Ailane memaksa Sean agar laki-laki itu mengantar kan nya untuk ke makam Sharena. Entah lah ia ingin berkenalan dengan Sharena meskipun mereka kini telah berbeda dunia. Namun tak ada salah nya.
Alhasil, setelah mereka keluar dari restoran daripada Ailane semakin mengomel karena cemburu Sean menjadi pusat perhatian, lebih baik Sean menuruti kemauan gadis itu. Toh juga tak merugikan diri nya. Sekaligus ia datang kembali kesana dan menjenguk Sharena.
"Om berhenti," ucap Ailane menggoyang kan lengan Sean agar laki-laki itu menghentikan mobil nya.
"Kenapa Ailane?"
"Itu," Ailane menunjuk ke arah seorang ibu-ibu yang sudah tua yang berjualan kembang tujuh rupa. Atau bunga yang di gunakan orang untuk menyekar.
"Mau beli?"
"Iya ayok,"
Jujur Sean jarang membelikan bunga tabur saat nyekar ke makan Sharena. Ia mungkin biasa nya lebih suka membawa kan bunga mawar putih atau bunga favorit dari Ailane saat gadis itu masih hidup dulu.
Mereka berdua Kini telah turun dari mobil menghampiri ibu-ibu itu. Sean tak tahu berapa harganya, tapi ailane tau berapa banyak bunga yang biasa ia bawa saat dulu ia masih sering ke makam kakek nya. Ailane hanya membeli dua kresek bunga, dan setiap kantong kresek di hargai hanya sepuluh ribu rupiah saja.
Sean mengeluarkan uang lima puluh ribu an dan menyerahkan nya. Tak ada uang pas, pecahan nominal lima puluh ribu menurut nya sudah kecil.
"Saya tidak ada kembalian nak," ucap ibu itu. Memang di sebuah kotak yang ibu itu gunakan untuk menyimpan uang, pecahan uang disana seribu dan dua ribu aja.
"Tidak usah kembali," ucap Sean. Itung-itung ia juga sedang bersedekah dengan ibu itu sekarang.
"Terimakasih banyak nak, semoga kalian selalu di berikan rejeki yang berlimpah. Dan semoga kalian bisa awet sampai kakek nenek," ucap ibu itu menyebutkan rentetan doa untuk mereka.
"Amiinn, terima kasih Bu. Kita pamit dulu,"
Ailane hanya tertawaan, ia tak memiliki hubungan dengan Sean namun ibu itu malah mendoakan mereka seperti itu.
"Ada yang lucu?" Sean masih bingung, mereka sudah berada di dalam mobil tapi Ailane masih saja tertawa cengengesan.
"Ibu itu tadi lucu banget deh, masa doa supaya kita bisa awet sama kakek nenek," jawab Ailane.
"Ucapan adalah doa Ailane. Bisa saja Tuhan sengaja menitipkan kamu kepada saya,"
Ucapan Sean langsung membuat Ailane menghentikan tawa nya. "Selalu deh om,"
Ia heran, Sean masih saja optimis tentang mereka. Optimis tentang kemungkinan yang akan terjadi jika di akhir cerita mereka akan bersama-sama tanpa ada yang memisah kan.
Terkadang ucapan Sean terlalu jauh, berbeda dengan Ailane yang bahkan belum memikirkan tentang hal yang berbau dengan pernikahan.
"Tidak usah terlalu di fikirkan Ailane." Sean menyadari ucapan nya itu membuat Ailane tiba-tiba terdiam.
"Engga, siapa juga yang mikirin."
Ailane menghirup aroma bunga yang mereka beli, memang wangi namun saat malam hari tiba-tiba mencium aroma kembang tujuh rupa, bulu kuduk nya pun bisa berdiri.
"Saya tidak menyukai aroma itu," ucap Sean memperhatikan Ailane yang terus menghirup aroma bunga kantil.
"Kenapa?"
"Saya selalu mengingat Sharena, saya benci sekali. Saat Sharena meninggal, aroma bunga itu memenuhi penciuman saya. Seperti merasa sedikit trauma dengan aroma nya."
Ailane menjauhkan bunga itu, dan menaruh di bangku belakang.
"Maaf om, Ailane engga tau. Tau gitu enggak beli," secara tidak langsung Ailane membangkitkan luka lama yang sengaja Sean kubur dalam-dalam. Kemudian teringat kembali karena mencium aroma dari bunga itu.
"Tidak apa Ailane," Sean masih fokus dengan jalanan.
Suasana di antara mereka tiba-tiba saja menjadi canggung. Ailane masih merasa tak enak karena membuat Sean tiba-tiba teringat.
"Kamu haus?" Sean tau, Ailane gampang sekali merasa tidak enak hati atau merasa jika semua adalah kesalahan nya. Jika sudah begini, Sean harus sebisa mungkin membuat Ailane tidak merasa bersalah.
"Om, besok Ailane boleh kerja ya?"
Sean menoleh sebentar, "Jangan dulu. Tubuh kamu belum sepenuhnya fit. Apalagi pekerjaan kamu berat."
"Ailane udah bosen di rumah terus om," rengek Ailane. Besok genap seminggu ia berada di rumah dan tidka kemana-mana. Hanya berdiam diri di kamar dan memainkan ponsel nya. Sangat tidak produktif.
"Ailane, jangan membantah. Pekerjaan kamu berat, baru saja sembuh sudah minta untuk bekerja lagi." Ucap Sean, nada nya sedikit meninggi.
Ailane sedikit tersentak, namun cepat-cepat ia menormalkan ekspresi wajah nya agar tidak terlihat berlebihan.
"Maaf Ailane, saya tidak bermaksud untuk membentak kamu. Saya hanya mengkhawatirkan keadaan tubuh kamu," Nada nya lembut.
Ailane mengangguk, ia paham. Namun ia saja yang sedikit menyetel terlalu memaksa kan diri untuk bekerja. Sebenarnya meskipun tidak bekerja lama, tak ada yang perlu di khawatirkan oleh Ailane. Sean tetap menggaji nya bahkan laki-laki itu juga yang langsung mengizinkan nya untuk tidak bekerja selama beberapa waktu.
Mungkin ia besok harus memaksa kedua orang tua nya agar ia di perbolehkan untuk membantu mereka di warung. Berdiam diri di rumah saja sungguh menyiksa nya.
"Ailane?" Panggil Sean untuk memastikan apakah gadis itu tidak kenapa-kenapa.
"Apa?"
"Tidak usah bekerja dulu ya? Minggu depan saya janji akan mengijinkan kamu kembali bekerja."
Ailane menoleh semangat mendengar Sean memperbolehkan nya bekerja lagi walaupun harus Minggu depan tak masalah.
"Janji?"
"Iya Ailane,"
Telfon Ailane berbunyi, kebetulan jarak ponsel Ailane berada di dekat Sean. Sebelum Ailane mengambil nya, Sean sudah melihat nama seseorang yang menelfon Ailane.
Rayhan is calling.....
Ailane menoleh ke arah Sean, seperti meminta persetujuan secara tersirat untuk mengangkat telfon dari Rayhan.
"Angkat saja,"
Ailane menyalahkan mode speaker di hp nya agar Sean bisa mendengar juga percakapan nya nanti dengan Rayhan.
"Ailane maafin aku, aku percaya kamu emang gaada hubungan apa-apa sama pak Sean. Tolong jangan menjauh lagi," ucap Rayhan dari sebrang sana tiba-tiba.
Sean mengangkat sebelah alis nya, nama nya di sebut oleh Rayhan. Sedangkan ia tak tahu apa permasalahan antara Ailane dan juga Rayhan.
Terus untuk masalah menjauh, Ailane sama sekali tidak bermaksud untuk menjauhi Rayhan. Malahan ia merasa jika Rayhan lah yang menjauh dari nya semenjak Rayhan pulang dari rumah sakit.
Pesan nya saat sebelum Rayhan datang ke rumah sakit waktu itu saja belum mendapatkan jawaban dari Rayhan hingga kini. Jelas saja yang menjauhi nya secara sepihak adalah Rayhan bukan diri nya.
"Ailane kamu lagi dimana?" Tanya Rayhan dari balik telefon itu.
Sean menempel kan telunjuk nya pada bibir nya sendiri. Memberikan isyarat agar Ailane tidak memberitahu ia sedang bersama dengan Sean agar Sean pun juga mengerti apa maksud Rayhan menelfon Ailane.
"Lagi keluar sama temen, kenapa Ray?"
"Bisa ketemu sekarang? Ada yang mau aku omongin sama kamu." Ucap Rayhan.
Ailane menjauhkan telfon nya dari telinga dan mulut nya.
"Gimana?" Tanya Ailane berbisik mengeluarkan suara se kecil mungkin agar Rayhan tak dapat mendengar ucapan nya dengan Sean.
Sean mengacungkan jempol nya, isyarat agar Ailane menerima ajakan Rayhan itu.
"Boleh, aku lagi di sekitaran daerah Pattimura sekarang."
"Sejam lagi aku nyampe ya ay,"
Kemudian Rayhan mematikan telefon begitu saja. Padahal Ailane belum menanyakan kenapa Rayhan mengajak nya untuk bertemu kali ini.
"Kok boleh si?" Ailane memprotes pada Sean. Tujuan awal mereka sekarang adalah untuk datang ke makam Sharena. Padahal mereka saja sudah membeli bunga untuk di tabur disana.
Dan bego nya lagi ia menuruti saja apa permintaan Sean tanpa menolak nya terlebih dahulu.
"Kata nya mau ke makam Sharena?" Proses Ailane lagi.
"Saya bisa mengajak kamu kapan pun untuk datang ke makam Sharena, tapi kali ini rasa nya tidak bisa menunda nya."
Entah sejak kapan Ailane kini lebih condong dan berada di pihak Sean ketimbang Rayhan.
Ting!
"Coba liat siapa tahu dari Rayhan,"
Benar itu adalah pesan dari Rayhan.
"Ay, di cafe cakrawala aja. Aku lagi isi bensin habis ini nyampe. Maaf ya ay kalau misal kamu datang duluan nanti nya, aku usahain cepet nyampe disana." Ailane membaca isi pesan yang di kirim kan Rayhan agar Sean bisa mengetahui nya.
"Dimana cafe cakrawala,"
"Saya tau," Sean memutar balik kan mobil nya.
Ia pernah memiliki janji dengan klien nya di cafe itu. Lokasi nya memang tidak terlalu jauh dan juga tidak terlalu dekat.
Mungkin butuh waktu sekitar lima belas menitan lagi untuk sampai disana.
"Ailane tolong ambilkan topi dan kaca mata saya di belakang."
Ailane mengambil topi Sean dan kacamata yang semuanya memang berwarna hitam.
Ailane menelan ludah nya sesaat tertegun dengan Sean. Padahal hanya di tambah topi dan sebuah kacamata yang bertengger manis di hidung mancung Sean.
"Nanti, saya akan duduk agak jauh dari kamu. Kalau dia macam-macam saya langsung menghampiri kalian," ucap Sean.
Ailane hanya mengangguk, ia turun dan masuk ke dalam cafe itu seorang diri. Dan Sean menyusul di belakang nya agar tak menaruh kecurigaan oleh siapa pun.
Ailane mengambil duduk yang tidak terlalu pojok. Berada di tengah tengah agar mempermudah kan Sean juga dalam mengawasi dirinya.
Sean sendiri mengambil duduk yang jarang diketahui oleh orang karena meja nya tertutup oleh sebuah pot bunga besar namun ia masih bisa melihat Ailane dari tempat duduk nya berada.
Kalian tahu? Sangking penasaran nya dengan pembicaraan yang akan terjadi diantara Ailane dan juga Rayhan, mereka sampai harus bertelfonan lewat w******p sekarang. Namun, Sean membisikan panggilan nya agar tak menimbulkan banyak suara nanti nya.
Rayhan sudah datang, Ailane melambaikan tangan nya ke arah Rayhan agar laki-laki itu segara datang ke meja nya.
Sean dari kejauhan memasang kuda-kuda dan memasang earphone nya.
"Ay maaf ya aku telat," ucap Rayhan pertama kali saat ini. Rayhan sudah duduk di depan Ailane.
Sean mendengar ucapan maaf itu dari Rayhan karena posisi handphone Ailane sengaja ia letak kan di atas meja.
Sean menatap Rayhan tak suka dari kejauhan. Tak bisa dipungkiri memang, sejak pertama kali datang pandangan mata Rayhan langsung terfokus pada paha mulus Ailane yang memang terekspos karena celana nya yang memang pendek.
Sean ingin melarang Ailane dan mengatur pakaian gadis itu agar tak mendapat kan tatapan lapar oleh laki-laki berhidung belang. Namun ia siapa? Ia tak mau Ailane menganggap nya toxic dan menghancurkan usaha nya selama ini. Sia sia ia membuat diri nya dan Ailane dekat namun sikap nya sendiri yang menjauhkan mereka.
"Ay, kamu udah maafin aku?" Tanya Rayhan.
"Maafin soal apa?"
"Kemarin waktu di rumah sakit, aku bentak kamu. Aku ga percaya kalau kamu memang engga ada hubungan apa-apa sama pak Sean." Rayhan mengingat kan Ailane kembali agar gadis itu mengingat nya dan paham kenapa Rayhan meminta maaf kepada nya.
Sedangkan Sean, ia sekarang mengerti alasan nya kenapa karyawan nya itu meminta maaf kepada gadis nya. Entah lah Sean lebih menyukai menyebut Rayhan dengan sebutan 'karyawan' nya ketimbang menyebut kan siapa nama nya.
"Gapapa Rayhan. Aku udah lupain kok, gausa di bahas lagi ya? hehe."
"Kamu kesini sama siapa ay?" Tanya Rayhan mengalihkan pembicaraan nya karena Ailane sendiri yang menyuruh agar tidak membahas nya.
"Eh sampai lupa,"
Rayhan memanggil salah satu pelayan cafe agar melayani mereka. Ia sampai lupa jika belum memesan apa-apa.
"Kamu mau apa ay?" Tanya Rayhan membolak-balik kan buku menu makanan nya.
"Ini banyak makanan yang bukan berbahan dasar keju." Ucap Rayhan perhatian. Ia masih mengingat jika Ailane tak menyukai keju.
Sean berdecih, ingin muntah rasa nya mendengar anak ingusan seperti karyawan nya yang berusaha menaruh perhatian nya kepada Ailane.
"Aku udah makan tadi. Aku gabisa lama-lama disini ada urusan, kalau kamu masih mau ada yang di omongin, langsung aja."
Sean tersenyum, "Good girl,"
Seperti nya Ailane tau juka Sean sudah tak tahan melihat ucapan mereka yang sok manis. Apalagi melihat wajah Rayhan yang terkesan menantang diri nya membuat Sean ingin menghajar nya hingga babak belur.
"Udah engga ada kok ay, kamu mau aku anter?"
"Enggak usah," tolak Ailane.
Rayhan merasa ada yang aneh dan tak beres dengan Ailane hari ini. Biasa nya raut muka Ailane sangat ceria saat bertemu dengan nya, tidak seperti sekarang yang sangat masam dan tidak enak untuk di lihat.
Ailane sudah berdiri, Rayhan ikut berdiri.
"Beneran gamau aku anterin?" Tawar Rayhan sekali lagi siapa tahu saja gadis itu berubah pikiran.
"Engga usah Ray, aku bisa pulang sendiri."
Mereka berdua keluar dari sini tanpa memesan apa-apa.
Sean memperhatikan mereka berdua yang keluar dari sini.
"Ay aku pamit dulu ya,"
"Hati-hati ya Ray," balas Ailane.
Ailane masih memperhatikan motor Rayhan jika benar-benar pergi dari sini sebelum menyuruh Sean keluar dari persembunyiannya.
Tidak lucu jika sebenarnya Rayhan tidak langsung pulang dan berdiam diri di suatu tempat tiba-tiba melihat Sean bersama dengan Rayhan.
Setelah yakin jika motor Rayhan sudah bergerak menjauh dan tidak terlihat lagi, ia seratus persen yakin jika Rayhan memang sudah benar-benar pergi.
"Udah om, cepet keluar."
Ailane mematikan telfon yang sedari tadi tersambung dengan Sean. Kini mereka sudah naik ke dalam mobil Sean.
Sean sengaja mencari jalan lain tidak melewati jalan yang dilewati oleh Rayhan. Untung nya hari ini Sean membawa mobil yang tidak pernah ia basa ke kantor sebelum nya, sehingga jika ia sewaktu-waktu berpapasan dengan Rayhan di jalan, kemungkinan besar Rayhan tak akan menyadari jika itu adalah mobil Sean dan Ailane berada di dalam nya.
"Om, ke makam yuk?" Ajak Ailane kembali.
"Sekarang?" Sean melirik ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangan kiri nya.
Masih pukul tiga ternyata. Tidak terlalu sore jika mereka harus ke makam sekarang.
"Iya, please?" Ailane menampilkan wajah memohon agar Sean menuruti apa mau nya itu.
"Ya sudah."
Sean sedikit melakukan mobil nya dengan kecepatan yang kencang, agar ia sampai di makam nanti langit sudah tidak berubah menjadi gelap. Ia tak takut, tapi ia tak akan mengajak Ailane pergi ke makam untuk malam hari.
Mereka sudah sampai di depan pemakaman umum tujuan mereka.
Sean menggandeng Ailane untuk masuk ke dalam.
Mereka berdua berjongkok di depan makam Sharena.
Meskipun Ailane dan Sharena tak mengenal satu sama lain, Ailane masih tetap mendoakan Sharena sama seperti apa yang Sean lakukan sekarang.
Setelah berdoa mereka menaburkan bunga yang mereka beli. Sebagian banyak bunga yang mereka beli Ailane yang menabur kan nya.
Ailane bisa tau tatapan Sean yang berubah menjadj kosong saat menatap nisan yang bertulis kan almarhum Sharena.
Berat memang kehilangan orang yang ia sayang, apalagi kehilangan orang yang telah menjadi bagian dalam hidup kita.
Di mata Ailane Sean kuat sekali karena masih bisa tetap terlihat tegar meskipun ia sudah pernah kehilangan mantan tunangan nya.
"Halo Sharena! Aku Ailane, kata om Sean wajah kita mirip. Tapi emang beneran mirip? Ngomong-ngomong, om Sean disini baik-baik aja kok. Kamu engga usah khawatir disana." Ucap Ailane bersemangat.
Sean tertawa melihat tingkah Ailane itu, padahal dalam hati nya sangat sakit sekali.
Ailane hendak menyandar kan kepala nya di bahu Sean, namun saat menoleh ia melihat seorang yang wajah nya sama persis dengan diri nya namun berlumuran dengan banyak darah.
Ia yang kaget reflek mengedipkan mata nya setelah ia membuka mata nya kembali sesosok itu sudah tidak ada lagi disanan
Itu Sharena?
"Om ayo pulang," ajak Ailane tiba-tiba menarik tangan Sean.
Perasaan nya kembali tak enak, seperti ada yang mengganjal kembali. Padahal beberapa hari ini ia tak merasa kan hal itu.
Wujud sesosok yang mirip sekali dengan dirinya masih teringat jelas meskipun ia hanya melihat nya beberapa detik saja.
Sean yang bangun namun Ailane masih saja tetap menarik tangan nya agar keluar dari sini pun hanya menuruti saja.
Sean khawatir, tiba-tiba saja wajah Ailane sangat pucat dan tubuh nya bergetar.
"Ailane kamu kenapa?" Tany Sean.
Mereka sudah kembali ke dalam mobil.
Ailane belum menjawab nya ia mengambil air mineral dan meneguk nya habis dengan cepat.
"Ailane?"
Ailane menatap Sean dengan pandang an yang kosong, bibir nya pucat. Padahal sebelum mereka berada di makam Ailane ceria dan terlihat sehat sekali.
"Sharena kangen om." Ailane mengucap kan tiga kata itu dengan mata yang hanya terlihat putih saja.