“Syifa, tunggu!”
Syifa berhenti berjalan. Dia menegakkan tubuh dan mengernyitkan dahinya. Di belakangnya, suara seseorang berlari mengerjar. Bunyi langkah sepatunya di trotoar membuat Syifa bergidik ngeri.
Para penyerang itu selalu mencegat dirinya di jalan, seperti ini. Dan mereka menyergap Syifa dari belakang lalu membekap mulutnya.
Syifa tak tahan untuk tidak menoleh dengan ketakutan.
“Argh! Tidak!” pekiknya seraya memejamkan mata. Kedua tangan dia angkat ke depan wajah untuk melindungi diri.
“Kamu kenapa sih?” tanya Reza dengan mimik muka bingung.
Mendengar nada suara yang sudah akrab di telinganya, Syifa membuka mata perlahan-lahan. Sosok Reza berdiri di depannya dengan tatapan bertanya-tanya.
“Oh, kamu Za. Bikin aku kaget aja,” ucap Syifa dengan lega.
Dia menurunkan tangan dan mengelus d**a.
“Kenapa kamu kayak takut gitu? Ada apa?”
Syifa menggeleng. Reza tak boleh tahu apa yang terjadi. Dia tak ingin mengungkit-ungkit kembali kejadian kemarin.
“Nggak apa-apa. Cuma kaget aja,” kilah Syifa.
Reza tak bertanya lebih jauh meski sebenarnya dia tak terlalu percaya melihat ekspresi wajah Syifa yang aneh.
“Kukira kamu nggak mau deket-deket sama aku,” kata Reza dengan nada tak senang.
Syifa menatapnya dengan heran. Dia ingat kemarin Reza memang agak marah gara-gara hadiah ulang tahun yang belum dibukanya.
“Nggak kok, aku nggak begitu,” kata Syifa. Dia melirik sosok Reza dengan mengernyit. “Motor kamu ke mana?”
“Di bengkel,” jawab Reza singkat.
Syifa mengangguk. Pantas saja Reza berjalan kaki hari ini. Biasanya dia selalu membawa motor matic-nya itu ke mana-mana. Tapi Syifa tak bertanya lebih jauh soal motornya.
Keduanya berjalan berdampingan di trotoar dalam kebisuan. Tak ada yang membuka percakapan lebih dulu. Syifa dapat merasakan aura tak senang di sekeliling Reza. Sepertinya cowok itu masih marah kepadanya.
Tak dapat dipungkiri, berjalan dengan seorang teman jauh lebih nyaman dari pada dia harus berjalan sendirian. Tapi, jika dalam kondisi marah begini, suasananya menjadi semakin canggung dan aneh. Syifa tidak tahan dengannya.
“Kamu masih marah?” Dia bertanya, membuka suara lebih dulu.
“Menurut kamu?” balas Reza merajuk.
Syifa menarik napas panjang, letih dengan drama ini. Namun dia menahan diri dan berusaha sabar sebisanya.
“Maafin aku ya. Aku bener-bener nggak sempat untuk buka kado dari kamu. Aku nggak bermaksud untuk melukai hatimu.”
“Oh, gitu.”
Reza adalah teman yang menyenangkan, ketika dia sedang senang dia tak pernah lupa pada temannya. Begitupun di saat susah. Dia dapat diandalkan dan dipercaya. Tetapi, kadang ada saja sikapnya yang kekanakan begini yang membuat Syifa merasa risih. Permasalahan sepele begini saja harus larut selama berhari-hari. Dia merasa letih.
“Aku minta maaf, Reza. Kamu jangan marah lagi dong,” ucap Syifa agak sebal.
“Ya, ya. Kamu minta maaf. Tapi sampai sekarang kamu masih belum berubah juga. Kamu bahkan nggak mau repot-repot membuka kadonya bahkan setelah aku marah gini.”
Syifa menahan diri, memejamkan matanya untuk tenang. Jangan emosi, jangan emosi, katanya pada diri sendiri.
“Aku nggak sempat, Za. Aku terlalu sibuk untuk—“
“Kamu sibuk ngapain sih di rumah, Fa? Sampai nggak punya waktu semenit pun untuk melakukannya? Padahal nggak butuh waktu lama lho, paling cuma berapa menit aja. Kamunya aja yang nggak mau.”
Syifa menggigit bibirnya dan mengepalkan tangan kesal. Ingin sekali dia menumpahkan semua kekesalan itu ke wajah Reza. Seandainya saja dia tahu!
“Aku nggak punya waktu, Za. Dan aku nggak ngerti kenapa kamu begitu ngotot. Kamu kekanakan banget!”
“Oh ya? Well, makasih banyak lho. Padahal aku udah perjuangan banget beliin kamu kalung itu. Tapi inilah hasilnya yang kudapatkan,” sindir Reza dengan keras.
Jangankan untuk memikirkan kalung, untuk tetap sadar saja Syifa sudah untung mengingat kejadian kemarin.
“Kamu tahu nggak apa yang terjadi sama aku kemarin? Kamu tahu nggak, apa yang sudah aku lalui? Kamu nggak tahu apa-apa, jadi nggak usah sok di depanku!” balas Syifa dengan nada tinggi.
Gadis itu berjalan mendahului, dengan amarah yang menggelegak di dalam dadanya.
“Emangnya apa yang terjadi?” sahut Reza ingin tahu.
Syifa tak mengacuhkannya. Dia terus berjalan dan tak menganggap Reza ada.
“Syifa, jawab aku!” ucap Reza lagi memancing. “Apa memangnya yang terjadi sampai kamu bersikap seperti ini?”
Syifa berhenti melangkah. Dia berbalik dan berdiri di hadapan Reza. Dia menimbang-nimbang, haruskah dia memberitahu cowok itu apa yang sudah dia alami?
“Apa, Syifa?” tantang Reza.
“Aku nyaris diperkosa orang,” kata Syifa begitu saja.
Kali ini ekspresi Reza berubah. Dia melongo menatap Syifa dengan tak percaya.
“Apa kamu bilang?”
“Ya, nyaris dilecehkan orang-orang tak dikenal.”
Syifa memalingkan wajah, tak ingin melihat raut iba di wajah temannya.
“Kamu serius, Fa?” tanya Reza dengan melotot lebar.
Syifa mengangguk. “Serius. Aku nyaris kehilangan kehormatanku. Itulah sebabnya aku nggak ada waktu untuk hal-hal yang lain. Termasuk buka kado darimu.”
Untuk sejenak Reza berdiri di sana dengan melongo. Dia seolah membeku dan tak bergerak selama beberapa menit. Kemudian dia mulai kembali pulih, menatap Syifa dengan canggung.
“A-aku nggak tahu soal itu. Aku minta maaf,” ujarnya pelan.
“Yah, nggak apa-apa kok.”
“Tapi, gimana ceritanya kamu bisa mengalami kejadian seperti itu?” selidik Reza.
Syifa menghela napas panjang. Ia muak dan letih harus menceritakan kembali kejadian itu. Tapi, dia toh bercerita juga. Kejadian itu dia ringkas secara garis besarnya saja. Dia tak mau mengungkapkan hal-hal rinci dan detil yang bisa membuatnya merasa mual.
Di akhir cerita, dia menunduk menatap kakinya dengan sedih.
“Astaga. Aku nggak nyangka kamu mengalami hal seburuk ini. Aku benar-benar prihatin. Tapi kamu nggak apa-apa kan? Nggak ada yang terluka?”
Syifa sempat menangkap nada khawatir yang tulus dalam suara Reza. Dia tersenyum kecil.
“Aku baik-baik saja. Trims.”
“Kita harus laporkan ini ke polisi!” ujar Reza bertekad.
“Nggak perlu. Polisi sudah mengusut kasus ini kok.”
“Oh ya? Terus gimana perkembangannya?”
Syifa angkat bahu. “Aku belum tahu. Kejadiannya baru kemarin siang.”
Reza manggut-manggut. Lalu dia terdiam lagi, seakan tak tahu harus berkata apa.
“Aku minta maaf,” ucap Reza lagi. “Karena telah menghakimi kamu seenaknya tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kalau saja aku tahu, pasti—“
“Sudahlah,” sela Syifa. “Ini bukan kesalahan kamu. Aku yang salah. Aku harusnya lebih hati-hati lagi.”
“Tapi, Fa ....”
Syifa menggeleng tenang.
“Nggak perlu membahas hal ini lagi ya. Dan aku minta agar kamu nggak cerita soal ini ke siapapun, Za.”
Reza nampak ragu sejenak, kemudian mengangguk mantap. “Iya, aku janji nggak akan cerita ke siapa-siapa.”
Dengan begitu, obrolan pun berakhir tepat saat mereka sudah nyaris sampai ke gerbang sekolah.