3-?Beautiful Eyes?

1576 Kata
_***_ Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya.” (QS. Al-Mudatstsir: 38) _***_ "Ngapain, Lis. Serius banget." Sebuah suara membuatku berjingkat kaget. Hampir saja aku akan memecahkan vas bunga kesayangan Mama. "Astagfirullah, Kak Ken ish ngagetin Calista tau nggak," sahutku sembari mengelus d**a karena terkejut. Mata Kak Ken memicing mengintip layar laptop yang sedari tadi aku saksikan. "Wah, wah ngapain tuh kok ada nama kakak juga," ceplos Kak Ken. Aku yang menyadari Kak Ken membaca sesuatu dari laptopku pun segera menutup paksa layar laptopku. "Ish, apaan sih, Kak. Nggak ada ihhh. Udah sana-sana pulang ke tempat asal," usirku. "Lah pelit amat kau, Dek. Awas hidungmu tambah pesek," ucap Kak Ken membuatku memutar bola mata malas. "Apa hubungannya deh, Kak." Kak Ken berjalan menjauhiku tanpa menjawab keherananku tadi. "Ish, ga jelas banget sih," gerutuku kemudian kembali menjalankan rutinitasku tadi. Ting ... Ting ... Ting ... Notifikasi WA terdengar memberondong berasal dari ponselku yang tergeletak tak jauh dari laptop. "Sapa sih, ganggu banget." Aku melihat notifikasi di layar kunci dan tertera nama "Ketu Rusuh". "Ya Allah, kebiasaan nih anak kalau mau ada perlu suka nyepam," gerutuku sembari membuka aplikasi dan membuka pesan tadi. "Hmmm, kan dah aku kata, pasti cuma huruf P seupil doang. Dasar Radif." Kebiasaan Radif adalah menyepam pesan yang hanya berisi satu huruf yang amat aku benci. Aku pun membalas pesan itu dengan cepat lalu kembali menjalankan acaraku yang berulangkali terganggu. Tidak memerlukan waktu lama, notifikasi ponselku berbunyi lagi. Aku tak segera membukanya karena aku tengah fokus berimajinasi. Tak ada yang boleh menggangguku saat berimajinasi. Bukannya aku tenang, justru ponselku terus berbunyi. Dengan geram aku ambil ponselku lalu tanpa membuka pesan dari Radif, aku langsung mengetuk pada profilnya dan aku scroll ke bawah lalu aku pilih menu "BLOKIR". Setelah itu baru aku baca pesannya tadi. Ketu RUSUH P P P P P -Knp? G PP P P P Jika kalian membaca pesannya mungkin akan sangat dongkol dengan si pengirim. Bagaimana tidak kesal, jika ketika seseorang hanya mengirim huruf P saja lalu ketika dibalas 'kenapa' malah hanya dijawab G PP. Nggak perlu dikirimin huruf 'P' juga aku sudah punya stok banyak kok. Akhirnya setelah kupastikan terblokir, kini sudah tak ada lagi yang menggangu aktivitasku. Setelah itu, aku pun terfokus kembali pada naskah cerpen yang sedang aku ketik. Sebenarnya aku sedang mencoba membuat cerpen yang di dalamnya terkandung materi keislaman. Kata Wendya genre cerita yang aku buat ini adalah spiritual. Yah, tadi Wendya sempat mampir ke rumah untuk memberitakan bahwa ada kontes cerpen yang ingin dia ikuti. Sebenarnya sih aku tak masalah jika Wendya akan ikut, tapi masalahnya di sini adalah ternyata Wendya juga mendaftarkan diriku dalam perlombaan itu. Rasanya aku ingin mengulitinya begitu ia dengan wajah tanpa dosa memerintahkanku untuk membuat sebuah cerpen yang baru saja aku pelajari. Tapi tak ada gunanya aku menggerutu, Wendya sudah mendaftarkan namaku jadi mau tak mau aku harus menyanggupi ketentuannya. Karena itu sudah menjadi tanggungjawabku. "Aish, capek banget nih mata." Aku mengusap mataku yang berair. Pasti ini karena aku tidak pakai kacamata nih. Aku sebenarnya memang berkacamata, tapi semenjak kejadian dua hari lalu, di mana kacamataku tak sengaja terinjak oleh Radif saat jatuh alhasil kacamataku telah bercerai berai. Aku tak sepenuhnya menyalahkan Radif karena ini memang murni kecerobohanku. "Calistaaa ... ada temen kamu tuh nyariin kamu." Aku sejenak terhenyak, apa itu Wendya? Pasalnya sebenarnya hanya Wendya seorang yang mengetahui alamat rumahku. Dengan langkah berat, aku beranjak dari zona nyamanku untuk menuju keluar rumah. Namun sebelum itu, aku mengambil khimarku terlebih dahulu dan memakainya. *** Aku mengintip melalui celah pintu dan hanya melihat samar-samar Kak Ken berbincang-bincang dengan seseorang. "Masa iya Wendya berani bercakap dengan Kak Ken," gumamku. Pasalnya selama Wendya ke rumahku, dia tak pernah berbincang sedikitpun kecuali denganku dan juga mama. Aku tak bisa melihat secara jelas siapa yang bercakapan dengan Kak Ken, yah kalian tahu sendirilah aku ini penderita miopia. Aku akhirnya memutuskan untuk mendekatkan diri. "Loh, Radif?" "Eh, hai, Tang." Aku tercengang begitu tahu ternyata yang datang tadi adalah Radif. "Nih, buat gantiin kacamata lo. Maaf mungkin nggak sebagus kacamata lo yang awal, tapi setidaknya ini ukuran minusnya sama kok." Aku menatap uluran tangan Radif yang menyodorkan sebuah kotak kacamata. "Nggak perlu diganti, Dif," tolakku secara halus. Tapi bagaimana dia bisa tau alamat rumahku? "Gak terima penolakan. Lagian lihat tu mata lo aja merah gitu. Sorry yah pasti karena lo nggak pakai kacamata," ujar Radif yang langsung menuai reaksi Kak Ken. "Loh emangnya kacamata kamu kenapa, Lis?" Aku mengode Radif untuk tidak memberitahukan kejadian sebenarnya. Pasalnya kacamata ini adalah kacamata yang dibelikan oleh Kak Ken dari gaji pertamanya. Jika Kak Ken tahu, bisa-bisa akan marah besar. "Eh, enggak papa kok, Kak. Ini tu punya Wendya, temen Lista yang ke sini kemarin," sangkalku sembari memikirkan skenario palsu yang aku rencanakan. Aku dengan cepat mengode Radif supaya mengikuti rencanaku, jika tidak, bisa gawat. "Ouh, emang begitu, Dif?" tanya Kak Ken kepada Radif yang sepertinya curiga apabila aku berbohong. Radif tak menghiraukan diriku yang sedari tadi menyampaikan kode. "Maaf, kak. Sebenarnya saya tak sengaja mematahkan kacamata milik Bintang, Kak." Seketika Kak Kenny melirikku dengan aura tak mengenakkan. Aduh, kenapa Radif pakai ngaku segala sih. Bisa-bisa aku kena semprot nih. "Lista, sudah berani berbohong sama kakak?" Dari nada suaranya saja sudah pasti sangat kecewa apalagi begitu melihat kacamataku sudah tak berbentuk. Aku hanya diam menunduk tak berani menatap Kak Ken. Kalau seperti ini aku akan sangat takut kepada Kak Ken. "Maaf, Kak jangan salahkan Bintang. Saya yang merusaknya. Saya minta maaf sekali, Kak," kata Radif memohon. Jujur saja aku tak pernah melihat Radif memohon seperti ini. "Lista?" Aku dengan gelagapan mengangkat kepalaku. "Maaf, Kak. Lista nggak bisa menjaga benda pemberian kakak," ujarku menahan tangis. Kenapa aku jadi cengeng gini? "Dih, cengengnya. Kakak nggak marah kok Lis, Kakak cuma minta Lista jangan berbohong lagi sama kakak, kakak nggak suka. Lagian nggak papa kok artinya udah waktunya kamu ganti kacamata kan. Kakak justru khawatir sama kondisi mata kamu kalau gak pake kacamata tu. Kemarin aja kata dokter mata tu mata kamu sensitif jadi harus dijaga banget kesehatannya. Udah pakai tuh pemberian dari Radif. Lain kali jangan bohong lagi." Aku terkesima, aku yang mengira Kak Ken akan marah justru sebaliknya. "Beneran, Kak?" pekikku masih tak percaya aman reaksi mengejutkan dari Kak Ken. Kak Ken mengangguk sembari tersenyum. "Udah jangan cengeng. Kakak mau ke rumah temen dulu. Radif kalau masih mau ngobrol sama Lista, masuk aja. Di rumah ada uminya Lista kok." "Iya, Kak. Hati-hati." Akhirnya Kak Ken pun pergi menyisakan diriku dan juga Radif. "Sorry ya, Tang." Aku menatap Radif dengan raut penyesalannya. "Kak Ken udah bilang nggak papa kok." "Lagian kenapa lo nggak ngikutin sandiwara gue tadi?" lanjutku yang kepo dengan Radif. "Gue cuma nurutin kata hati gue aja. Seorang laki-laki itu harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Kalau dari hal kecil aja nggak bisa tanggung jawab, gimana nanti bisa menjadi penanggung jawab keluarga." "Asekkk, gantle amat lo, belajar dari mana?" tanyaku dengan gurauan. Aku baru pertama ini melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana Radif bisa bersikap 'laki-laki'. "Iyalah gue kan cowok," ujar Radif membanggakan diri. "Dih, lo bawa motor kan? Ati-ati aja helm lo nggak cukup gara-gara kebesaran kepala," sindirku. Radif hanya cengengesan sembari berjalan akan memasuki rumahku. "Hey you! Mau kemana?" pekikku begitu Radif telah ada diambang pintu. "Mau minta minum, haus gue." Radif dengan tanpa permisi langsung memasuki rumah. Aku hanya bisa bergeleng-geleng melihat sosok ketua kelas yang rada kurang waras itu. "Gue sibuk, Dif." Langkah Radif terhenti. Dia berbalik menghadap kearahku yang ada di belakangnya. "Gue pengen tahu kesibukan lo," tungkas Radif lalu berjalan kembali kemudian duduk di sofa. Dengan jengkel aku mendekat kearahnya untuk melayani kemauan tamu tak diundang ini. "Mau minum apa?" tanyaku ketus. "Apakah seperti ini cara Bintang, si gadis yang terkenal rajin dan si bintang kelas ini melayani tamu?" sindir Radif yang pandangannya telah terfokus pada ponselnya. Aku geram terhadap tamuku satu ini, tapi sebisa mungkin aku harus bersikap baik. Aku menghela napas kasar. "Huh .... " "Mau minum apa, Radif?" "Secangkir kopi kayaknya enak, Tang." Dengan langkah gontai aku segera beranjak menuju dapur untuk membuatkan kopi untuk si Ketu Rusuh itu. *** "Ini nggak lo kasih sianida kan, Tang?" tanya Radif begitu secangkir kopi telah ada di tangannya. "Gue kasih baygon cair tadi," ucapku asal lalu aku ikut duduk di sofa dan membuka kembali laptopku. "Bar-bar amat," celetuk Radif yang tak aku pedulikan. Lama kami saling hening sampai suara Radif mengejutkanku. "Lo nulis?" "Astagfirullah, sudah dua kali ini gue di kagetin tau nggak. Kasihan jantung gue," seruku yang hampir memukul kepala Radif karena menyembul di sebelahku. Radif tak memperdulikan omelanku justru ia mengambil dan memainkan ponselku yang tergeletak di meja. "Lo pasti blokir WA gue yah." Mampus lo, Lis bisa bisanya ketahua . Aku menutup laptopku kembali tak menggubris dan mencari cara agar bisa mengalihkan pembicaraan. "Karena lo udah selesai minumnya, silahkan pintu ada di sana." Radif pun bangkit dengan wajah tak mengenakkan. "Masa tamu diusir," gerutu Radif sembari berjalan mendekati pintu keluar. Aku yang mendengar hal tadi hanya bisa terkekeh. Bukannya mengusir tetapi dia tadi hanya ingin mampir meminta minum bukan? Jadi apakah aku salah? "Hehehe, ati-ati. Thanks juga kacamatanya," seruku kepada Radif yang sudah menaiki motornya. Bukannya bergegas pergi, Radif malah kembali turun dari motornya. "Kenapa?" "Lupa, belum pamit ke Tante Tina." Mendengar itu, aku hanya mampu melongo melihat Radif berjalan memasuki rumahku kembali. Aku tak menyangka ternyata Radif bisa sopan seperti itu. Ckckck bagus deh kalau Radif bisa sopan gitu. Tingkah laku boleh nyeleneh tapi jangan sampai melupakan tata krama. Tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN