Minggu ini Sean mengajak Ailane untuk keluar. Entah kemana yang penting ia pergi berdua dengan gadis itu.
Sejak ia selesai membaca buku diary milik Sharena Ailane mengerti seberapa rapuh nya dulu hidup Sharena.
Tentu banyak gangguan mistis pula saat diary itu berada di kamar nya. Namun setelah diary itu Ailane kembalikan kepada Sean ia sudah tak mendapat gangguan itu lagi.
Sejak saat itu pula perlahan-lahan Ailane menyerah dengan ego nya dan luluh kembali dengan Sean.
Ailane kini jauh lebih terbuka dengan Sean semenjak insiden terakhir kali ia tak sadar kan diri.
Saat ia diganggu oleh 'mereka' Ailane langsung menceritakan nya terhadap Sean.
Kini ia bersiap dan berdandan secantik mungkin versi diri nya sendiri.
Sean mengetuk pintu, Ailane membuka kan dan langsung mengunci nya begitu saja.
Kedua orang tua nya tak ada ia tak mau ada tetangga yang berfikir yang tidak-tidak karena memasukan laki-laki ke dalam rumah saat rumah sepi dan tidak ada orang.
"Kamu buru-buru sekali?" Tanya Sean.
"Ayah ibu lagi gak di rumah."
Sean mengangguk paham. Ternyata ini alasan aikane kenapa gadis itu terlihat tergesa-gesa.
"Om,"
"Aku penasaran gimana om bisa ngelamar Sharena." Tanya Ailane tiba-tiba.
Sean sering bercerita sebelum Sharena meninggal ia sempat melamar nya namun tak pernah menceritakan bagaimana cara Sean untuk melamar Sharena.
"Kamu mau saya ceritakan bagaimana saya melamar Sharena?"
Ailane mengangguk antusias sambil menatap Sean penuh harap agar laki-laki itu mau menceritakan nya.
Flashback on.
"Rere deg-degan om," Rere berucap gelisah, ia sedang berada di rumah megah yang didominasi warna biru langit sekarang.
"Ayo!" Sean menautkan jemarinya pada jari-jari Rere. Sean mengajaknya mengunjungi calon ibu mertuanya.
Rere sudah tak bisa tidur dari semalaman. Ia menggunakan dress panjang hingga lutut, ia harus bersikap sopan nantinya.
Sean mengajaknya masuk, para pembantu rumah tangga banyak yang menyambut kehadiran Sean.
Hingga wanita paruh baya yang tampil anggun memeluk Sean erat.
"Kamu udah lama banget tidak mengunjungi mama,"
"Sean sibuk Ma." Perempuan itu akhirnya melepaskan pelukannya pada Sean. Ia membisikkan sesuatu pada Sean, "Dia anak siapa Sean?" Sean hendak menjawab, tapi perhatian Rose beralih pada kekasihnya.
"Sayang, mama kamu mana? Kamu diapain sama anak Tante? Bilang sama tente sekarang." Tangan Rose mengusap lembut kepala Rere. Rere semakin salah tingkah karena itu.
Sean berdehem cukup keras, "Ma? Dia calon Sean."
Rose melotot tak percaya, ia menatap gadis cantik yang ia yakini masih bersekolah. Ia menarik Sean sedikit menjauh dari Sharena.
"Sean! Mama tau kamu udah lama sendiri, tapi kamu gak bisa bawa anak kecil juga Sean." Geramnya marah.
Sean mengelak, "Dia udah gede Ma, udah SMA."
Rose semakin kesal pada anak bungsunya itu. Ia menarik keras-keras telinga Sean hingga memerah.
"Apa kamu bilang? Masih SMA!?"
"Ma, dia pilihan Sean."
Rose menghela pasrah, ia juga memikirkan usia anaknya yang tak muda lagi. Sean memang tampan, tapi Rose tak habis pikir jika Sean membawa seorang gadis belia dihadapannya.
"Mama mau kenal sama dia."
Sean ingin loncat-loncat sangking senangnya, tapi ia tak mau menjatuhkan harga dirinya sia-sia. Rose tidak gampang menerima perempuan yang dikenalkan Sean. Ia menyusul Rose yang sedang menghampiri Rere.
"Kamu kenal Sean dimana sayang?" Tanya Rose masih dengan nada ramah.
"Di mall Tante,"
"Panggil mama aja," koreksinya.
"Kamu tahan sama sikap dia? Dia manja banget loh, dia gak akan bisa tidur kalau gak diusap kepalanya."
"Mama!" Sean tak tahan dengan Rose yang terus-terusan membongkar rahasia nya.
"Apa Sean? Mama lagi cerita sama Sharena, kamu pergi aja, ini urusan perempuan!"
Sean menurut, ia membiarkan mamanya berbincang-bincang dengan calon istrinya nanti. Mereka mudah sekali akrab. Bahkan, Rere tak sungkan menceritakan kisah pahit hidupnya.
Rose merasa iba, ia mengijinkan jika Rere menganggapnya sebagai ibunya sendiri. Rere menerima dengan senang hati tentunya.
Mereka kini sedang berada di meja makan untuk makan siang bersama. Rere pun lupa, kapan ia terakhir makan bersama dengan Ando maupun mendiang Celine dulu.
Rose paham, ia meninggalkan Rere dan Sean berdua setelah makan siang selesai.
"Om anak tunggal?"
"Saya punya dua kakak laki-laki, satunya berada di Amerika. Dan satunya lagi menetap di Surabaya bersama istrinya."
Rere mengangguk paham, matanya tertuju pada bingkai foto keluarga yang cukup besar tertempel di dinding ruang tamu.
"Papa om kemana?" Rere terus bertanya, seolah ingin mengenal Sean lebih dalam.
"Beliau pergi setahun yang lalu,"
Rere hanya membulatkan bibirnya membentuk huruf 'o'. Sean sudah cukup banyak tau tentang dirinya, dua bulan setelah pertemuannya dengan Sean sudah cukup membawanya ke jenjang yang lebih serius. Sean bukan tipe laki-laki yang suka mengobral janji manis seperti laki-laki kebanyakan. Sean akan menepati semua ucapan yang pernah dilontarkannya, kecuali mengajak Rere menikah, Rere belum cukup umur untuk hal yang satu itu.
Sean yang dewasa selalu membimbing Rere kemanapun. Rere dulu memang mempunyai sedikit keinginan untuk memiliki pasangan yang jauh lebih dewasa darinya, mungkin melalui Sean keinginannya terwujud.
"Saya dulu tidak percaya cinta." Ucap Sean tiba-tiba.
Rere menautkan kedua alisnya, "Maksud om?"
"Sebelum saya mengenal kamu, saya tiap malam suka bergonta-ganti perempuan."
Rere terkejut mendengar pengakuan itu, Rere juga menghargai kejujuran Sean. Ia tak bisa terus-terusan menutupi keburukannya dulu pada gadisnya.
"One night stand?"
Sean mengulum senyumnya, matanya terpejam mengingat sikap bejatnya dulu. "Semacam itu,"
"Sampai sekarang?"
Sean menggeleng, "Sejak saya kenal kamu, seperti ada dorongan dalam diri saya untuk menyudahi semua itu."
Rere mendesah lega, "Rere ikutan seneng."
Kepala Sean tertoleh menatap lembut wajah gadisnya. "Kamu tidak kecewa?"
"Untuk?"
"Semua kelakuan b***t saya,"
Rere menarik sudut bibirnya, ia menggeleng cepat. "Semua orang punya kisah kelam om, Rere sekarang sama om Sean yang sekarang, bukan yang dulu."
Sean menatap haru gadis kecilnya, ia menangkup wajah Rere, menatapnya dalam-dalam. Ia sedikit memiringkan wajahnya agar memudahkan mengakses muka Rere, entah sejak kapan Rere mulai menutup kedua matanya.
Sean semakin mendekatkan wajahnya.
"Seaaaaan!" Teriak Rose kencang, Sean menjauhkan wajahnya malu. Rere pun begitu, ia menundukkan wajahnya malu-malu. Rona merah terbit tanpa diharapkan.
Rose menghampiri Rere, "Maafin anak mama yang Sharena," Rere mengangguk kikuk. Rere tak berani menatap Sean karena rasa canggungnya. Rose kembali meninggalkan mereka berdua.
Sean mendekati Rere lagi, jantungnya memompa jauh lebih keras dari kerja biasanya. Sean terkekeh, Rere masih belum berani menatapnya.
"Padahal sedikit lagi Sharena," guraunya, Rere melemparkan bantal sofa kearah Sean.
"Udah berhasil ngelupain Benua?"
Rere mengangguk semangat, "Udah! Bahkan 100% Rere udah ngelupain dia." Ucapnya berapi-api.
"Syukurlah."
"Makasih,"
"Untuk apa?"
"Udah bantu Rere ngelupain Benua, terus sekarang jadi sayang sama om Sean deh hehe."
Sean tersenyum kecil, ia kemudian mengajak Rere berjalan-jalan di sekitar komplek perumahannya. Ada sebuah taman kecil disekitar sana.
Sean tak berhenti menggoda Rere dengan terus melontarkan kata-kata manis untuknya.
Rere duduk disebelahnya, tangan kanannya memegang ice cream yang berukuran cukup besar. Rere makan sangat belepotan, Sean berdecak. Ia mengusap sekitar mulut Rere menggunakan tangannya.
"Bocah. Gimana mau urus anak-anak saya nanti?"
"Masih lama banget om," Sean tak menjawab, ia mengeluarkan kota kecil dengan hiasan pita diatasnya.
Sean membuka kotak itu, Rere hampir tak bisa bersuara saat melihat cincin dengan hiasan berlian terdapat didalamnya.
"Saya bukan tipe pria romantis, tapi saya harap, kamu mau menjadi ibu dari anak-anak saya kelak." Sean menganggap perbuatannya jauh dari kesan romantis, tapi bagi Rere, perlakuan Sean padanya sangat romantis, sampai-sampai Rere kesulitan untuk mengambil nafas.
"Om ngelamar Rere?" Tanya Rere polos.
"Saya tidak tahu, jika kamu menganggap saya sedang melamar kamu, kamu benar. Saya akan menunggu kamu hingga lulus SMA Sharena, kamu menerima pinangan saya?"
Rere tak bisa lagi menyembunyikan rasa senangnya, kepalanya mengangguk beberapa kali sebagai pertanda penerimaan Sean.
Sean memakaikan cincin itu pada jari manis kekasihnya, cincin itu tersemat manis pada jemari Rere. Rere mengalungkan tangannya pada leher Sean. Sean membalas memeluk pinggang Rere.
"Terimakasih banyak sayang," suara serak itu menerpa daun telinga Rere, membuat pemiliknya sedikit merinding karena sapuan nafas Sean.
Rere hanya mampu mengucapkan kalimat syukur beberapa kali.
Dulu Rere menganggap Benua segalanya, pernyataan itu berubah semenjak Benua memilih untuk menikah dengan perempuan lain.
Sean Diwangka, nama itu, nama yang akan terus disebut Rere dalam setiap doa-doanya.
flashback off.
Ailane tak menyangka cara melamar Sean sederhana sekali namun sangat manis di ingatan nya.
"Om ke Ailane kenapa kurang romantis sih?" Tanya Ailane yang mulai membanding-bandingkan sikap Sean terhadap Sharena dan terhadap diri nya.
"Saya tidak mau kehilangan kamu, biarkan saya menjaga kamu dengan cara saya sendiri agar tidak kehilangan mu."