Hari itu di apartemen Diaz. Setelah lama tidak bertemu karena kesibukan masing-masing Melinda dan Diaz seperti biasa menyempatkan untuk menghabiskan waktu berdua. Project film yang menyibukkan Diaz dan tugas akhir yang menyita waktu Melinda tidak lagi memberi jarak pada hubungan mereka.
"Kamu ga cerita ke aku?" suara Melinda terdengar setelah ruangan itu cukup lama hanya diisi dengan samar suara TV juga gesekan kertas dari buku yang dibaca Diaz.
"Apa?"
"Pacar kamu"
"Kamu. Ada apa?"
Diaz mengernyit heran karena Melinda memecah sunyi di antara mereka dengan pertanyaan yang aneh.
"Itu"
Pandangan Diaz beralih mengikuti arah kepala kekasihnya pada tv yang tengah menayangkan sesuatu.
"Kamu nonton infotainment?"
"Kata kamu kalau aku kangen suruh nonton kamu di tv"
"Aku di sini Mel"
Semakin aneh saja gelagat kekasihnya itu karena tidak seperti sebelumnya yang hanya bisa bertukar pesan ataupun telepon sesekali. Hari ini mereka berdua, satu sofa, bahkan berhimpitan membagi ruang. Jadi 'kangen' terasa aneh diucapkan.
....."Okay my bad" Setelah menerka-nerka keadaan akhirnya Diaz mengaku salah. Bukan karena perempuan selalu benar tetapi ada kalanya Melinda yang mandiri, tidak neko-neko, dan sungguh pasangan yang bisa diandalkan adalah Melinda yang random, manja, dan sensitif.
Bisa jadi Melinda sedang merasa diacuhkan hingga memutuskan menarik perhatian Diaz yang sejak tadi fokus pada bacaannya. Sedangkan Melinda menonton serial natgeo -setahu Diaz sebelum akhirnya berpindah ke acara infotaintment.
Kebersamaan mereka memang diisi dengan menghabiskan waktu dalam artian yang sebenarnya. Hanya duduk berdua, karena selama kehadiran satu sama lain di sekitar hal itu sudah cukup bagi mereka
"Jadi ada yang mau diomongin?" Diaz membujuk, memilih menyimpan buku lalu memokuskan diri pada kekasihnya.
"Kamu kapan putusin aku?"
Kernyitan di dahi Diaz semakin banyak. Selama empat tahun hubungan mereka berjalan, tidak pernah ada kata putus yang pernah terucap baik dari dirinya ataupun Melinda. Meskipun pernah bertengkar, berjarak, dan menghadapi masalah, mereka baik-baik saja.
"Ini gara-gara rumor aku ya?"
Diaz sampai pada satu kesimpulan bahwa Melinda tengah membahas rumor yang beredar. Tetapi ini juga bukan 'Melinda' sekali untuk memusingkan berita murahan yang sengaja dibuat untuk kepentingan popularitas. Sudah Diaz katakan bahwa Melinda adalah pasangan yang bisa diandalkan bukan karena mengurusi Diaz ini itu tetapi Melinda adalah sosok dewasa yang menemani juga memahami Diaz.
"Kamu pms ya?" simpul Diaz yang melihat gurat sebal di wajah Melinda.
"Kamu, gimana tugas akhir kamu?"
Diaz mengernyit "Kamu tahu kan aku ga suka kita bahas tentang hal itu" ucapnya tegas.
"Aku mau tahu rencana kamu buat hal itu" Melinda tak mau kalah.
"Kenapa? Ayahmu ga suka aku belum lulus?"
Melinda merengut mendengar terkaan Diaz. Jelas bukan hal itu alasannya bertanya jadi Melinda menggeleng singkat. Dia memerosotkan tubuh di sofa membuang pandang menghindari Diaz. Sedangkan bagi Diaz reaksi sang kekasih justru membenarkan prasangkanya tentang Om Mahesa yang tidak senang dengannya karena belum bisa merampungkan kuliah.
Mahesa Jenar ayah Melinda adalah pemilik Jenar Jewelry salah satu brand perhiasan terkenal di Indonesia. Beliau adalah seseorang yang sangat mengedepankan pendidikan. Om Mahesa sangat mendukung anak-anaknya untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya. Telihat dari sekolah arsitek Bang Sastra, Kakak Melinda yang didukung sampai Paris.
Gaya berpacaran mereka tidak neko-neko dan pekerjaan Diaz membuat keduanya tidak bisa terlalu sering berkencan di luar. Jadilah Diaz sering ael ke rumah kekasihnya untuk bertemu menghabiskan waktu mengobrol di sana.
Beruntung keluarga Melinda menerima Diaz dengan hangat. Meski tiap kali mengobrol dengan Om Mahesa, Diaz merasa kecil karena topik obrolan yang baginya sangat berwawasan. Hal itu sering membuat keduanya tidak nyambung. Lihat saja rak buku tinggi di rumah Melinda yang mana koleksi Om Mahesa jauh berbeda dengan bacaann Diaz yang tidak science-science amat.
"Aku keterima S2 di Belanda"
"WHAT?!"
Ucapan Melinda memutus pikiran Diaz yang tengah mengingat sosok Mahesa Jenar dalam pandangannya.
"Tiga hari lagi aku berangkat"
Belum habis keterkejutannya kini Diaz semakin tidak bisa berkata-kata mendengar lanjutan kabar yang diucapkan Melinda. Tahu bahwa caranya memberi tahu akan menimbulkan amarah bagi kekasihnya, Melinda tidak mau menatap Diaz.
"Kamu anggap aku apa di hidup kamu Mel?"
"APA SIH?" pertanyaan Diaz sukses membuat Melinda mendongak menatap Diaz.
"Tiga hari lagi kamu berangkat S2 di BELANDA dan kamu sama sekali ga ada bicara sama aku. Kamu anggap aku ada gak? Kamu anggap KITA ada gak?"
Sungguh Melinda tidak menyukai sisi cerewet Diaz saat sedang marah. Laki-laki pendiam itu akan banyak bicara jika tengah kesal belum lagi penekanan di tiap kata yang dia ucapkan. Melinda tidak suka.
"Kamu gak ngomong apa-apa sama aku Mel. Hal itu bukan sesuatu yang instan yang baru aja kamu putusin kemarin."
"Kamu sibuk syuting di New York sama promosi film kamu.." Melinda mencicit ragu dengan alasannya. Sedangkan Diaz terkekeh sinis mendengarnya.
"Komunikasi kita lancar Mel selama itu"
"...dan kalau kamu pernah aggap kita ini ada, kamu mikirin gak hubungan kita ke depannya gimana? LDR? Kamu tanya gak pendapat aku tentang itu?"
Diaz tidak pernah keberatan dengan keputusan-keputusan Melinda terkait pilihannya. Tetapi komunikasi yang baru juga caranya diberi tahu membuat Diaz merasa terabaikan. Dia merasa tidak dianggap dan semudah itu ditinggalkan.
"Kamu ga setuju?" Melinda semakin tersulut emosi. "Aku ga pernah protes ya sama hubungan kita ini. AKu ga masalah kita ga bisa jalan keluar karena wartawan, aku ga papa kita jarang ketemu. Aku tu ga pernah protes kamu sering ninggalin aku sampai berbulan-bulan keluar kota sampai keluar negeri.
...Aku ga pernah protes. Dan lihat hubungan kita selama ini, apa bedanya sama LDR nantinya?"
"Kamu mempermasalahkan pekerjaan aku sekarang?"
Keduanya saling adu tatap siap meledakkan bom yang untuk membayangkan saja tidak pernah mereka pikirkan. Melinda mengusap kasar wajah juga helaian rambut yang jatuh menutupinya.
"Ini semua rencana kamu kan Mel." lanjut Diaz.
"Rumor yang biasanya gak pernah kita bahas jadi kamu permasalahain, Kamu juga tanya kapan aku putusin kamu, terus S2 mu, dan sekarang kamu singgung soal kerjaanku"
"Bilang dari awal Mel, kalau dari awal kamu ga support sama karir aku"
"KURANG SUPPORT APA AKU DI??!" Melinda meremat buku-buku jarinya, berteriak meluapkan emosi begitu mendengar kekecewaan Diaz.
"Bahkan ketika karir kamu bikin aku sakit hati, aku tetap di sini sama kamu. Kasih kepercayaan sama kamu. Aku capek yaa harus lihat kamu jadi pacar a, b, c, d siapapun itu sedangkan aku sembunyi. Aku capek lihat kamu luangin banyak waktu buat entah pasangan kamu yang mana lagi. Dan semua hal yang aku coba buat bertahan sama kamu, kamu bilang aku ga dukung kamu?"
Melinda mengeluarkan unek-uneknya dengan napas memburu dan mata yang memerah hampir menangis. Sedangkan Diaz tak habis pikir dengan hubungan keduanya selama ini.
"Mel, kamu tanya kapan aku putusin kamu. Sekarang. Sekarang Mel. Kita putus Melinda" ucap Diaz lalu beranjak meninggalkan Melinda yang terperangah.
"DIII!!!"
Gadis itu berteriak parau, frustasi dengan ucapan kekasih-- atau searang mantannya itu. Melinda pun beranjak keluar mengikuti Diaz hingga pintu apartemen yang terbanting keras tepat di depannya menahan langkahnya.
"AAAAAARRRGGGHHHH"
Melinda menarik asal tasnya dari gantungan lalu memutuskan mengejar Diaz. Laki-laki itu sudah sampai di depan lift.
Salah bila akan terjadi adegan Melinda memeluk Diaz dari belakang untuk menahan laki-laki itu, lalu memintanya untuk jangan pergi. Melinda memang menahan Diaz tetapi gadis itu menarik ujung kaos Diaz kuat-kuat. Bahkan Melinda hampir terjengkang karena lantai yang licin.
"AKU. Aku yang pergi. Ini apartement kamu kalau kamu lupa."
Setelah itu Melinda masuk ke dalam lift yang berdenting terbuka. Tatapan merah dengan air mata yang tergenang di sana sempat menghunus tajam Diaz di hadapannya sebelum tangannya memukul tombol lift. Pergi.
........
Diaz mengusap kasar wajahnya, ingatan tentang momen putusnya dengan Melinda yang sangat kekanak-kanakan menyeruak dalam kepalanya setelah pertemuan mereka. Ia melihat jam tangannya saat getar ponsel dalam saku tidak lagi bisa ia abaikan.
SIAL. Waktunya semakin sempit. Ia terlalu lama termenung di parkiran depan Bea&Co. Premiere filmnya akan segera dimulai. Sebelum menggerakkan mobilnya menjauh, Diaz melemparkan pandang pada bangunan di depan.
"Aku bersyukur kamu bahagia Mel."
.......
Acara gala premiere film berjalan dengan lancar. Setelah acara tersebut Diaz memilih undur diri dan tidak mengikuti after party. Sebenarnya sudah biasa ia menghindari acara-acara semacam itu yang baginya jauh lebih bising dan melelahkan. Tetapi hari ini ia benar-benar sedang sangat lelah, fisik dan pikiran.
Berharap bisa merebahkan diri lalu menata kembali pikirannya nyatanya Diaz terjebak di ruangan bersama dengan Alan. Diaz sedang berada di sofa interogasi.
Managernya itu bahkan totalitas menginterogasi Diaz. Buktinya di hadapan mereka menyala proyektor yang menampilkan beberapa portal berita dari mesin pencarian dengan keyword Diaz Putra.
7 Tahun Tak Bertemu, Inilah Sosok Paling Dirindukan Diaz Putra
Alan membacakan keras-keras headline sebuah berita yang menampilkan tumbnail berupa foto Diaz yang disandingkan dengan foto Agnez Maneri.
"Oke skip" jelas Alan sudah hafal jenis click bait seperti itu.
Transformasi Diaz Putra. Pemeran Brian-Puzzle of Us, Tujuh Tahun Silam. Mencengangkan!
"Apaan njir ahahaha lo oplas?" sekali lagi Alan mengabaikan yang satu itu.
Intip Momen Mesra Diaz Putra & Agnez Maneri Dalam Press Conference Film (Another) Puzzle of Us. BIKIN BAPER!!!
"NAH INIIIIII. Ini nih, yang begini yang bikin gue jadi kurang tidur, kurang makan, kurang gaji. Ngeselin banget tahu gak sih lo tu" Alan bersungut tetapi emosi yang sudah ia tahan sejak hari-hari liburnya Diaz, nyatanya juga tidak bisa tersalurkan. Diaz tampak santai memejamkan matanya yang membuat Alan berkobar.
"MONYET JANGAN TIDUR!" sepenuh hati ia mendorong kuat-kuat paha Diaz dengan kakinya.
Diaz jengah dan hanya menatap sinis Alan. Ia benar-benar sedang tidak mood. Suasana hatinya begitu buruk.
"Lo lanjutin aja gue bakal dengerin kok. Gue tungguin kalau lo emang mau bahas satu-satu entry itu" ucap Diaz lalu semakin jauh memberi jarak duduk dengan Alan.
Sedangkan Alan semakin menatap sebal ke arah Diaz. Ia pun semakin keras membacakan salah satu headline berita.
Potret Agnez Maneri, Artis Multitalenta yang Dipuji Cantik Oleh Diaz Putra
Alan sudah sebal sendiri melihat muka datar Diaz. Pasalnya sejak acara press release, Alan sudah menduga bahwa jawaban singkat Diaz tentang pertanyaan wartawan terkait penampilan Agnez akan menimbulkan berita bombastis di luar sana.
Kaum shipper atau setidaknya itulah istilah baru yang Alan ketahui, menjodohkan Diaz dengan Agnez. Mereka adalah barisan penggemar yang terbawa perasaan sejak kedua artis itu terlibat project bersama.
Akun sosial media mereka langsung penuh dengan notifikasi yang saling mengaitkan. Kolom komentar pun isinya adalah pasukan yang kegirangan karena mendapat asupan interaksi mereka berdua. Ada juga penggemar yang saling serang karena kurang setuju dengan kedekatan Diaz dan Agnez ataupun yang sekedar tidak setuju banyak berita tidak benar menyatut idola mereka.
"Lo beneran ga punya hubungan sama Agnez tanpa gue ketahui kan?
"nggak...... belum"
"HEH! Bener lo sama Agnez?"
Alan mendesak lebih lanjut penjelasan Diaz atas gumamannya. Hari ini laki-laki itu kembali pada mode setelannya. Diaz tidak terlalu menanggapi pertanyaan wartawann bahkan cenderung mengabaikannya. Padahal saat acara press release waktu itu dia banyak berulah. Seolah-olah memberikan fan service pagi pendukungnya bersama Agnez.
Pihak yang paling senang dengan adanya rumor kedekatan ini tentu saja dari tim marketing. Dengan begitu film yang dibintangi oleh Diaz dan Agnez akan semakin laris terjual. Padahal Diaz tipe yang tidak suka jika ada pemberitaan di luar prestasinya ataupun menyangkut kehidupan pribadinya.
"Lo beneran sama Agnez?" cecar Alan sekali lagi.
"Siapa kek? Ga salah kan kalau gue ada hubungan?"
"Ya ga salah!" Alan tidak bisa santai menjawab "Ini lo lagi pengen pacaran apa gimana?"
"Nikah kalau bisa."
"ANJIR. JANGAN BERCANDA!!!" Alan terkejut bukan main.
Tetapi dibandingkan meladeni keterkejutan Alan, Diaz justru merogoh kantongnya.
"Bentar Hapsari telepon." lalu melanjutkan "Lo emang belom mau nikah? keburu jompo loh"
Diaz melangkah keluar ruangan meninggalkan Alan yang melongo tetapi masih sempat berteriak "Lo mau nikah bareng Dian?" Beruntung telepon yang diterimanya bisa membuatnya lepas dari ruang interogasi Alan.
"DIIIIAAAAAAAZZZZZ"
Suara melengking dari seberang telepon membuat Diaz menjauhkan sedikit benda pipih itu dari telinga. Ia percaya bahwa jodoh itu adalah orang yang melengkapi kita. Buktinya Hapsari akan melengkapi sosok pendiam seperti calon suaminya. Perempuan itu seolah tidak pernah kehabisan energi untuk berbicara.
"Udah kamu ambil kan?"
"Iya udah"
"Gimana bagus gak? Mas Putra kemarin pilih modelnya cuma lihat via foto aja"
"Gatau"
"Kok ga di ceeeeek?"
Hapsari masih menanyakan ini itu sebelum menyudahi sambungan. Diaz berniat kembali masuk ruangan dan bersiap dengan rentetan omongan Alan. Tetapi belum juga masuk, Alan lebih dulu menerobos keluar.
"Lo trending lagi. Bareng klip ciuman beberapa detik lo yang udah ditonton hampir 1 juta kali. Film lo belum ada 24 jam sejak rilis brooooo. Nih gara-gara ini niiih.."
Beradegan Mesra dengan Agnez Maneri. Diaz Putra: Itu Scene Favorite Saya.
*sigh