Cincin dan kamu

1223 Kata
            Meeting Check, Lunch Check and everything is well done! Aku tidak akan kena omelan ibu Widya kali ini, karena semua yang ia perintahkan kepadaku sudah aku lakukan dengan sempurna hari ini, aku tidak membuat kekacauan di meeting dengan kepala eksekutif. Aku mengecek ponselku dan satu nama di atas kembali membuat mood ku berubah, ya? Siapa lagi kalau bukan Dean. Kali ini dia sedang mencariku, dia ingin di temani untuk membeli cincin untuk acara pertunangannya nanti. Menyedihkan bukan? Menemani orang yang kamu cintai, membeli sesuatu untuk orang yang ia cintai yang jelas-jelas bukan kamu orangnya.             Aku? bukan Aliya namanya jika bisa menolak permintaan dari seorang Dean, walaupun rasa sakit hati yang sudah jelas akan aku rasakan ketika melihat Dean memilihkan cincin untuk calon istrinya, tetap saja aku tidak menolak permintaan Dean. Entahlah, aku juga tidak tahu kenapa aku se-bucin itu kepada Dean. *****             Aku berjalan santai, menysuri koridor kantor yang sudah terbilang sepi di pukul tujuh malam. Orang-orang sudah bubar sejak pukul lima sore tadi, dan beberapa di antaranya masih stay di kantor karena pekerjaan mereka masih belum juga selesai. Sementara aku? aku sedang menunggu Dean yang baru saja berkabar bahwa ia baru selesai meeting. Aneh bukan? Aku sedang menunggu calon suami orang di koridor kantor malam-malam begini. Berasa jadi selingkuhan saja.             “Maaf ya Al, gua lama banget.” Suara Dean mengejutkanku ketika ia tiba-tiba muncul dari belakang. Wajahnya nampak sangat lelah namun di saat yang bersamaan juga masih saja memancarkan aura ketampanannya. Aku menarik napas dalam-dalam kemudian mengangguk pelan, aku berjalan lebih dulu ke arah mobil Dean yang terparkir rapih di parkiran sementara pria itu hanya mengekor di belakangku.             Di mobil, kami hanya diam, hanyut ke dalam pikiran masing-masing, aku sesekali melirik ke arah Dean yang tetap fokus menyetir. Saat itu Jakarta tidak terlalu macet, jadi kami tidak terlalu lama di jalan. Sesampainya kami di mall, seperti tujuan awal kami, kami langsung beranjak menuju toko perhiasan, see? Lucu bukan? Aku mengantarkan sendiri cinta ku untuk membeli cincin untuk cinta nya.             “Selamat malam Mas Dean, Mbak Aliyah. udah lama ya mas sama mbak gak kesini, apa kabar mas? Mbak?” Ucap salah satu karyawan di sana yang sudah mengenal kami, selama bersahabat dengan Dean, toko ini lah yang menjadi langganan kami jika ingin tukar kado. Terakhir kali kami datang berdua ke tempat ini sekitar satu tahun yang lalu, tepat di mana Vinca, adik Dean berulang tahun. Dan setahuku, di saat aku ulang tahun, Dean datang ke tempat ini sendirian, untuk membelikanku kado.             “Malam mbak, iya nih. Mau beli cincin, untuk tunangan, sepasang ya.” Ucap Dean sembari tersenyum merekah. Ia begitu terlihat bahagia, sangking bahagianya, wajah lelah nya pun tiba-tiba tertutupi dengan senyum yang ia tunjukan. Gue tau ini aneh, tapi gue gak suka kalau Dean senyum bukan karena gue.             “Loh? Mbak Aliya sama Mas Dean mau tunangan? Selamat ya mbak, mas. Sebentar saya ambilkan dulu contoh cincinnya.” Ucap wanita yang umurnya kira-kira setahun lebih muda di bandingkan aku. aku dengan Dean saling bertatapan, agak lama, hingga karyawan tadi datang.             “Nggak Mbak, yang tunangan dia, bukan aku.” Jawab ku sembari tersenyum, tersenyum miris tepatnya. Karyawan tadi seketika terkejut, bagaimana tidak, sesering-seringnya kami kesana pasti mereka mengira bahwa kami berdua berpacaran, dan kini tiba-tiba kami berdua datang untuk mengantar salah satunya membeli cincin untuk orang lain.             “Iya mbak, saya yang mau tunangan. Tapi minta temenin Aliya aja, untuk ukurannya, ukuran Aliya aja, kayaknya jari mereka ukurannya sama.” Jawab Dean, aku lagi-lagi tersenyum. Tersenyum miris tepatnya. Dean memilih cincinnya lalu di pasangkan ke jariku, rasanya sedih campur bahagia, tidak lama setelahnya kami pun selesai. Setelahnya kami mampir dulu sebentar untuk makan ke restaurant sushi kesukaan kami.             “Lo nyengir mulu, kayak orang bego.” Ucap ku sembari menekan tombol lift untuk menuju lantai atas, Dean mengajakku untuk naik eskalator saja, namun menurutku eskalator di mall ini cukup jauh sehingga aku memilih untuk naik lift saja. Masih sambil tersenyum penuh kebahagiaan, Dean menatapku sembari mengacak rambutku gemas. “Gak asyik lo, gak suka gua seneng.” Jawab nya bercanda.             “Dih, daritadi lo nyengir mulu, mana gak berenti-berenti lagi, gua jadi ngeri lo di kira sress sama orang-orang.” Dean kemudian tertawa, menertawakan diri nya sendiri. Pintu lift kemudian terbuka, membawa kami berdua di lantai di mana restaurant sushi kami berada.             Kami duduk manis dan memesan makanan. Lima menit pertama masih hening namun setelahnya kami larut dalam obrolan-obrolan kami, aku jadi senang dan sekaligus sedih, senang karena kami masih bisa mengobrol ngalur ngidul seperti ini, dan sedih juga karena sebentar lagi Dean akan menjadi milik orang seutuhnya dan akan menjadi sangat mustahil untuk kami bertemu dan makan seperti ini lagi.             “Pasti Lulu seneng deh sama cincinnya.” Ucap nya, aku mengangguk sembari menyantap sushi kesukaanku. Mencolek sedikit wasabi agak rasa pedasnya bisa menyamarkan rasa aneh yang aku rasakan karena duduk bersama calon suami orang.             Gak bisa bohong, tapi sushi masih sushi rasanya, walaupun di makan di saat hati sedang patah-patah nya. Aku tetap makan sambil dengerin Dean cerita tentang kenapa dia mau lamar Lulu secepat ini, blabla, aku tidak begitu dengar karena sibuk makan dan hanya sesekali merespon. Dean pasti tahu aku tidak tertarik mendengar ceritanya.             “Gue harap sih, kita bisa segera double date. Kan asik tuh, lo sama cowo lo, gue sama bini gue. Asik manteb, bini gak tuh?” Ucapnya dengan penuh kejayusan. Aku menggeleng, mana mungkin kami bisa double date, sementara aku dan Lulu sedang mencintai satu pria yang sama.             “Kayaknya gua mati rasa. Cinta gua lagi bertepuk sebelah tangan, dan kayaknya mustahil buat gua buat suka lagi sama orang, kayaknya gua gak bakal nikah, gua mau fokus aja cari duit and being rich aunty buat keponakan-keponakan gua, dan nanti gua ngehabisin hari tua gua di swiss.” Jawab ku, Dean nampak kaget mendengar kalimat awal yang keluar dari bibirku, ia buru-buru menelan sushi yang masih penuh di mulutnya lalu segera minum.             “Loh? Emang lo ada gebetan? Kok gua gak tau? Sejak kapan? Kok lo gak pernah cerita sih? Bukannya lo selalu bilang kalau lu gak punya gebetan atau apa gitu semacamnya. Wah parah! Parah lo Al.” Ucapnya dengan heboh, aku tersenyum kecut kemudian menenggak segelas ocha di tangan kanan ku.             “Gua gak bilang gebetan karena gua gak ngebet juga. Dia juga gak tau kalau gua suka sama dia. Udah sejak lama, tapi kan gebetan baru bisa di sebut gebetan kalau salah satunya ada yang nge ‘gebet’ tapi kan ini nggak. Dia juga punya pacar dan gua gak pernah ada usaha buat nyatain perasaan gua sama dia, yaudah.” Jawabku dengan tenang, andai saja Dean tahu bahwa orang yang aku ceritakan kepadanya adalah dirinya sendiri, aku yakin dia pasti bakal kaget setengah mati mendengarnya.             “Yah… sayang banget, gua kenal sama orangnya?” Tanya Dean, dan aku mengangguk.             “Menurut lo… gua harus bilang sama dia atau gak usah?” Tanya ku.             “Iya, lo harus bilang. Gak sopan sih karena dia punya pacar, but at least… dia tau kalau lo suka sama dia, jadi gak apa-apa. kalau dia sama pacarnya udah dewasa, sih harusnya gapapa, pasti mereka ngerti. Tapi cowo nya siapa sih? Laki-laki beruntung mana yang bisa dapatin hati nya seorang Aliyah Erzitta? Gua jadi penasaran sendiri.” Jawab Dean, aku tersenyum, kemudian mengangguk.             “Iya, nanti juga lo tau sendiri.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN