Alya
Tubuhku terasa sakit semua. Ketika aku mengatakan bahwa Nancy ada mayat yang dikubur sembarangan di dekat kolam renang rumahnya di bawah pohon mangga, otomatis ia shock bukan main. Ketika hari sudah hampir malam barulah hal tersebut kuceritakan ke orangtua Nancy. Pasangan yang baru pulang kerja jam delapan malam dan di rumah tak ada asisten rumah tangga sama sekali itu saling pandang heran dan tak percaya omonganku.
Lagian, siapa sih bakalan percaya dengan omonganku? Anak SMA yang biasanya dianggap masih labil?
Aku berusaha meyakinkan mereka, orang tua Nancy, dengan mengatakan kalau aku benar-benar tidak berniat membual sama sekali. Bahkan Nancypun ikut bersuara dan mengatakan kalau aku benar. Dan apa yang kudapat dari reaksi mereka? Tetap saja mereka tak percaya kepadaku.
"Sudahlah, jangan membual... " kata orang tua lelaki Nancy padaku. Aku memandang Dian dan Karin, lalu memandang Nancy yang lemas di pelukan Ibunya.
"Bagaimana kalau kita gali sekarang om? Om bisa membuktikan sendiri omongan saya hanya bualan atau kebenaran?" kataku mantap.
Lelaki itu menimang sebentar. Ia menatapku dengan intens dan aku tak gentar dengan tatapannya. Aku balas menatapnya tajam.
"Oke." katanya. Ia kemudian memanggil sopir pribadinya dengan sedikit lantang. Rumah megah gaya kolonial Belanda yang ia tinggali ini memiliki beberapa asisten rumah tangga, tapi ketika pekerjaan mereka selesai, mereka akan pulang. Kecuali sang sopir yang memilih tinggal di ruang basement.
"iya, Pak?" tanya lelaki paruh baya itu kepada majikannya.
"Coba kamu bawa cangkul dan kita gali tanah di bawah pohon mangga itu." kata ayah Nancy. Lelaki paruh baya itu menatap pohon mangga yang besar dan kelihatan suram saat malam hari. Ia menatap ragu, lalu kembali menatap majikannya. "Cepat!" seru Ayah Nancy tak sabar.
Ibu Nancy hanya diam. Ia seolah memikirkan sesuatu sejak tadi aku buka suara perihal rumah yang sudah ditinggalinya selama lima tahun belakangan ini berpenghuni.
Apa karena itu para pembantu rumah tangga di sini tak ada yang menginap dan hanya sopir pribadi Ayah Nancy saja?
Tak butuh waktu lama bagi sopir Ayah Nancy untuk mematuhi majikannya. Ia bergegas ke bawah pohon mangga, dan kami semua, aku, Kiran, Ardi, Soraya, Nancy, Dian, Ayah dan Ibu Nancy menunggu di sisi kolam renang.
Aku, Dian dan Kiran bisa melihat bagaimana hantu noni belanda cantik itu juga menyaksikan sopir keluarga Nancy berusaha mencangkul tanah tempat jasadnya dikubur.
Lelaki tua yang sedari tadi mencangkul tanah seorang diri sembari berkali-kali ia berusaha menyeka keringatnya kini menoleh ke arah kami di belakangnya dengan tatapan yang tak bisa aku definisikan. Ia berhenti mencangkul dan keringat dingin tiba-tiba semakin deras bermunculan di dahinya.
Aku merapatkan diri sendiri yang terasa dingin tak menyenangkan. Bayangan-bayangan yang berputar seperti roll film sebelumnya kembali membuatku mengingat potongan-potongan mengerikan itu.
"Ada apa?" teriak Ayah Nancy. Aku yang berdiri di sebelahnya sampai terkejut mendengar suaranya yang menggelegar di taman belakang rumahnya. Tapi pria yang mencangkul tanah sesuai permintaannya itu seolah sudah biasa mendengar suaranya yang besar.
"Anu... Tuan..."
"Apa?" teriaknya sekali lagi.
"Ini... " lelaki paruh baya yang mencangkul itu mengeluarkan tulang setelah ia mengambilnya. Selanjutnya teriakam hantu noni cantik itu beserta temen-temanku yang juga menjerit histeris berebutan masuk ke gendang telingaku.
Mengerikan...
Memilukan...
***
Aku tiba di rumah pukul sepuluh malam diantar oleh Dian. Ketika aku tiba di depan rumah, beberapa lampu rumah masih dalam keadaan mati, terasnyapun begitu. Aku menghela napas berat.
"Belum pada pulang?" tanya Dian seolah mengerti apa yang terjadi di rumah yang kutinggali. Aku mengedikkan bahu frustasi. Hari ini sebenarnya aku sangat lelah dan kesal sekaligus. "Mau aku temani?" imbuh Dian bersuara dan aku menggeleng.
"Lo tahu kan kalau gue udah biasa sendirian." kataku sok mandiri dan percaya diri.
"Oke. Kalau ada apa-apa tinggal telepon gue." kata Dian dan aku mengangguk setuju ke arahnya. Ia kembali menyalakan mesin mobilnya dan berbelok di rumah yang letaknya di pojokan. Ketika ia keluar dari dalam mobil, aku melambaikan tangan ke arahnya, ia membalas dan kami sama-sama masuk ke dalam rumah.
Aku mengambil kunci rumahku yang ada di bawah pot, ketika aku berjongkok, aku merasa ada yang mengawasiku dari dalam rumah. Perlahan aku mendongak dan menatap rumahku, tetap sama, lampu mati dengan kelabu yang masih menutupnya. Aku berdiri perlahan dan melangkah ke sisi kiri, kunyalakan lampu teras dan lega karena ada sedikit penerangan.
Aku memasukkan kunci rumahku dan membukanya segera. Pemandangan gelap menyerbu kedua mataku dan seketika itu pula hawa tak menyenangkan juga turut serta menyapa.
Tak seperti biasanya. Aneh sekali.
Perlahan aku memasuki rumahku, meraba dinding untuk menemukan dimana saklar lampu berada. Tanganku berhenti, aku merasa memegang sesuatu yang basah, lengket dan berlendir.
Tak mungkin sekali kalau yang kupegang adalah saklar listrik, kan?
Bau amis seketika menyerbu hidung. Dalam gelap aku tak bisa melihat apapun. Dadaku bergemuruh hebat kala bau amis ini benar-benar tak asing di hidungku. Aku mencoba mengingat-ingat di mana aku pernah merasakan bau yang sama seperti ini. Aku mencoba menerka-nerka, tapi aku benar-benar lupa soal bau amis ini.
Dadaku masih berdebar. Tanganku masih merasakan lendir-lendir aneh di dinding. Perlahan aku menarik tanganku untuk menjauh, tapi seketika itu pula tanganku ditarik dan tubuhku maju ke depan. Refleks aku terjatuh di tanah.
Suara bunyi orang tertawa menggema di seluruh rumahku, mengerikan dan mencekam. Aku mundur-mundur beberapa langkah. Perasaan takut mulai merayapi hatiku.
"Alya!" panggil seseorang. Lampu ruang tamu kemudian menyala. Wajah pertama kali yang kutangkap adalah Dian. Dian berangsur menghampiriku yang masih berada di lantai. "Lo gak pa-pa?" tanyanya cemas.
Aku melihat ke sekeliling rumahku tapi tak menemukan sosok aneh apapun. Bersih. Seperti beberapa minggu yang lalu aku dan keluarga pindah ke rumah ini.
"Al... " panggil Dian lagi merasa cemas. Aku berusaha berdiri dan Dian membantuku untuk duduk di sofa. "Om dan Tante belum pulang?" tanya Dian dan aku menggeleng lemah. "Aku temenin kamu di sini, ya?" tanyanya lagi dan aku mengangguk setuju.
Tapi, bagaimana bisa Dian lari ke rumahku?
Aku menoleh ke arahnya dan Mendapatinya juga melihat ke sekitar rumahku. Ia seolah bisa merasakan sesuatu.
"Kenapa, An?" tanyaku. "Kenapa tiba-tiba kamu ke rumahku? Sepertinya tadi kamu sudah masuk ke rumahmu?" tanyaku memburu.
"Aku memang sudah masuk ke rumah, tapi perasaanku tak enak. Jadi ketika aku buka kelambu rumahku tiba-tiba saja aku melihat ada asap putih keluar dari atap rumahmu. Terus tanpa pikir panjang lagi aku berlari ke sini." jawabnya panjang lebar.
"Asap putih?"
"Iya. " jawabnya. "Kupikir ada kebakaran malah... " katanya lagi.
"Lo gak ngerasain apa-apa, Dian?" tanyaku.
"Ngerasain apa?" tanyanya balik.
"Nggak... " kataku akhirnya. Dian sama. Perasaan dan kekuatannya tak bisa merasakan makhluk halus yang baru saja singgah di rumahku. Sama seperti apa yang kulihat di sekolah tadi siang, ia dan Kiran juga tak bisa melihatnya.
Dian berdiri.
"Mau ke mana?"
"Aku mau cek ke sekeliling rumah dulu." jawabnya. Ia masih yakin kalau asap yang keluar dari atap rumahku itu seperti sisa-sisa kebakaran dan bukannya hal yang lainnya. Aku pun mengangguk ke arahnya dan membiarkannya keliling rumahku. Mungkin saja apa yang dirasakannya benar adanya. Asap itu bukan dari makhluk aneh yang entah bagian apa dari tubuhnya yang kupegang.
Aku mengangkat tanganku dan aku baru menyadari bahwa ada darah-darah kecil yang menempel di tanganku. Baunya sangat amis dan terasa sangat lengket. Dadaku berdebar-debar hebat. Buru-buru aku berdiri dari tempatku dan berlari ke arah dapur rumahku.
Aku segera mencuci tanganku. Kulakuan hal itu berulang-ulang hingga bersih dan bau amisnya hilang. Entah sudah berapa kali aku membilas tanganku dengan sabun, jumlahnya tak terhitung saking banyaknya.
"Al... Lo ngapain?" tanya Dian yang memergokiku mencuci tanganku dengan sangat kasar. Ia berjalan mendekatiku. Anehnya, sisa-sisa darah yang semula menempel di tanganku dan berjatuhan di wastafel tiba-tiba saja menghilang ketika Dian mendekat. Padahal seberapa kencang tadi air kran yang kuputar, kumpulan gumpalan-gumpalan kecil darah itu enggan masuk ke selokan, membuatku merinding bukan main. "Kok lo pucet sih? Lo gak pa-pa, Al?" tanya Dian.
Bagaimana bisa aku baik-baik saja, semenjak di sekolah hingga pulang ke rumah aku mengalami rentetan hal gaib yang tak biasanya.
"Sebenarnya aku mau tanya, apa maksud hantu di rumah Nancy tadi? Makhluk yang kau lihat benar adanya? Tapi kenapa aku dan Kiran tak bisa melihat sosok itu?" tanya Dian lagi.
"Entahlah. Gue juga bingung." jawabku seraya mengibaskan tanganku yang basah ke udara agar semua air di tanganku mengering cepat.
Kami mendengar suara mobil mendekat dan buru-buru kami keluar dari dapur. Aku melihat Mama dan Papa pulang bersamaan. Hal yang jarang sekali terjadi. Di samping itu aku tak menemukan mobil Mama yang ia kendarai tadi pagi.
"Halo Dian..." sapa Mamaku ke Dian dengan senyum yang mengembang. Dian menjawab salam itu dengan mencium punggung tangan Mama dan Papa secara bergantian. Berbeda dengan Mama yang nampak bahagia, Papa kelihatan lelah dan lesu. Ia hanya mengucapkan terima kasih ke Dian karena telah menemaniku yang sendirian di rumah sebelum akhirnya masuk ke rumah dan langsung menuju kamarnya.
"Sudah malam tante, aku pamit pulang." kata Dian.
"Eh, Dian, tunggu, ini tante beli martabak, kamu bawa satu ya buat keluarga kamu... " kata Mama.
"Terima masih tante, jadi ngerepotin." kata Dian seraya menerima martabak itu. Ia kemudian berlalu pergi setelah mengucapkan salam.
"Mama belikan kamu nasi goreng enak, dimakan ya." kata Mama seraya membelai rambutku. Mama kemudian berlalu dariku tapi kali ini ia tak ke kamarnya, ia memilih menggunakan kamar mandi dapur.
Jika sudah begini, aku tahu apa yang terjadi. Mama dan Papa tengah berselisih.