39-?Beautiful Eyes?

1059 Kata
-***- Jika cara kelembutan belum mampu membawa keinginanku sampai ditanganku. Mungkin cara kasar mampu membuatku menarik paksa apa yang aku inginkan untuk ku dapatkan. _***_ Era's POV Hari mulai gelap, bukan karena waktu yang semakin malam, namun karena awan hitam yang memenuhi langit. "Hahaha sepertinya labgit sedang mencoba memahami perasaanku." Aku kemudian tertawa, ternyata masih ada yang mengerti perasaanku, walaupun hanya awan yang mendukung apa yang aku rasakan. Aku berlari ketepian sekolah untuk berteduh, karena sekarang sudah mulai tetesan kecil membasahi seragamku. Kemudian terduduk di sebuah kolam ikan yang cukup teduh untuk melindungi tubuhku dari kebasahan air hujan. Kembali aku termenung, kejadian pertemuanku dengan seseorang membuatku berpikir tajam. Bayang-bayang seseorang yang menggangguku membuatku tak bisa berpikir jernih. Fauzan. Satu nama yang selama ini aku harapkan tersenyum kepadaku. Satu nama yang aku harapkan mau kembali menerimaku, mengakui keberadaanku dan mau untuk berbicara denganku. "Masa itu indah, Zan, andai gue gak ngelakuin hal bodoh dulu. Mungkin sekarang kita bakalan terus sahabatan dan berteman akrab. Gue gak nyangka sebuah kesalahan yang aku anggap kecil waktu itu akan berdampak begitu besar sekarang." Lagi-lagi hanya penyesalan yang dapat aku lakukan. Aku ingin menebus kesalahanku, namun sebesar dan sekeras apapun usahaku semua tak akan berarti apa-apa. Aku terlambat untuk memperbaikinya, aku terlambat menyadari bahwa aku telah meremuk kepercayaannya kepadaku. Tes... Lagi-lagi menangis. Aku memang tak sekuat itu ternyata. Aku selalu bertingkah bengis dan sinis itu hanya untuk menutupi sisi lemahku. Di saat bersama Fauzan aku berusaha bersabar menghadapinya yang jelas-jelas menolak kehadiranku, namun aku menerima itu semua. Aku pantas mendapat perlakuan seperti itu. Walaupun sebenarnya aku tak sanggup. "Lo pulang duluan aja, Dif, gue gapapa. Lagian Kak Ken katanya udah otw ke sini kok." Suara seseorang mengejutkanku. Aku bergegas bersembunyi begitu suara itu mendekat ke arahku. Untung saja ada pot bunga, aku bisa berdiam diri sementara di sana. "Gak, gue mau di sini dulu," jawab seorang siswa yang bersikeras menunggu siswi yang bersamanya. Akhirnya mereka melewatiku. Di sana aku melihat mereka tampak akrab dan tak ada kecanggungan di antara mereka. Aku tersenyum miris melihatnya. Nyatanya, untuk mendapat perhatiannya kembali kini sulit. Sakit rasanya melihat sosok yang kita cintai dengan terang-terangan bercanda bersama perempuan lain. Ini kah yang dinamakan cemburu? Sepertinya iya, namun apakah bolrh aku merasa cemburu kepadanya kini? Aku mencoba melangkah mendekati mereka. Walaupun sebenarnya hatiku tidak kuat melihatnya tertawa bersama orang lain. "Ya udah deh. Hati-hati tapi ya. Gue balik duluan," ucap siswa itu. Aku lagi-lagi tersenyum melihat sorot mata tanpa beban itu. Dan tak lups lekukan senyum yang ia tunjukkan membuatku berkali-kali jatuh hati kepadanya. Sungguh aku rindu. "Iya lo tenang aja. Udah sana." Namun lagi-lagi aku tersadar, senyuman dan tatapan itu bukan lagi milikku. Senyuman dan tatapan itu tak bisa lagi aku dapatkan. Aku harusnya sadar sedari dulu bahwa aku tak akan mendapatkannya lagi. Siswa itu nampak menjauh dari tempat disiswi yang ia ajak bercanda tadi duduk menunggu jemputan. Tanganku mengepal, ingin rasanya aku memaki dan mengecam siswi itu. Namun sepertinya hanya akan membuatku terkena masalah lagi. Dan diriku akan semakin dibenci olehnya. Aku menghela napas panjang. Aku berusaha menenangkan hatiku kemudian berjalan kembali lurus di posisi siswi itu. Sekarang hanya berjarak 10 langkah aku di belakangnya. Aku harus mengendalikan diriku dahulu sebelum mencoba mendekatinya. Aku punya tujuan tersendiri untuk berbicara empat mata dengannya. "Lo Bintang kan?" tanyaku kepadanya yang belum menyadari keberadaanku. Ia menoleh dan terlihat tersentak begitu melihat diriku. Setelah dirasa tenang, akhirnya aku pun kembali melangkah untuk mendekatinya. Ia nampak bingung dan sepertinya masih ingat siapa diriku. Aku akui dia sosok yang membawa energi positif dan tak lupa dia juga terlihat cantik. Huh ... sebenarnya aku merasa panas sekarang. Karena nyatanya ia memang memiliki kelebihan dariku. "Kok lo bisa deket banget sama Fauzan?" Aku seketika baru tersadar pertanyaan itu meluncur dari bibirku. Sebenarnya aku sudah berjanji untuk menahan pertanyaan itu. Mungkin itu karena aku merasa sudah dipukul telak olehnya. Ia nampak terkejut mendengar pertanyaanku. Sepertinya bukan ide buruk untukku menanyakan itu kepadanya. Walaupun aku sudah tau jawabannya. Aku hanya ingin tahu bagaimna reaksinya dan apa jaeabannya. "Gue gak deket sama Radif. c*m—" Sudah aku duga, ia aka menjawab dengan kalimat itu. Mengingatnya membuatku kesal saja. "Cuma sering bareng aja?" sahutku memotong pembicaraannya. Kesabaranku nampaknya sudah habis. Dan aku tidak bisa tenang sekarang. Namun mau bagaimana lagi itulah sifatku. Tapi bagaimana pun juga aku harus bisa mengendalikan diri. Aku tak mau Fauzan semakin membenciku. Aku berniat menemuinya hanya untuk sekedar mengujinya saja. "Gue sebenernya gak suka lo deket-deket sama Fauzan apalagi sampai ngobrol akrab. Jujur gue iri sama lo, Tang. Entah mantera apa yang lo ucapkan ke Fauzan, gue pengen kayak lo yang bisa deket sama dia," ucapku memulai untuk melakukan eksperimen "Bukannya lo temen masa kecilnya Radif?" Sungguh aku terkejut mendengar jawaban pertanyaan itu. Aku tak menyangka ia mengetahui hubunganku dengan Fauzan. Apakah Fauzan pernah bercerita tentangku? Entah mengapa perasaanku mendadak menghangat memikirkannya. "Jadi lo tau ya?" Ia nampak mengangguk dengan pandangan menatapku iba. Melihat tatapannya itu membuat tanganku mengepal kembali. Apa yang sebenarnya ia ketahui tentangku dari Fauzan? Apakah hanya kisah menyedihkan yang ia tahu? "Lo mau tahu kisah gue?" tanyaku dengan senyum sinis yang aku tampakkan. Raut wajah Bintang nampak tercenung. Ia terdiam tanpa kata. "Lo gak jawab, berarti artinya lo mau dengerin kisah panjang gue," ucapku menyadari kebimbangan yang Bintang pikirkan. Aku ikut duduk di dekat Bintang. Sejujurnya aku tak ingin menceritakan kisahku dengan Radif. Walaupun kisah masa kecilli dan Fauzan penuh dengan keceriaan, namuj nampaknya semua kisah nanti akan tertutupi dengan perilaku bodoh dan buruknya diriku nantinya. Namun tak apalah aku hanya akan menceritakan yang seperlunya aku ceritakan. "Lo yakin mau cerita sama gue?" Aku menoleh dan mendapati Bintang yang sepertinya meragukanku. "Seumur-umur baru pertama kali gue ceritain kisah gue ke orang lain." Kemudian Bintang nampak terdiam kembali. Aku tak bisa membaca pikiran wanita ini, namun yang pasti banyak pemikiran macam-macam di sana. Aku tak peduli tentang apa yang ia pikirkan. Aku hanya perlu menceritakan kisahku dan sebisa mungkin membuatnya terpengaruh untuk menjauhi Fauzan. Iya, itulah tujuanku. Mempengaruhi pikirannya dengan ceritaku. Aku tak akan melepaskan Fauzan secepat itu. Aku adalah Era, tak akan menyerah dan melepaskan apa yang aku inginkan. Aku akan berjuang dengan cara apapun untuk kembali mendapatkan senyuman dan tatapan Fauzan kembali. Aku pasti bisa menaklukan hati Fauzan kembali. Jika cara baik seperti ini tak bisa juga, aku akan melakukan hal lebih. Demi sosok Fauzan, aku mau melakukan semuanya. Tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN