her wonderful life

2542 Kata
at the same time...  "Aunty Beta ngapain?" Suara Bea memecah fokus Melinda. Ia baru saja menatap kepergian Diaz yang tampak terburu-buru. Dalam hati ia membenarkan kata Dian tentang Diaz yang ada acara. "Ngapain sih Bet? Belum selesai dari tadi?" Melinda ikut menyapa salah satu stafnya yang memang sedari tadi duduk berjongkok di balik rak etalase. Beta memang bertugs mengecek barang yang terdisplay di sana. Tetapi sepanjang obrolannya dengan Diaz, Melinda melihatnya berjongkok cukup lama. "Mbak Meeeeeeeelll!!!" "Eh kenapaa???" Melinda terheran-heran melihat perempuan yang lebih muda darinya itu merengek dengan muka bersedih. "Mbak client tadi itu Diaz Putra kan?" "Iya. Kenapa? Kamu kenal?" "Mbaaaaaaaaaaak" Beta semakin merengek bahkan berlagak kehilangan kekuatan. Tubuhnya ia sandarkan pada etalase lalu meratap bersedih. "Diaz Putra loh mbak idola seluruh perempuan Indonesia. Dia aktor favorit aku, suami idaman akuu" Melinda hanya mengernyit heran sedangkan Bea mengerjap bingung memandangi kelakukan salah satu auntynya. Mendapat respon seperti itu Beta semakin pasrah. "Diaz itu masih jadi aktor ya?" tanya Melinda polos. "Udah lah Mbak Mel yang anti sosmed ga bakal paham" decak Beta lalu melenggang ke bagian belakang. Lingkungan kerja yang dibangun Melinda itu bersuasana kekeluargaan, keakraban dan tetap profesional. Tak heran jika para staf satu sama lain menjadi dekat dan santai berinteraksi satu sama lain. Melinda menduga bahwa Beta mencari pendukung untuk euphoria yang ia rasakan. Setelah hilang ke arah bagian belakang, terdengar pekikan heboh. Tampaknya Beta berhasil meyakinkan rekan-rekannya yang kemudian saling berlarian ke arah Melinda hendak memastikan. Tiga karyawannya yang semuanya perempuan itu kembali menjerit dengan heboh. Melinda membenarkan pernyataan Beta tentang kedatangan Diaz Putra. Dari reaksi yang mereka tunjukkan juga ungkapan penyesalan karena tidak bisa mendapatkan tanda tangan ataupun foto, membuat Melinda menjadi tahu bahwa Diaz masihlah Diaz Putra. Mugkin sekarang namanya jauh lebih terkenal dibandingkan dulu, beberapa tahun silam saat mereka masih dekat. Seperti yang kerap kali diinfokan stafnya, showroom Bea&Co. memang kerap kali kedatangan artis. Tetapi sesuai SOP yang ada, tidak boleh ada karyawan yang menggangu pelanggan di luar urusannya sebagai client. Itulah yang membuat Bea tadi hanya bisa memakukan diri begitu idolanya berada di sana. "Sayang, bunda beresin kerjaan bentar ya terus kita berangkat" Bea mengangguk patuh, ia sudah terbiasa menunggui sang ibu yang sedang bekerja. Bea&Co. sudah menjadi tempat yang familiar baginya. Bahkan Melinda juga membuatkan area khusus untuk Bea bermain tetapi tak jarang juga beberapa staf menjadi baby sister dadakan yang menemani Bea. "Putri Lebah mau kemana nih sama bundanya?" Beta dan beberapa karyawan yang tadi berheboh ria sudah beralih mengerubuti Bea. Mereka suka sekali berinteraksi dengan gadis cilik itu. "Mau ambil baju buat tari-tari. Besok Bea tari-tari sama temen di sekolah" "Oh iya? wiiih Putri Lebah hebaaat" Senyum Bea semakin lebar mendengar sanjungan untuknya. Ia semakin antusias bercerita. "Besok Bea juga mau ketemu ayah loh" "ha?" Raut bingung tidak bisa dihindarkan begitu mendengar celotehan Bea selanjutnya. Melinda hanya bisa memejamkan mata sambil menghembuskan napas mencoba tenang. Para stafnya pasti tengah kebingungan menanggapi hal tersebut. "Kita besok ketemu ayah kan bund" Semua mata mengarah ke Melinda meminta penjelasan. Dengan itu Melinda mengangguk dengan sunggingan senyum ke arah putrinya. Melinda merasa kini ada tatapan mengasihani diterimanya. Setelah itu satu persatu staf kembali pada pekerjaannya dalam suasana canggung meninggalkan Bea. Anak itu sudah asyik dengan mainan puzzle yang ia keluarkan dari dalam tasnya. Untuk sampai di hari ini adalah waktu yang panjang bagi Melinda. Hari dimana Bea akan menanyakan sosok sang ayah memang selalu membayangi Melinda. Sebenarnya ia masih tidak percaya bahwa hari itu akan datang secepat ini. Tetapi kesiapannya tidak akan pernah 100% karena bagaimanapun juga Melinda tidak akan pernah siap. Bayang-bayang kebahagiaan Bea dan antusiasnya untuk bertemu sang ayah mungkin saja terenggut begitu Melinda mengabulkan keinginan putrinya. Salah satu hal yang menjadi ketakutannya memberi tahu Bea kenyataan yang sebenarnya. "Sayang yuk!" "Let's go!!!" . . . Hari pentas seni Bea pun tiba. Melinda mengenakan baju putih sesuai dresscode yang ditentukan. Bersama para orangtua ia duduk di barisan penonton. Segerombolan anak dengan dress putih menaiki panggung. Melinda dapat melihat Bea yang berada di antara anak-anak perempuan yang bersiap untuk menari. Musik dimainkan dan secara serempak penari cilik itu mulai menggerakkan tubuh mereka. Serius sekali mereka menarikan gerakan yang sudah dilatihkan untuk mereka tampil hari ini. Satu dua anak ada yang bengong di part tertentu membuat hadirin semakin merasa gemas dengan tingkah mereka. Tak sadar Melinda menitikkan air mata. Bukan karena sedih melainkan ia tengah merasa bangga. Waktu begitu cepat berjalan, rasanya baru kemarin ia menangis tersedu karena kelahiran sang putri. Malaikat kecilnya yang menguatkannya untuk tetap hidup. Permata hatinya, Beatrice. "BUNDAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA" "AAAAA Sayangnya bunda hebat banget tadi narinya" Bea langsung menghambur ke pelukan Melinda. "Kiss bunda nak!" muach muach muach. "Bunda.. bunda... ayo foto situ. Bea buat sama teman-teman. Ayo kesitu bunda!!" Tak sabaran Bea menggeliat meminta turun dari gendongan sang ibu. Anak itu berlari menuju area photobooth. Terlihat backdrop yang terpasang terdapat cap tangan-tangan kecil yang Melinda tebak sebagai karya anak-anak kelompok bermain. Beberapa funprops juga tersedia untuk membuat tampilan foto yang lebih menarik. "Ayo Bund! Kita bikin kayak Chia" "Hello Beatrice" Miss Ami salah satu yang bertugas mengatur photobooth menyapa dengan riang. Ia juga menyerahkan beberapa props yang salah satunya terdapat nama Bea. Sayangnya melihat tiga atribut yang sekarang dipegang Bea membuat Melinda membeku. Atribut dengan nama anak juga tulisan ayah juga bunda dberikan kepada Bea yang ingin seperti teman-temannya. Teman-teman Bea pastilah banyak menggunakan atribut serupa. Sesuai undangan yang dikirim tentulah banyak orang tua yang hadir. Sepertinya Miss Ami juga segera menyadari sesuatu hingga berniat mengambil satu tag dengan tulisan ayah. Tetapi Melinda segera menggelengkan kepala lalu tersenyum lembut membiarkan Bea tetap memiliki atribut yang lengkap. Sayangnya Bea juga cepat tersadar, anak itu menatap bergantian antara Chia dan kedua orang tuanya yang baru selesai berfoto dan seorang anak di belakangnya juga dengan kedua orang tuanya. "Ini buat ayah, bundaaa" tangan kecilnya mengulurkan dua tag 'ayah' 'bunda' pada Melinda. Sang ibu benar-benar menahan diri untuk tidak emosi kepada pencetus ide photobooth. "Iya ayok sini samping bunda" Melinda sudah mengambil posisi untuk segera berfoto. Ia pun menerima pemberian Bea dan memegangnya masing-masing pada kedua tangan. "Ayah ga bisa ketemu Bea sekarang?" "Kan bunda kemarin bilang abis Bea nari" "Bea udah nari" Sungguh Melinda sering kali kalah jika harus menjawab pertanyaan-pertanyaan Bea. Ia menjadi kehilangan kemampuan untuk merangkai kata bahkan suaranya seolah tertelan ditenggorokan. "Abis pulang dari sekolah ya nak.... Kita ketemu ayah abis pulang sekolah" Melinda berusaha menjaga intonasi suaranya juga senyum meyakinkan untuk Bea. "FOTO SAMA AYAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHH!!!" Bea menjerit, menangis dengan keras membuat Melinda teriris pilu. Segera ia rengkuh tubuh sang putri yang memberontak minta dilepaskan. Dalam usahanya membawa Bea ke tempat yang lebih sepi menjauh dari kerumunan orang, Melinda juga menangis. Dibandingkan Bea yang berontak bahkan tak jarang memukulkan tangannya ataupun kakinya yang tidak sengaja menendang, ada hatinya yang terasa perih lebih terasa sakit. "Maafin bunda nak" "Maaf ya" "Bea, bunda minta maaf" ucap Melinda sembari mengecupi kepala Bea. Untuk beberapa saat Melinda hanya terus mengusap punggung sang anak mencoba menenangkan. Akhirnya Bea sudah jauh lebih tenang meski masih sesenggukan dalam pelukan Melinda. "Bunda Mel" Sebuah suara menghampiri Melinda. Ternyata Miss Ami juga berada di area playground tempat Melinda menepi. Ibu guru itu memberikan tisu juga sebotol air mineral pada Melinda. Sebagai wali murid kelas Bea, Miss Ami memang dekat dengan para orang tua anak asuhannya. Usia yang sepantaran membuat Melinda dan Ami juga menjadi jauh lebih dekat dan akrab. Ami mengetahui kondisi Melinda dan Bea. Jadi, melihat momen Bea memprotes seperti tadi cukup membuat Ami juga bersedih. Ia mengusap lengan Melinda mencoba memberi support. Melinda tersenyum menerima tisu lalu membersihkan wajahnya yang pasti sembab. "Makasih Miss Ami" Bea mengangkat tubuhnya untuk melihat seseorang yang mengajak ibunya berbicara. Kesempatan itu pun dimanfaatkan Melinda untuk membersihkan muka Bea dari sisa-sisa air matanya. Tetapi setelah melihat Miss Ami, Bea kembali bergelung menyembunyikan wajah pada sang ibu. "Putri Lebah bunda udah nangisnya?" "Ayok ketemu ayah bund" Miss Ami tampak kembali menatap sedih bergantian pada Melinda dan Bea. "Iya ayok. Tapi bunda boleh minta tolong" Bea mendongak penasaran "Kita foto sama Miss Ami yuk. Di sini pake hp bunda" Akhirnya Bea pun mau diajak mengambil foto bertiga dengan Miss Ami di area playground. Bahkan Bea juga sudah tertawa saat Melinda menggelitikinya ketika mereka foto berdua. "Kalian beneran mau ketemu..." Miss Ami berbisik pada Melinda. "Iya, doakan ya Miss" "Boleh aku peluk?" Melinda terkekeh kemudian merentangkan tangan. Dua perempuan sebaya itu saling memeluk erat "Kamu hebat Mel" ucap Miss Ami. "Bundaaaaaaaaaaaa Ayoooook!" Bea sudah kembali berceloteh di sepanjang jalan. Sedangkan Melinda semakin panas dingin seiring perputaran roda mobil membawanya ke tempat tujuan. "Ayah di sini bund?" Bea menempelkan wajahnya pada kaca jendela untuk melihat lebih jelas toko bunga yang mereka datangi. "Engga, kita belum sampai" "Terus?" "Ayah suka ada di taman bunga. Kata ayah dia sukaaa sekali sama aroma bunga. Jadi, sekarang kita cari bunga buat ayah dulu ya" "Okeeee" Memasuki toko bunga langganan Melinda, Bea menjadi bersemangat melihat deretan bunga beraneka rupa. Gadis cilik itu berusaha membuat bucket dengan seluruh bunga. Bahkan ia juga memikirkan jenis bunga yang akan ditaruh di dalam rumah. Melinda hanya tertawa geli melihat kelakuan sang anak. Selesai dengan toko bunga, Bea membawa bucket yang bahkan sebesar pelukannya dengan bunga berwarna-warni. Pemilik toko yang gemas dengan tingkah Bea memberi benih bunga matahari beserta pot, secara gratis untuk Bea. Sisa perjalanan dipenuhi dengan Bea yang menanyakan ini itu perihal bunga kepada Melinda. Energi anak itu memang tidak ada habisnya. Selalu ada saja bahan obrolan yang ia lontarkan. Hari sudah sedikit sore ketika Melinda memarkirkan mobil sampai di tempat tujuan. Suasana tampak sepi karena mungkin bukan hari dimana biasanya orang-orang berkunjung. Sebelum turun Melinda memasang topi lebar untuk Bea. Matahari masih lumayan terik di luar sana. "Mbak Mel" Seorang laki-laki berusia lebih dari tujuh puluh tahun menyapa Melinda. Burhan adalah seorang penjaga pemakaman yang sudah familiar dengan Melinda. Apalagi Melinda memang kerap kali datang. "Assalamualaikum, selamat sore Pak" "Waalaikumsalam sore mbak, ini anaknya Mbak Mel?" "Iya pak. Bea, salim dulu sama Eyang Burhan" Bea mengerjap-ngerjap ragu melihat sosok asing di depannya. Sedari tadi sejak turun dari mobil gadis cilik itu seolah kebingungan. Bahkan ia meminta gendong pada Melinda. Mungkin karena baru kali ini berada di suatu tempat yang masih baru baginya. "Assalamualaikum" lirihnya mencium tangan Burhan. "Pinternyaa. Mau ketemu ayah ya dek" usapan lembut Burhan pada pucuk kepala Bea juga ucapannya membuat gadis cilik itu mendongak berbinar. Setelah berbasa-basi singkat, Melinda pun berjalan memasuki area pemakaman. "Eyang tadi kenal ayah ya bund?" "Iya, eyang yang jagain rumah ayah" Melinda mengeratkan tangannya pada tubuh mungil dalam gendongannya. Ia mencoba mendapatkan tambahan kekuatan dari Bea. Langkahnya terasa kebas melewati deretan nisan sampai ke salah satu nisan yang ia tuju. "Bunda, itu yang banyak-banyak itu apa sih bund?" "Itu batu nisan namanya" "Batu nisan?" Meski penasaran Bea tidak bertanya lebih lanjut. Tubuhnya melongok kesana kemari mengamati seluruh area pemakaman. "Ki..kita sampai Bea" ucap Melinda terbata. Bea yang sudah diturunkan dari gendongan sang ibu, sekali lagi mengedarkan pandangan. Gadis kecil itu jelas sekali tengah mencari-cari sesuatu. "Sampai di rumah ayah?" Melinda mengangguk lalu merendahkan tubuh sejajar dengan Bea. Pada sebuah nisan berwarna kelabu dengan rangkaian huruf berwarna keemasan bertuliskan Faruq Yasiz, mereka sampai. "Ini... rumah ayah" Tanpa disuruh Bea langsung berjongkok dan mengulurkan tangannya. Tangan kecilnya membentuk kepalan dan dengan buku-buku jarinya gadis cilik itu mengetuk batu pualam yang dimaksud sang ibu. "Assalamualaikum" Sekuat tenaga Melinda menahan agar tidak menangis keras-keras melihat yang baru saja dilakuakan putrinya. Ia menggigit kuat bibirnya meski matanya tidak bisa berbohong. Bulir air menggenang dan rasanya panas sekali. "Assalamualaikum mas" "Bea... duduk sini nak." Melinda sudah duduk beralaskan rumput lalu memangku Bea. Bunga yang sedari tadi dipegang oleh Bea pun ia letakkan di atas pusara sang suami. "Bea inget sama BengBeng gak?" "BengBeng?" "....oh BengBeng yang mati trus kita kubur di belakang rumah?" BengBeng adalah kitten yang diberikan oleh Mas Sastra untuk Bea karena anak itu merengek memintanya. Sayangnya anak kucing yang masih lemah itu mati belum sampai sebulan di rumah Melinda. "Bea, ayah dikuburkan di sini" dengan hati-hari Melinda memilih kata demi kata untuk menyampaikan pada anak semata wayangnya. Berharap Bea mudah memahami hal yang akan ia sampaikan. Ada jeda yang terasa lama bagi Melinda kala menunggu respon Bea. Desau angin dan dedaunan kering yang tersapu menjadi begitu jelas terdengar dalam sunyi pemakaman sore itu. "Ayah mati?" "Meninggal... ayah sudah meninggal" Pahit. Seolah ada gumpalan pahit yang tertelan dalam tenggorokan Melinda. Masa-masa dimana ia menerima kenyataan bahwa sang suami meninggalkannya untuk selama-lamanya sudah terlewati. Tetapi mengulang fakta yang sama untuk disampaikan kepada Bea adalah penerimaan berat yang sekali lagi harus dilakukan Melinda. "Jadi.....ayah, kayak BengBeng. Gabisa nemenin Bea main." Lelehan air mata sudah meluncur di pipi Melinda. Kepintaran Bea memahami sesuatu justru terasa menyesakkan kali ini. "Tapi...... Bea belum pernah main sama ayah" Ya Allah hamba tidak sanggup. "Mas aku harus gimana?" Susah payah Melinda mengeluarkan suaranya yang terasa tersekat sembari mengusap kasar air matanya. Bagi Melinda, tidak sepertinya yang begitu rapuh dengan kenyataan yang ada, Bea jangan sampai merasakan hal yang sama. "Bea, siapa tuhanmu?" Bea mendongak lalu tangannya menyentuh pipi bagian bawah Melinda. Anak itu sepertinya menyadari bundanya tengah bersedih. "Allah tu han ku" jawab Bea dengan intonasi yang diajarkan sewaktu di sekolah. "Ayah orang baik Bea, makanya Allah sayang sekali sama ayah" "Ayah itu lagi sama Allah?" "Iya" "Allah itu ga sayang sama Bea. Soalnya Bea bukan anak baik??!" Intonasinya yang heboh juga refleks tubuh Bea yang langsung berdiri dari pangkuan Melinda menunjukkan betapa kagetnya gadis cilik itu. Gadis itu bergaya terkejut lalu berbalik menghadap Melinda dengan rautnya yang penuh tanya. Bea merengkuh kedua sisi wajah Melinda lalu menyatukan pipi mereka. Perasaan hangat dan tenang melingkupi Melinda. "Beatrice mau jadi anak baik bundaaa biar bisa sama Allah sama ayah" "Aamiin. Bea jadi anak baiknya bunda untuk waktu yang lamaaaaaaaaaaaaaaa sekali ya nak. Sama bunda sampai bunda keriput" "Biar Allah sayaaaaaaang sekali sama Bea ya bund? soalnya Bea kan baiknya juga laaaaaaamaa sekali. Banyak-banyak" Melinda mengangguk meyakinkan bahkan kini sunggingan senyum sudah terlukis di wajahnya. Ada kelegaan begitu Bea seolah benar-benar memahami yang sebenarnya terjadi padanya juga Melinda. "Bea tahu gak yang paling disukai ayah selain bunga?" Ucapan Melinda membuat Bea yang merangkul-rangkul tubuh sang ibu bahkan menggunakan kakinya pun terhenti. Sorot matanya penasaran dengan yang akan diucapkan sang ibu. Anak itu menggeleng lalu mengerjap meminta jawaban. "Ayah paling suka kalau dibacakan Al Fatihah. Bea bisa kan baca Al Fatihah?" "... duduk anteng-anteng lagi nak" Melinda mengembalikan posisi Bea duduk di pangkuannya. Suara lirih Bea yang lama kelamaan semakin keras saat membacakan Surat Al fatihah memenuhi seluruh areal pemakaman. Dengan sang anak yang memimpin doa, Melinda meng aamiinkan dengan sungguh-sungguh. Sekarang beban beratnya satu persatu terangkat. Setidaknya akan jauh lebih mudah memberi pemahaman pada anaknya tentang keadaa kedua orang tuanya. . . . Bea dan Melinda sampai rumah menjelang maghrib. Di perjalanan pulang Bea jatuh tertidur. Ketika akan memasuki rumah Melinda pun menggendongnya. Tetapi belum juga berhasil diangkat Bea menggeliat lalu terbangun. "Bunda bikin Bea bangun ya. Maaf ya nak" Tanpa menangis Bea justru menangkup wajah Melinda yang berjarak sangat dekat karena digendong sang ibu. Bea menggumamkan sesuatu yang masih dapat Melinda dengar dengan jelas. "Bea ketemu ayah. Sungai cantik banyak bunga...." "...kata ayah suruh jaga bunda. Terus kiss muach" Satu kecupan mendarat di kening Melinda. Perasaannya membuncah penuh kebahagiaan. "Mas, kamu datang ke mimpi Bea" :')
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN