“Apa maumu?!” teriak Syifa dengan nada histeris.
Gadis itu berhenti melangkah dan dengan sinis menatap ke seorang pria dua puluh tahunan yang juga berhenti tepat di belakangnya. Pria itu nampak kaget, melihat reaksi Syifa yang melotot padanya.
“Eee ... Apa?!” sahutnya dengan nada kebingungan.
Pria itu melirik ke sekelilingnya yang sepi, di mana tak ada seorang pun yang lewat. Mendadak saja Syifa merasakan sentakan rasa malu. Gadis itu seakan telah menyembur marah pada orang asing tanpa alasan yang jelas.
“Oh, maaf, saya kira Anda orang lain ....”
Alasan klasik itu terucap begitu lancar dari mulut Syifa. Dia berusaha keras menjaga wajahnya tetap datar, untuk menghindari rasa malu yang lebih besar.
Si pria dengan santai berjalan kembali, melewati tubuh Syifa dengan pandangan aneh. Gadis itu berhenti sejenak, berusaha untuk menenangkan diri.
“Aku pasti terlalu sensitif hari ini,” gumamnya sendiri.
Dia merasa bahwa dirinya terlalu mudah berpikiran negatif. Entah itu karena pengaruh berbagai persoalan yang akhir-akhir ini dia hadapi atau hanya pengaruh hormon remaja saja.
Syifa melanjutkan perjalanannya. Dia berjalan dengan lebih santai. Sekarang setelah dia tahu bahwa dirinya aman dari bahaya dan tidak ada orang yang menguntit dirinya, dia bisa melepaskan tekanan yang sedari tadi membuatnya ketakutan.
Dia berjalan sendirian di jalanan itu, sama seperti hari-hari biasanya. Kendaraan bermotor sesekali lewat, tetapi tidak sering. Maklum saja, jalan yang ia lewati bukanlah jalan utama. Jalan itu merupakan sebuah cabang jalan desa yang menyatukan desa tempat tinggalnya dengan keramaian jalan besar.
Tempat itu merupakan jalan berpaving yang sepi, hanya dikelilingi oleh petak-petak kebun kecil serta beberapa bangunan rendah yang tidak terawat, seperti semacam pos ronda yang terabaikan. Beberapa ratus meter jauhnya hingga kita bisa menemukan tempat tinggal warga.
Syifa sudah mengenal jalan ini sejak dirinya masih kecil. Waktu itu pembangunan jalan dilakukan, untuk mempermudah warga bepergian. Tetapi tetap saja, hingga hari ini tempat itu tidak seramai yang diharapkan. Mungkin karena jaraknya yang cukup jauh dari rumah warga desa. Tak mengherankan bila dia sudah begitu hafal dengan jalan ini.
Meski begitu, perasaan cemas tak dapat dihilangkan jika dia melintas di sini, sebab jalanan ini beberapa kali menjadi tempat terjadinya tindakan kriminal. Seperti pencopetan, p*********n hingga perundungan dan kekerasan. Lokasinya yang sepi tak memungkinkan bagi warga untuk meminta tolong kepada warga setempat dan sangat mendukung aksi-aksi kriminal tersebut.
“Sssstt, hei! Kemari sebentar!” panggil seseorang.
Syifa berhenti berjalan dan menoleh ke arah kiri-kanannya. Sebuah bekas bangunan yang tidak terawat berada di sisi kanannya, berdiri kokoh di antara kebun kosong yang tak terawat.
“Kemari sebentar!”
Kedua mata Syifa membelalak kaget, menatap sosok pria yang tadi diteriakinya berdiri di belakang bangunan itu, bersembunyi dengan baik.
Apa yang dia inginkan?
Syifa masih berdiri kaku di tempat, tak dapat merespon.
“Ayo, kemari,” bujuk pria itu dengan pandangan yang aneh. “Nanti kukasih uang seratus ribu!”
Sontak ucapan itu membuat Syifa mendelik kepadanya. Beraninya pria itu!
“Nggak!” balas Syifa seraya berjalan kembali dengan langkah cepat.
Si pria nampak marah, kemudian melihat kondisi sekitar. Karen merasa suasana sepi, maka dia keluar dari tempat persembunyiannya dan berjalan cepat mengikuti langkah Syifa.
Sontak gadis itu berlari menjauh, ingin menghindar sebisa mungkin dari pria itu. Sementara si pria ikut berlari mengejarnya, tak ingin melewatkan kesempatan itu.
“Berhenti! Hei, berhenti di sana! Aku tidak akan menyakitimu,” ucap si pria lagi.
Namun, kali ini Syifa tak dapat memercayainya. Dia tidak mau mendengarkan ucapannya dan berlari semakin cepat, ingin segera sampai di dekat rumah warga dan berteriak minta tolong.
“Berhenti, cewek jalang!” umpat si pria dengan murka.
Tinggal setengah meter lagi jaraknya dengan Syifa. Lelaki itu bahkan sudah bisa meraih pergalangan tangan Syifa dan memegangnya kuat-kuat.
Sontak laju lari Syifa terganggu. Gadis itu nyaris jatuh tertelungkup di atas tanah. Tangan kiri Syifa dicengkeram oleh pria asing itu hingga dia tak bisa kabur lagi.
“Tolong!” teriaknya dengan panik.
Syifa meronta-ronta, ingin melepaskan diri. Tetapi, pria itu jauh lebih kuat darinya secara fisik. Jadi, perlawanan Syifa seakan tak ada artinya. Lelaki itu memegangi tangan Syifa yang lain, sehingga membuatnya semakin tak berdaya.
Syifa mencoba untuk menendang-nendang, namun karena posisinya yang membelakangi si pria, maka dia tidak dapat mengarahkan tendangannya dengan tepat pada sasaran.
“DIAM!” ancam si pria dengan suara berat.
Syifa terus menjerit dan berteriak meminta tolong. Si pria berusaha menyeret tubuhnya ke arah bangunan kosong yang tadi mereka lewati.
Jantung Syifa berdegup begitu kencang. Dia tak tahu apakah nasibnya akan berakhir di sini, sebagai korban di jalanan sepi ini.
“Ayah, tolong!” jeritnya putus asa.
Gadis itu menangis histeris, ketakutan dan kesakitan. Dia sungguh berharap ada seseorang yang akan lewat dan menolong dirinya. Syifa sungguh tak mau mengalami nasib buruk seperti ini.
“Lepaskan dia!” ucap suara seseorang.
Syifa tak tahu siapa orang itu, sebab posisinya membelakangi mereka. Tetapi dia merasa sedikit lega sebab ada seseorang yang mengetahui kejadian itu.
“Hei, siapa lo?” sahut si pria yang memegangi tubuh Syifa dengan kuat.
Tak ada jawaban. Syifa ingin tahu siapa sosok yang datang dan berusaha menyelamatkan dirinya. Dia sama sekali tidak menyebutkan identitasnya dan Syifa tak dapat mengenali suaranya, apakah lelaki atau perempuan.
“Mau apa lo? Mau nyelametin dia? Mau sok-sokan jadi pahlawan?” sindir pria itu.
Tak ada jawaban. Syifa masih terus meronta-ronta, berusaha untuk melepaskan diri.
“Nggak usah ikut campur! Atau lo juga akan jadi korban berikutnya!” ancam si pria dengan berang.
“Aaarggghhh!” jerit si pria kesakitan.
Cengkeraman pria itu di tubuh Syifa terlepas. Sontak saja gadis itu menjauh pergi dan bersembunyi di balik bangunan tak terawat, terlalu takut dan gemetar untuk melongok keluar.
“Aaahh! Ampun!” Pria itu berteriak kembali.
Syifa tak tahu apa yang terjadi di sana. Dia tak tahu bagaimana cara penolongnya menolong dirinya. Tetapi yang jelas, dia masih merasa deg-degan mendengarkan adegan yang terjadi.
“Jangaaaan! AAARGGHHH!” teriak si pria dengan lantang.
KRAAAKK!
Bunyi derak keras itu terdengar mengerikan di telinga. Syifa sampai harus menutup telinganya dan memegang dadanya yang berdebar kencang, tidak tahu pasti apa yang telah terjadi. Suaranya saja sudah mampu membuat bulu kuduk gadis itu meremang, bergidik ngeri membayangkan apa yang sudah dilakukan oleh orang itu.
Begitu suasana sudah hening, dia mencoba memberanikan diri untuk melongok keluar, sekedar mengintip apa yang terjadi. Namun, pemandangan di depan matanya sungguh mengerikan. Dia sampai shock dan tak mampu berkata-kata.