Kengerian Itu

1087 Kata
Syifa dapat melihat di antara tumpukan bebatuan yang terbengkalai di sana, ada sesosok tubuh seorang pria yang tergeletak. Sosok itu diam tak bergerak, dalam posisi yang sangat aneh dan ganjil. Gadis itu memberanikan diri untuk bangkit berdiri dan melangkah mendekat perlahan-lahan. Selangkah demi selangkah membawanya semakin dekat kepada sosok yang diam itu. Pria yang menyerangnya telah tergeletak di sana, dengan tubuh yang terpelintir ke posisi paling aneh yang pernah dilihatnya. Syifa memekik kaget, ngeri sekaligus ketakutan menatap sosok itu. Kedua tangannya membekap mulut, mencegahnya untuk berteriak kencang. Namun, sekujur tubuh gadis itu gemetar. Tubuh yang diam tak bergerak itu telentang di atas tanah, di antara bebatuan. Kedua tangan dan kakinya terpelintir ke arah yang berbeda, nampak seolah tulangnya berputar 180 detajat dari posisi semula. Hal itu sudah cukup mengerikan, ditambah dengan ekspresi kesakitan di wajah dan kedua matanya yang hanya menampilkan warna putihnya saja. Seakan kedua mata itu berputar ke atas dengan mengerikan sampai tidak memperlihatkan pupilnya sama sekali. Sementara darah mengucur deras dari puncak kepalanya yang nampak seperti habis kena pukul. Syif menahan rasa mual yang bergejolak di dalam perutnya. Dia menoleh ke sekeliling, mencoba mencari seseorang untuk menolongnya. Tetapi pada saat itu tak ada orang yang lewat sama sekali. Syifa merasakan gelombang rasa takut. Dia tidak tahu apa yang telah terjadi dan apa yang harus dia lakukan sekarang. Gadis itu berdiri di sana, kebingungan. Tak ada sosok sang penyelamat bahkan ketika Syifa mencari-carinya di antara tempat persembunyian. Siapa yang telah melakukan hal semengerikan ini? Tetapi pertanyaan itu menjadi tidak penting lagi, ketika suara bisikan-bisikan aneh mulai merasuki dirinya. “Lari ....” Suara berbisik itu terdengar begitu dekat, seperti tepat di telinganya sendiri. Syifa menoleh dengan kaget, menatap ke belakangnya. Tetapi tak ada seorangpun di sana. Tak nampak sosok manusia yang berdiri di dekatnya dan membisikkan kata-kata itu. Dia benar-benar sendirian. Syifa mengamati sekitarnya, lantas bergidik ketakutan. Gadis itu segera melangkah mundur pelan-pelan dan menjauh dari tempat kejadian itu, seraya masih mencari-cari. Ketika dia sudah yakin bahwa tak ada seorangpun di sana kecuali dirinya sendiri, maka Syifa pun lekas berlari pergi. Dengan rasa takut yang mengejar, gadis itu tak menoleh sedikitpun ke belakang. Pikirannya menjadi kacau dan dia tidak bisa mengontrol diri. Di terus berlari pulang ke rumah dengan air mata yang terus mengalir. Dia terisak-isak dan nyaris terjatuh beberapa kali. Tapi dia tak peduli. Dia hanya ingin pulang. Dia ingin berada di rumahnya yang aman dan ada sang ayah yang akan melindungi dirinya. Syifa menggebrak pintu depan rumah dan membuat sang ayah yang sedang bekerja itu terlompat kaget. “Astaghfirullah, Syifa! Ada apa?” seru sang ayah yang menoleh melihat putrinya menangis ketakutan. Syifa tak menjawab. Gadis itu melemparkan sepatunya begitu saja dan bergegas masuk ke kamarnya. Gadis itu jelas masih terisak. Sang ayah mendorong kursi rodanya ke kamar itu, sembari mengetuk pelan pintu yang tertutup. “Syifa? Kamu ada masalah?” tanya ayahnya dengan nada kuatir. Gadis itu duduk di tempat tidurnya, menarik napas dalam-dalam dan mencoba untuk menenangkan diri. Butuh waktu beberapa menit sebelum dia berhasil mengontrol diri kembali. Gadis itu menjawab ketukan ayahnya dengan suara parau. “Aku nggak apa-apa, Yah,” ucapnya dengan nada lemah. Sang ayah tidak yakin mendengar jawaban itu. “Kamu nggak mau cerita sama ayah?” “Syifa nggak apa-apa, Yah,” ulangnya dengan nada lebih tegas. Pria itu masih duduk di kursi rodanya di depan kamar Syifa. Raut mukanya nampak tidak percaya pada ucapan sang anak. “Kamu yakin? Kamu biasanya suka cerita sama ayah ....” Sekali lagi Syifa mengatur napasnya. Dia mencoba untuk terdengar lebih tenang. “Syifa beneran nggak apa-apa. Hanya sedikit PMS,” kilahnya dengan lancar. “Oh, begitu,” sahut sang ayah masih dengan nada cemas. “Ya sudah, kalau kamu capek, istirahat saja dulu. Ayah sudah siapkan makan siang di dapur kalau kamu lapar. Kalau butuh sesuatu, panggil ayah ya?” “Iya, Yah!” sahut Syifa. Dia berdusta. Entah sejak kapan dia suka berdusta. Dia tak pernah berdusta seperti ini kepada sang ayah. Dia tidak senang melakukannya. Tetapi, untuk saat ini dia tidak punya pilihan yang lain. Tidak mungkin dia bisa menceritakan kejadian yang dia alami barusan begitu saja. Dia butuh waktu .... Syifa mengganti seragamnya dengan baju santai. Kemudian dia tiduran di tempat tidur dengan mendekap bantal guling. Kejadian itu terus berulang-ulang di benaknya, dengan suara-suara menyeramkan itu. Dia sedikit menyesal sebab tidak berani mengintip ke luar ketika hal itu terjadi. Tapi, jika dipikir-pikir, mungkin saja dia justru akan jatuh pingsan jika menyaksikan secara langsung kejadian mengerikan itu. “Apa yang terjadi sebenarnya?” gumam Syifa sendiri. Gsdis itu tak bisa berhenti memikirkan kejadian aneh dan mengerikan itu. Bagaimana bisa terjadi, siapa yang menolongnya dan apa yang sudah dia lakukan pada pria asing yang berusaha menyerangnya itu? Syifa menggelengkan kepalanya, berusaha untuk mengusir bayangan mengerikan itu dari benaknya. Apapun yang terjadi, dia sudah diselamatkan. Tapi, rasa ingin tahunya justru semakin besar. Padahal dia menyaksikan sendiri bahwa tak ada seorangpun waktu itu. Tiba-tiba saja manusia misterius ini muncul di saat yang tepat dan menyelamatkan dirinya dengan cara yang aneh. Dan dia menghilang begitu saja sesudahnya. Mengapa? Beragam pertanyaan mengusik pikirannya. Tubuh serta otaknya yang letih tak mau bekerja lagi. Dia akhirnya jatuh tertidur lelap tanpa menyadari waktu. Ketika terbangun, Syifa mendengar suara percakapan di ruang depan, di dekat kamarnya. Kebetulan letak kamarnya memang berada di dekat ruang tamu sekaligus ruang kerja ayahnya. Jadi, percakapan sang ayah dengan para tamu atau klien selalu terdengar dari kamar Syifa. “Tubuhnya ditemukan terpelintir, Pak. Bahkan kepalanya pecah, berdarah-darah mengerikan!” ucap suara seorang wanita yang terdengar histeris. “Astaghfirullah, separah itu, Bu?” sahut sang ayah dengan nada terkejut. “Iya, Pak. Entah siapa pelakunya. Para warga masih mengurusi hal ini. Mereka sudah melaporkan kejadian ini ke polisi. Dan pihak berwajib sudah mengambil tindakan untuk menyelidiki.” Mendadak darah di tubuh Syifa terasa membeku. Gadis itu ingin mendengarkan percakapan itu dengan lebih jelas. Dia mengendap keluar kamar dan menguping di depan kamarnya, nyaris tepat di depan ruang tamu. “Kira-kira siapa ya, Pak, pelakunya? Kalau orang itu ditemukan, maka dia pasti akan mendapatkan hukuman yang setimpal!” ucap si ibu lagi. Terdengar bunyi mesin jahit bekerja dengan berirama. Sang ayah masih mengerjakan pesanan sambil mendengarkan cerita ibu itu dengan seksama. “Entahlah, Bu, saya harap dia segera ditemukan,” sahut sang ayah dengan agak tidak fokus. “Saya kira, tadi ada seseorang yang melihat seorang gadis berseragam yang berlari di sekitar tempat itu. Entah siapa ....” Jantung Syifa berdegup begitu kencang, sampai-sampai dia takut bahwa jantungnya akan meledak sebentar lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN