Perubahan Sikap

1102 Kata
“Syifa, bangun! Syifa,” ucap ayahnya dengan suara cemas. Pria itu sudah berada di sisi tempst tidur putrinya dan mengguncang-guncang tubuh Syifa dengan keras, berusaha untuk membuatnya terbangun. Gadis itu membuka matanya dengan tiba-tiba, seketika terduduk di tempat tidur dengan keringat membanjiri sekujur tubuh. Dia membelalak menatap dinding dengan kengerian yang tak dapat digambarkan. Mimpinya terasa begitu nyata, begitu dekat. “Ada apa, Nak?” tanya sang ayah dengan cemas. Syifa menoleh ke arah pria itu, masih dengan napas terengah-engah seolah habis berlari jauh. Syifa menggeleng pelan, berusaha menenangkan diri. Dia merasa kerongkongannya begitu kering seperti padang pasir. “Kamu mimpi buruk?” tanya ayahnya lagi. Kali ini Syifa mengangguk. Dia bergegas menyingkirkan selimut yang sebagian masih berada di kakinya, sementara sebagian lain sudah jatuh ke lantai. Gadis itu beranjak bangkit. Sang ayah mengikutinya keluar dari kamar, menuju ke dapur. Rupanya Syifa mengambil segelas air minum untuk dirinya sendiri. Sang ayah menghentikan kursi rodanya di depan anak gadisnya, selagi menatapnya dengan heran. “Apa kamu nggak berdoa dulu sebelum tidur?” “Sudah, Yah,” jawab Syifa setelah menenggak habis airnya. “Kamu mimpi apa Nak? Kenapa sampai berteriak-teriak seperti itu?” Syifa hanya menggeleng, tak mau menjawab pertanyaan itu. Dia tahu betapa kuatirnya ayahnya tentang dirinya. Tetapi Syifa tetap tidak akan mau menceritakan perihal isi mimpinya dan kejadian yang terjadi di siang hari itu. Jika dia bercerita, maka kemungkinan ayahnya akan semakin cemas akan dirinya. “Aku nggak apa-apa, Ayah. Ayah bisa kembali tidur,” ucap Syifa sembari berjalan kembali ke kamarnya sendiri. “Kamu yakin?” sahut ayahnya. “Iya. Maaf untuk keributan tadi,” ucap Syifa lagi. Sang ayah hanya menghela napas panjang lalu membiarkan putrinya kembali tidur. Dia sendiri kembali masuk ke kamarnya yang terlelak bersebelahan dengan kamar sang anak. Tetapi Syifa tak dapat lekas tidur kembali. Dia masih terjaga hingga beberapa menit lamanya. Dia memikirkan arti mimpi itu, serta kejadian asli yang mengerikan. Dia terus bertanya-tanya sendiri, siapa sebenarnya sosok penyelamatnya? Mengapa sosok itu tidak muncul dan menyapa Syifa, melainkan langsung menghilang tanpa jejak? Dan bagaimana bisa dia menyelamatkan Syifa dengan cara membunuh pria itu dengan begitu keji? Semua pertanyaan itu sungguh mengganggu benak Syifa. Dia melirik jam kecil di atas meja nakas di dekat tempat tidurnya. Sudah pukul satu dinihari. Dia kehilangan rasa kantuk dan mulai mengerjap menatap langit-langit kamar. Pikirannya yang hampa mendadak dipenuhi oleh ketakutan. Bagaimana bila sosok itu akan menyakiti dirinya kemudian? Syifa bergidik ngeri. Dia mulai mengeratkan selimut ke seluruh tubuhnya yang menggigil kedinginan. Dia berguling ke samping dan mencoba untuk tidur. Tak lupa, dia terus membisikkan doa-doa yang diingatnya untuk membantu pikirannya menjadi lebih tenang. Dia jatuh tertidur setelah beberapa kali kesulitan. Tetapi pada akhirnya rasa lelahnya membuatnya kalah. Dia tidur tanpa bermimpi hingga pagi hari tiba. Syifa terbangun kembali dengan rasa kantuk yang luar biasa mendera. Dia tak dapat fokus dan merasa agak lesu. Tetapi dia memaksa diri untuk bersiap pergi ke sekolah. Hari itu, semuanya berjalan dengan normal saja, sampai ketika dia berpamitan kepada sang ayah untuk berangkat. “Hati-hati, kalau bisa, sebaiknya kamu memilih jalan berputar saja. Jangan melewati jalan yang sepi kemarin. Lewatlah jalan besar yang ramai, meskipun membutuhkan waktu sedikit lebih lama. Ayah kuatir sama kamu. Ayah nggak ingin terjadi hal-hal yang tidak diinginkan kepada kamu. Paham?” ucap ayahnya menasehati. Syifa mengangguk, seraya mencium punggung tangan ayahnya. Gadis itu baru teringat insiden itu lagi. Padahal dia sungguh tak ingin diingatkan. Tetapi mau bagaimana lagi? “Syifa pergi dulu, Yah,” pamitnya. “Hati-hati. Kalau ada apa-apa, cepat lari dan pulang!” “Iya, Syifa ngerti!” balasnya cepat. Sang ayah menatap punggung Syifa yang menjauh di jalan, sembari memperhatikan langkah gadis itu. Dia merasa begitu cemas setelah kejadian mengerikan itu. Wajar saja, orang tua mana yang tidak akan merasa cemas? Kalau dipikir-pikir, tingkah Syifa kemarin memang agak aneh. Sang ayah berpikir, apakah anak gadisnya benar-benar tidak mengetahui kejadian itu sebelum sampai di rumah? Apakah waktunya hanya kebetulan saja ketika Syifa pulang? Pria itu berusaha untuk mencerna semuanya. Tetapi, dia menggelengkan kepala. Dia menolak untuk tidak mempercayai putrinya. Jika memang terjadi sesuatu, maka Syifa pasti akan mengatakan sesuatu. Dengan cepat dia segera melupakan pemikiran itu dan memilih untuk menjalani hari itu dengan lebih fokus. *** “Kamu tahu nggak, berita terkini yang beredar di desa kita?” tanya Reza begitu Syifa melangkah masuk melewati gerbang sekolah. “Kabar apa?” sahut Syifa dengan letih, tanpa semangat sedikitpun. “Kabar tentang adanya pembunuhan. Di jalan sepi yang dekat rumahmu itu,” ujar Reza menjabarkan. Sontak punggung Syifa menegang. Dia menelan ludah dan berpura-pura tidak terpengaruh. “Kenapa itu?” “Apa kamu nggak tahu?” Reza melebarkan kedua matanya menatap Syifa. “Padahal lagi viral banget loh ini. Semua orang membicarakan perihal kasus ini.” Melihat ekspresi wajah Syifa yang datar saja, Reza melanjutkan. “Jadi begini ...,” ucap Reza memulai. Cowok itu lantas menceritakan kembali kejadian yang sebenarnya sudah dihafal oleh Syifa di luar kepala. Tetapi, gadis itu masih saja merasa merinding setiap kali mengingat kejadian itu. Kata-kata yang meluncur dari mulut Reza membuat Syifa teringat pemandangan mengerikan yang dia saksikan sendiri. Keseluruhan rasa ngeri menguasai dirinya, membuatnya terhuyung. “Syifa, kamu nggak apa-apa?” tanya Reza cemas. Dia membopong tubuh Syifa dan membantunya untuk duduk di sebuah bangku dekat sana. “Kamu sakit? Wajah kamu pucat sekali,” ucap Reza dengan penuh perhatian. Syifa menggeleng, berusaha untuk menguasai diri kembali. “Aku nggak apa-apa,” ucapnya. Perhatian Reza yang sebelumnya fokus ingin membahas kejadian pembunuhan itu kini telah beralih. Dia lebih memperhatikan wajah gadis itu dengan seksama. “Kalau kamu sakit, aku bisa anter kamu ke ruang UKS. Kamu bisa istirahat di sana.” Syifa menolak halus. “Nggak usah, aku nggak apa-apa.” Saat itulah pandangannya beradu dengan pandangan seorang gadis yang baru saja memasuki halaman sekolah. Sosok itu adalah Amaya, yang berjalan perlahan dengan tatapan tertuju pada Syifa. Untuk sedetik, keduanya nampak saling membeku. Tapi kemudian Amaya berjalan melewati mereka berdua begitu saja. Syifa merasakan perasaan yang bercampur aduk ketika menatap Amaya tadi. Entah mengapa, rasa tidak nyaman semakin menghantui dirinya. Sejak pertengkaran itu, dia dan Amaya semakin menjauh. “Jadi, menurut kamu gimana soal kasus pembunuhan aneh itu? Siapa ya pelakunya?” ucap Reza membuyarkan lamunan Syifa. “Itu jalanan sepi yang sering kamu lewati loh, Fa. Aku jadi kuatir sama kamu. Mulai sekarang, sebaiknya kamu pulang bareng sama aku aja ya?” “Eh, aku lupa, aku ada PR yang belum selesai. Aku duluan ke kelas ya! Dadah!” potong Syifa sebelum Reza sempat melanjutkan lagi. Buru-buru Syifa bangkit berdiri dan beranjak pergi, meninggalkan Reza seorang diri menatapnya kebingungan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN