Anggap saja aku ini berjiwa humor rendah atau bahasa kerennya receh. Lagian aku tidak mau kalau mama punya anak lagi. Dan nanti ujung-ujungnya aku yang harus menjaga, menilik umurku yang sudah hampir delapan belas tahun, bisa saja kan orang-orang menganggapnya anakku. "Hahaha ... Lo ihh lucu, yuk ke kelas aja." Sesampainya di kelas, tak banyak siswa yang sudah datang. Padahal ini sudah pukul 06.45 tapi belum ada setengah dari jumlah siswa yang datang. "Sendirian aja, Dif?" tanyaku kepada Radif yang tengah duduk di tempatnya dalam posisi menunduk. Ia tak menjawab perkataanku. Ia malah tetap diam tak berkutik. Melihat itu, seketika sekelebat mimpi tadi malam membuatku bergidik. Ya Allah, semoga itu salah. Karena aku takut kejadian dalam mimpi menjadi kenyataan, aku langsung berlari keluar kelas. Aku sebisa mungkin harus menjauhi Radif. Radif terasa aneh bagiku setelah mimpi itu. "Aduh .... " ringisku karena hampir saja terjatuh akibat bertabrakan dengan seseorang. "Ya Allah, Lista. Kenapa lari-lari?" "Eh Wendya?!" Pekikku begitu menyadari sosok yang aku tabrak adalah Wendya. "Tenang, Lis. Ada apa?" Aku menengok ke belakang berulang kali memastikan suasana aman. "Radif ... Radif ... " kataku dengan terputus putus akibat terlalu ketakutan. "Radif kenapa Calista?" tanya Wendya ikut panik. "Radif mau berubah jadi serigala," ujarku semakin panik. Seketika Wendya hanya melongo kemudian tertawa. Entah apa yang lucu, tapi Wendya sampai menangis karena tertawa. "Emangnya ada yang lucu? Gue panik nih." "Astagfirullah, Lis. Mana ada yang namanya manusia serigala. Kalau di sinetron baru ada. Ih kamu kebanyakan nonton sinetron yah?" ucap Wendya yang membuatku kesal. "Gue seriusan Wen." "Ya udah yok ikut aku." Wendya menarik tanganku menuju kelas kembali. Aku memberontak, namun tenaga Wendya jauh lebih besar. "Wen gue takut, serius!" seruku sepanjang perjalanan menuju kelas kembali. Aku hanya bisa pasrah dan berharap agar Radif tak memakanku, makan Wendya saja yang banyak dagingnya. Eh hihihi Saat kami telah sampai, Radif sedang duduk-duduk di depan kelas. "Kenapa sama Bintang, Wen? Kok lo seret?" tanya Radif mengamatiku. Aku pun bersembunyi di belakang punggung Wendya. Radif mendekat kearah kami sembari memandang curiga. "Emm Dif, coba jelaskan apa benar kamu manusia serigala?" tanya Wendya gugup. Sepertinya baru sekali ini aku mendengar Wendya berbicara kepada Radif. "Heh? Maksudnya? Lo halu ya?" "Kata Lista kamu manusia serigala. Padahal kan mana ada manusia serigala di dunia nyata." "Woy, lo halu, Tang? Nggak biasanya lo berpikir irrasional. Mana ada manusia serigala," ujar Radif kepadaku. Aku berpikir sejenak, benar juga. Itu kan hanya mimpi dan semua mimpi itu muncul gara-gara aku membuat cerita mengenai manusia serigala tadi malam. "Eh, itu ... bukan gitu maksudnya ... Eh ... " aku tergagap sendiri menjawab pertanyaan Radif. Agar tidak mencoreng citraku di hadapan Radif, aku pun segera menarik Wendya pergi dari sini. Teriakan Radif memanggil namaku terdengar begitu keras, namun tak aku hiraukan. Aku sudah cukup malu berhadapan dengan Radif. "Mau kemana, Lis?" tanya Wendya yang terkejut karena kuajak berlari menjauhi Radif. Sesampainya di taman sekolah, aku segera memerintahkan Wendya untuk duduk. "Aduh Wen kayaknya gue kayak gini gara-gara mimpi gue semalem deh," ujarku ingin bercerita masalah tadi malam. "Kenapa? Cerita aja deh." "Jadi semalam gue mimpi Radif jadi serigala, terus mau gigit gue, Wen. Konyol banget kan? Itu tu kayaknya akibat tadi malam gue ngetik cerita tentang manusia serigala deh." "What?! Hahaha, aduh Calista yang cantik, lain kali mending buat cerita yang lebih bermanfaat. Cerita mengenai perjalanan seorang hafidz mungkin, atau perjalanan seseorang yang sedang hijrah. Ingat Lista, apa yang kamu tulis harus kamu pertanggungjawabkan di akhirat nanti. Jadi, saranku lebih baik posting cerita yang mengarah kepada kebaikan, mengarah untuk lebih bersyukur atas nikmat Allah," ujar Wendya menasehatiku. Wendya ada benarnya juga. Jika aku menulis keburukan, bisa saja nanti akan menyeretku kepada nerakanya Allah. Aku tak mau jika yang aku tulis nanti bisa berdampak buruk terhadapku terlebih kepada orang lain. "Iya, Wen. Makasih banget nasihatnya, gue insyaallah nggak akan buat yang nggak masuk akal gitu." "Sebenarnya kalau mau membuat hal yang bersifat menghibur sih nggak papa, asalkan kamu mau bertanggungjawab." "Enggak ah, Wen. Gue kapok. Mungkin itu semua teguran dari Allah supaya gue menuliskan cerita yang lebih bermanfaat lagi. Eh iya, lo jadi kan ngajarin gue?" Aku baru teringat kalau Wendya kemarin setuju untuk mengajariku bagaimana menulis cerita yang mengandung syiar islami. "Iya jadi dong," ucap Wendya bersemangat. "Nanti di rumah gue gimana? Atau mau di sekolah aja?" tanyaku bersemangat empat lima. "Oke di rumah kamu aja, Lis. Sebenarnya kita sebagai muslimah dianjurkan untuk berdiam diri di rumah. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman : “Dan hendaklah kamu tetap tinggal di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu. Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (Al Ahzab: 33)." "Ouh, begitu. Terus lo keluar rumah memangnya nggak papa?" tanyaku. "Wanita boleh keluar rumah asalkan di temani oleh mahramnya. Dan yang penting adalah keluar apabila ada udzur dan harus bisa menjaga diri," tutur Wendya. Aku hanya mengangguk-angguk mengerti penjelasan dari Wendya. "Iya, Lis, jadi nanti aku mau minta tolong Kak Bram untuk nganterin ke rumah." "Siipp deh. Makasih banget pokoknya. Gue bersyukur banget punya teman kayak lo," ujarku memeluk Wendya yang tersenyum penuh arti. "Woy, apa masih lama kalian ngedramanya? Kalian nggak lupa kan kalau pelajaran pertama itu Pak Burhan?" Tiba-tiba sebuah suara mengejutkan kami. Mendengar dari suaranya saja aku sudah tahu kalau itu Radif. "Hah? Apa sudah mulai?" tanya Wendya histeris karena teroancing oleh ucapan kibulan dari Radif. "Mungkin akan mulai dua menit dari sekarang," tungkas Radif dan spontan membuat Wendya lari terbirit-b***t. "Lo nggak lari?" tanya Radif kepadaku yang masih terduduk. "Gue nggak bakal termakan berita hoaks-mu. Pak Burhan aja baru saja masuk kantor," jawabku menunjuk kearah Pak Burhan yang sedang mengetuk-ngetukkan sepatunya di keset. Aku pun beranjak menuju kelas, meninggalkan Radif yang masih ternganga. "Kenapa secepat itu kebenaran terungkap?" gumam Radif yang membuatku terkekeh geli. TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN