“Jaga dirimu ya, Syifa.”
Reza berkata sebelum mereka berdua berpisah di koridor. Syifa hanya mengangguk pelan, tak ingin mendebat.
Sementara Reza berjalan ke lapangan basket, tempat segerombolan teman cowoknya menunggu.
Ketika melanglah di koridor sekolah yang ramai, Syifa berusaha sebisa mungkin untuk menghindari tatapan semua orang. Dia menunduk selagi berjalan, berharap dirinya tidak menabrak sesuatu atau seseorang. Saat ini dia sedang tak ingin digoda atau diledek oleh anak-anak yang lain. Terutama jika menyangkut kedekatannya dengan Reza.
Syifa baru dapat bernapas lega ketika dia masuk ke dalam ruang kelas yang sepi. Semua anak masih bergerombol di koridor dan jarang ada yang mau duduk-duduk di dalam kelas kecuali jam pelajaran sudah dimulai.
Gadis itu duduk di tempatnya, meletakkan tas di bangku dan lantas memandang kosong ke papan tulis. Pikirannya melayang kembali ke kejadian kemarin. Dia mengenang kembali rasa ngeri yang menyergap tubuhnya. Rasanya sudah seperti bertahun-tahun lamanya, padahal baru saja kemarin terjadi. Dia tak sanggup membayangkan kehormatannya terenggut begitu saja. Orang-orang asing jahat itu menyeringai lebar menatapnya, tangannya meraba-raba bagian tubuh Syifa ....
“Arghhh!” geramnya ngeri.
Dia memejamkan mata menolak untuk mengingat lagi.
“Astaga, sejak kapan kau datang?” tanya Syifa kepada sosok gadis berambut hitam menjuntai yang berdiri tak jauh dari ambang pintu.
Amaya diam saja, hanya menatap balik pada Syifa yang nampak gugup.
“Baru saja,” ucap Amaya dengan datar.
Dia melanjutkan langkahnya dan duduk di tempatnya sendiri. Syifa menghela napas, kemudian menunduk dan menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Bayangan kejadian itu sungguh membuatnya tidak bisa tenang.
Bahkan ketika pelajaran sudah dimulai, dia kesulitan untuk berkonsentrasi. Berkali-kali Syifa mencoret catatannya dan memperbaiki catatan yang salah.
Saat bel berbunyi sekali menandakan pergantian jam pelajaran, Syifa memasukkan catatannya yang berantakan ke dalam tas.
Brak!
“Hei, cupu! Mana tugas kami kemarin?” tanya Rere berdiri menjulang di depan Syifa.
“Eh, apa?” sahut Syifa dengan raut muka bingung.
“Tugas. Punya kami. Yang harusnya lo selesaikan hari ini. Mana sekarang?”
Syifa mengerjap-ngerjap. Untuk sesaat dia masih bingung apa yang dimaksud oleh Rere. Lalu kemudian dia teringat.
“Oh, astaga!” pekiknya seketika.
Rere menatapnya dengan ekspresi jemu. “Hmm, mana tugas punya kami?” tagihnya ngotot.
“A-anu ... Itu,” balas Syifa terbata-bata.
“Anu, anu. Apaan? Mana sekarang tugas kami? Lo kan harusnya nyelesaikan tugas itu hari ini!”
Syifa menggigit bibirnya dengan gugup. Dia lupa. Sebenarnya tugas itu sudah selesai dia kerjakan kemarin di sekolah. Tapi, dia sama sekali tak ingat untuk membawanya hari ini. Buku-buku tugas itu dia tumpuk ke rak bukunya di rumah. Ya, dia ingat dia melihatnya pagi tadi ketika hendak berangkat. Tapi pikirannya sedang tak karuan waktu itu sehingga dia tak bisa mengingat sama sekali untuk membawa buku tugas Rere dan geng. Bagaimana ini?
“Cupu, lo dengar nggak? Mana buku tugas gue?” bentak Rere dengan galak.
Clara yang menoleh melihat adegan itu segera mendekat juga.
“Kenapa Re?”
“Ini, dia nggak mau jawab. Jangan-jangan tugas kita belum dikerjain sama dia?” sahut Rere sembari menunjuk Syifa dengan dagunya.
“Udah kok, kemarin aku udah selesai ngerjain. T-tapi ....”
“Tapi apa?” desak Clara mendelik.
“Kayaknya buku kalian ketinggalan deh. Aku lupa—“
“Hah? Bisa-bisanya lo bikin buku kami ketinggalan?”
“Aku nggak sengaja, Re. Aku lupa untuk membawanya.”
“Halah, banyak alasan! Lo sengaja pasti ya, pengen bikin kami dihukum sama guru?” tuduh Rere sembarangan.
“Nggak, Re. Sumpah!”
“Terus sekarang gimana, Re? Bentar lagi gurunya masuk kelas,” ucap Clara dengan panik. Pandangannya terarah ke pintu, di mana guru bisa saja muncul sewaktu-waktu.
“Gue nggak mau tahu, Cupu! Lo harus mgerjain ulang tugas kami. Kalau sampai kami ditanyain sama guru, kami bakal bilang kalau tugas kami dipinjam sama elo. Jadi, elo yang akan menanggung akibatnya. Ngerti?!” ujar Rere.
Syifa mendesah letih. Tapi dia menatap ekspresi wajah Rere yang galak dan tak mau dibantah. Dia menelan protesnya dalam hati.
Kedua gadis itu kembali ke tempat duduknya sendiri. Sementara Syifa bingung dalam kepanikannya. Dia tak tahu harus berbuat apa. Beberpa menit lagi saja, guru akan memasuki ruang kelas. Dan dia tak akan punya cukup waktu untuk menyalin kembali semua tugas itu. Lagipula di mana dia akan menuliskan semuanya?
Syifa kebingungan, jantungnya berdetak lebih kencang. Dia melirik jam dinding dengan cemas. Detik-detik jam terasa memburunya.
“Bagaimana nih?” gumamnya serasa ingin menangis.
“Selamat pagi, Anak-anak!” sapa guru killer yang memasuki ruang kelas dengan suara sepatunya yang berkelotak.
Syifa mendongak dan membuka mulutnya lebar. “Mati aku!” desahnya pasrah.
“Kumpulkan buku tugas kalian. Evan, tolong kamu kumpulkan semua buku tugas dan letakkan di sini,” perintah guru itu kepada salah seorang murid.
Evan berdiri, mulai berjalan mengitari kelas sambil mengambil semua buku tugas yang diserahkan kepadanya.
Syifa duduk dengan gemetar. Dia menunggu-nunggu dirinya terkena masalah. Apa yang harus dia lakukan untuk menyelamatkan diri?
“Sssstt! Sssttt!” panggil sebuah suara lirih di belakangnya.
Syifa menoleh, melihat Amaya menunjuk tasnya dengan satu jari.
Syifa mengerutkan dahi tak mengerti. Akhirnya dia hanya menggeleng lemas dan kembali fokus berdoa untuk memohon keselamatan.
“Ssssttt!”
Amaya menimpuk kepala Syifa dengan segumpal kertas di kepalanya.
Gadis itu kembali menoleh dengan kesal. “Apa sih?” ucapnya tanpa bersuara.
Amaya kembali menunjuk ke tas Syifa dengan ngotot.
“Apa maumu?” ucap Syifa dengan gerak bibir.
“Di tasmu. Bukalah!” balas Amaya juga tanpa suara.
Syifa yang heran dengan sikap gadis aneh itu mengambil tasnya dan merogoh ke dalam. Dia mulai membuka-buka semua bukunya untuk mencati tahu apa yang diinginkan oleh Amaya. Saat itulah dia melihatnya.
Tiga buah buku yang bukan miliknya. Syifa tersentak kaget. Dia menarik salah satu buku dan melihat namanya. Renita Cahya Kusuma.
Buku itu adalah buku tugas milik Rere. Tapi, bagaimana bisa ada di dalam tasnya? Bukankah tadi pagi dia telah meninggalkan buku itu di rumah?
“Bukumu mana, Syifa?” tanya Evan dengan nada tak senang.
Cowok itu tahu-tahu saja sudah berdiri di samping mejanya dengan setumpuk buku tugas lainnya.
“Hah?”
“Buku tugas. Cepetan!” kata Evan dengan ketus.
Syifa pun segera mengeluarkan buku-buku tugasnya. Dia melihat sekilas buku tugas milik Tania dan Clara juga ada. Dan dia menumpuk empat buku tugas itu termasuk miliknya ke atas tumpukan yang dibawa oleh Evan.
Degup jantung gadis itu masih berdetak, tapi tak sekencang tadi. Dia mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Buku tugas milik Rere, Clara dan Tania ada di dalam tasnya. Tapi itu mustahil. Dia ingat betul bahwa dia tidak membawanya. Apakah ingatannya salah? Apakah pikirannya yang kacau akibat kejadian kemarin telah mempermainkan dirinya?
Syifa masih belum mendapatkan jawaban. Tetapi tak dapat dipungkiri bahwa dia merasa amat sangat lega. Kini masalahnya telah lewat dan teratasi. Ketika Rere menoleh padanya dengan tatapan mengancam, dia mengangguk, menandakan bahwa tugasnya sudah selesai.
Dia tidak akan mendapat masalah lagi dengan mereka. Meski dia masih menerka-nerka, bagaimana bisa Amaya tahu jika buku-buku itu ada di dalam tasnya?