Rumors

1032 Kata
Nabila berjalan lemas ke kantor Rangga. Saat ia berjalan, banyak sekali pasang mata yang memperhatikannya. Nabila memang sudah biasa merasa diperhatikan dengan tatapan-tatapan aneh seperti itu. Selama ini ia hanya berpikir bahwa ia sedang dipandang sebelah mata saja sebagai pegawai bawahan yang berada di kantor. Tidak tahunya, ternyata tatapan itu adalah prasangka buruk terhadapnya, karena mereka sudah memandang rendah dirinya. Bahwa dirinya adalah seorang perempuan penggoda. Janda yang sudah menggoda seorang manajer muda. Nabila menjadi paranoid sendiri saat melihat tatapan di kantor, dan ia merasa terguncang. Perasaan Nabila campur aduk. Ia baru sampai di kantor. Kemudian ia terduduk lemas di depan komputer di dalam kantor Rangga. Apa yang harus dilakukannya? Kenapa masalah terus saja berdatangan menghampirinya? Apakah kehidupan memang harus seberat ini? Pikirnya. Satu jam yang lalu, ia merasa sudah sangat membaik dari perasaan sebelumnya. Kabar baik dari beban yang dipikulnya. Di mana awalnya, terasa sangat berat. Untuk melunasi hutang dan hanya sekedar menyambung hidup. Begitu ada harapan muncul, ia yang awalnya berpikir semuanya akan menjadi lebih baik, justru terbalik seratus persen. Kenapa ia harus terjebak dalam semua ini? Bagaimanapun juga, ia masih harus meneruskan masa depan Vano. Tapi kenyataan yang ia terima membuatnya tak kuasa membendung perasaan campur aduknya sekarang. Nabila merasa tidak kuat lagi. Nabila menggenggam tangannya dan ia mendadak merasa sesak. Dari semua keadaan yang dialaminya, ia masih harus berdiri. Ia tak bisa lagi menanggung semua ini. Untuk hari ini, ia seolah mengalami sebuah deja vu. Tepat sama di meja di depan komputer yang masih menyala itu. Kejadian pagi tadi, terulang sama persis di sing hari ini. Ia kembali mulai merasa genangan air mata ada di sudut matanya. Nabila tentu saja kepikiran akan kalimat Tyas tadi. Nabila yang awalnya, berusaha keras untuk menahan air matanya, gagal juga. Ia tak bisa mencegah titik air yang keluar dari matanya. "Nabila?" Suara seorang laki-laki. Suara itu, berasal dari arah pintu masuk. Nabila segera menghapus air matanya dengan cepat-cepat. Setelah itu, barulah ia menoleh. Ada Rangga yang berdiri di ambang pintu dengan memasukkan kedua tangannya ke dalam sakunya. Meski Nabila sudah tahu dan hafal, jika suara itu adalah suara Rangga, tetap saja Nabila masih harus menoleh. Ia lalu menyapa atasannya tersebut. Rangga tahu, sebelumnya jika Nabila menangis. Sama seperti di awal pagi tadi. Padahal, tadi pagi Rangga sudah berhasil menghiburnya. Melihat Nabila, ada kegetiran yang Rangga rasakan dan tak bisa diungkapkan. "Iya pak," jawab Nabila yang berdiri menyambut kedatangan Rangga. Rangga nampak tidak menjawabnya. Ia hanya diam berjalan mendekat ke arah Nabila. Nabila hanya diam dan menundukkan kepalanya. Nabila merasa, mungkin saja Rangga akan membahas kejadian di kantor produksi bersama dengan Tyas tadi. Pikir Nabila. "Apapun yang terjadi, aku minta maaf," kata Rangga dengan lembut. Nabila mendongakkan wajahnya. Ia dapat melihat guratan tulus dari wajah Rangga. "Kamu masih harus mengalami hal buruk karenaku," lanjut Rangga. "Ini bukan salah pak Rangga. Justru saya banyak terbantu dan harus berterima kasih karena pak Rangga," balas Nabila yang mencoba menghibur Rangga juga. "Dengar Nabila. Apapun yang terjadi, aku tidak akan membatalkan tes itu," kata Rangga yang berubah tegas. "Begitu juga denganmu. Kamu juga harus tetap mengikuti tes itu." Nabila diam dan tidak membalas apa-apa. Ia berada di dalam dilema yang luar biasa. Berbeda dengan ke-antusiasannya tadi pagi. Tadi pagi, saat Rangga memberitahunya akan mengadakan tes, Nabila merasa banyak harapan yang bisa dinanti. Tapi sekarang, ia sangat tidak tertarik sama sekali. Bahkan, ia berpikir akan membatalkan niatnya untuk mengikuti tes tersebut. "Maafkan saya pak. Saya pikir, saya tidak jadi..." "Nabila!" potong Rangga sebelum Nabila menyelesaikan kalimatnya untuk Rangga. Seolah Rangga tahu apa yang akan dikatakan Nabila. "Saat rumor itu menunjuk padamu, kamu tidak seharusnya mengikuti mereka. Jika kamu mengikuti omongan mereka, sama saja kamu membenarkan mereka," jelas Rangga pada Nabila. Nabila masih terus mendengarkan Rangga. "Kamu justru harus membuktikannya. Kamu dibawa ke kantor, karena memang pemikiranmu. Bukan hal lain. Tunjukkan pada mereka semua jika kamu memang berpotensi," tutur Rangga mencoba membangkitkan kembali kepercayaan diri Nabila. Nabila masih hanya diam. "Mereka hanya tidak tahu, jika kamu dulu adalah seorang staff administrasi berbakat. Kamu, juga seorang lulusan sarjana. Hanya karena kondisi, kamu harus menjadi pegawai sanitasi." "Tapi, sebenarnya saya tidak ingin menunjukkan pada siapa-siapa jika saya lulusan sarjana, dan juga pernah bekerja sebagai staff administrasi, Pak. Saya ke sini, hanya ingin mencari nafkah, agar kehidupan saya dan anak saya menjadi lebih baik," kata Nabila. "Kalau begitu, mereka akan terus menganggapmu seperti apa yang mereka pikirkan saat ini," kata Rangga. Nabila tercekat dengan kalimat Rangga tersebut. Seolah Rangga sudah membuka mata hatinya. Benar juga kalimat yang Rangga ungkapkan padanya itu. Nabila kembali menundukkan kepalanya sambil berpikir. Rangga masih memperhatikannya. Semoga saja, Rangga bisa membuat pikiran Nabila berubah menjadi positif. "Nabila?" panggil Rangga. Nabila kembali mengangkat kepalanya melihat ke arah Rangga yang sedikit lebih tinggi darinya. "Orang lain akan semakin memandang rendah kamu, jika kamu sendiri tidak menghargai dirimu," ungkap Rangga lebih jelas. Nabila masih saja terdiam dan mencoba meresapi kalimat Rangga untuknya. Namun, tetap tidak dapat dipungkiri jika ia juga masih merasa bimbang akan tes itu. Nabila masih tidak bisa mengambil keputusan. *** Nabila memandangi wajah mungil polos dari anaknya yang terlelap. Wajah Vano yang damai itu, membuatnya merasa tenang. Biasanya, lelah letihnya, tak terasa lagi jika sudah melihat wajah anaknya. Nabila kemudian melihat jam di dinding yang menempel di dalam kamarnya. Sudah pukul sepuluh malam. Ia masih terus saja dengan posisi yang sama berbaring di samping anaknya. Tiba-tiba, terdengar bunyi ponsel yang menandakan satu notifikasi pesan masuk. Nabila duduk untuk mengambil ponselnya. Ia melihat layar ponselnya, siapa yang sudah mengirimnya pesan malam-malam begini? Pikirnya. Ada nama Rangga di sana. Nabila masih berpikir sejenak sebelum membukanya. Kenapa manajernya itu mengirimkan pesan malam-malam begini? Nabila kemudian, membuka pesan dari Rangga itu. [Jangan lupa. Tes-nya akan diadakan lusa. Persiapkan dirimu untuk itu] Begitulah Nabila membaca pesan dari Rangga. Nabila masih memegang ponsel di tangannya. Ia masih diam dan tidak membalas Rangga. Nabila teringat kalimat Tyas akan dirinya. Ia juga mengingat beberapa perempuan bergerombol menggunjing atas dirinya. Namun kemudian, ia juga teringat kalimat motivasi dari Rangga. Nabila merasa kembali bimbang. Kalimat Rangga padanya tadi, memang menjadi salah satu penguat. Tapi, ia masih belum yakin benar. Karena lusa sudah diadakan tes tersebut. Nabila, saat ini, masih hanya bisa bimbang tetap belum dapat mengambil keputusan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN