Pulang

1069 Kata
            Malamnya, aku pulang ke rumah, tidak ke apartement. Entahlah, rasanya aneh ketika harus pulang ke apartement dan tidur sendirian. Apartement udah kayak tempat yang paling ngingetin sesuatu tentang Dean, setiap inci dari apartement tempatku tinggal malah mengingatkanku tentang Dean. Jalan ke dapur, di hari minggu kami biasanya masak bersama di sana, sambil nonton ulang harrypotter atau gak teenwolf di ruang tamu. Rasanya pengen buang semua kenangan kayak gitu, sebelum Dean benar-benar jadi punya orang.             “Lo takut ngerepotin gua ya?” Tanya Dean. Aku menggeleng. “Ya gak apa-apa, masa gua mau pulang ke rumah nyokap aja gak boleh.” Jawab ku. Seperti yang aku ceritakan sebelumnya bahwa aku dengan Dean itu sejak SMP bertetangga, rumah kami begitu dekat, jalan kaki saja sudah sampai. Makanya, pas tadi aku menolak untuk di antar ke apartement, dia mengira aku takut merepotkannya karena jarak antara rumah dan apartement cukup jauh, apalagi sampai harus bolak-balik.             “Iya juga sih. Lagian lo udah lama banget gak balik. Orang sana udah ngira lu lenyap di makan rayap.” Ucap Dean receh, aku tersenyum geli. Kemudian mata ku terfokus pada ponsel Dean yang menyala, kelap-kelip karena ia sengaja memasang mode silent di ponselnya.             “Telfon tuh.” Tegur ku. Dean dengan cepat mengambil ponselnya kemudian tersenyum, aku tahu yang menelepon adalah Lulu.             “Iya sayang. Ini aku lagi sama Aliya. Iya, baru balik.”           “Udah tadi makan sushi, kamu udah? Hmm bagus kalau gitu.”           “Iya pulang langsung tidur kok. Yaudah, bye love you.”             Begitulah kira-kira percakapan Dean dan calon istrinya barusan, bagaimana? Lucu bukan? Aku masih seperti orang bodoh, duduk di atas mobil calon suami orang dan dalam hati masih berharap dengan jahatnya bahwa, pernikahan Lulu dan Dean batal. Entahlah karena apa.             “Jadi penasaran, kenapa lo beli cincinnya mepet waktu banget. kalau cincinnya gak pas gimana?” Tanya ku. Hari pertunangannya tersisa 2 hari lagi, dan ia baru membeli cincinnya malam ini. Sebagai sahabat yang baik, tetap saja aku merasa takut jika nanti cincinnya tidak pas di jari calon istrinya itu.             “Pas lah, masa nggak. Kan jarinya sama kayak punya lo.” Jawabnya. Aku mengangguk, bersamaan dengan itu kami melewati gerbang perumahan tempat kami menghabiskan masa kecil kami. Sepenggal kenangan tentang ku dan Dean tiba-tiba terasa bertaburan di saat aku melewati beberapa spot-spot di perumahan itu, taman kecil, kolam ikan, dan mini market andalan kami, tempat kami selalu mampir setiap pulang sekolah dulu. Aku menarik napas panjang, ketika Dean membelokan mobilnya ke blok rumah kami, di sana, dari kejauhan aku sudah dapat melihat tenda yang terpasang rapih. Dan kini aku sekarang benar-benar sadar, bahwa Dean, sebentar lagi akan menikah.             Bukan Alya Erzitta namanya kalau tidak bisa menyembunyikan rasa sedih di hatinya, aku bisa tersenyum menatap Dean, seolah-olah aku senang atas pertunangannya yang tinggal menghitung hari. aku tersenyum penuh kehangatan di depannya, padahal berminggu-minggu setelah aku menerima undangan lamaran dari Dean, aku tetap saja bertingkah bodoh, membayangkan nama ku yang tertulis di undangan itu, membayangkan namaku yang bersanding dengan nama Dean di sana. Tapi khayalan tetaplah sebuah khayalan, tidak akan berubah.             Aku turun dari mobil Dean sembari melambaikan tangan, kaki ku terasa lemas hanya untuk sekedar melangkah masuk ke dalam rumahku sendiri. Aku tidak tahu, bagaimana reaksi orang-orang di rumah kalau aku tiba-tiba pulang, tapi tidak apa lah. Toh aku juga sudah lama tidak pulang. Aku memasuki rumah, sembari mengucapkan salam, benar saja, mama ku langsung meloncat ke pada ku, memeluku dengan erat, aku sangat sibuk, sangking sibuknya aku jarang bertemu dengan mama.             “Mama seneng banget kamu mampir, ya ampun. Aliyaa.” Ucap mama ku yang masih memakai mukenah kesayangannya. Aku jadi curiga ia tidak sempat berdoa sehabis sholat gara-gara mendengar suara ku.             “Loh mbak Al, kok tumben gak minta di jemput?” Adik ku Aletta menegur, ia baru saja turun dari tangga dan menghampiriku bersama mama. aku mengangkat kedua alis dan tersenyum.             “Nebeng sama Dean tadi, kebetulan gua nemenin dia beli cincin buat tunangannya, yaudah, karena kangen mama, ikut aja.” Ucapku dengan penuh kebohongan, rindu mama dari mananya, orang aku takut kesepian aja di apart.             “Oh iya, ngomongin Mas Dean, ada seragam tuh, buat mbak Al. liat dulu, cobain, kalau kekecilan besok kita bawa ke tukang jahit.” Ucap Aletta.             Gosh, here we go again, sakit makin sakit, pulang ke rumah nyari ketenangan, bukannya tenang malah di bikin galau. Aku mengangguk dan mengekor di belangan adik ku. Di susul oleh mama untuk masuk ke kamarnya, aku di perlihatkan dengan sebuah gaun berwarna merah maroon yang aku yakin, gaun itu adalah pilihan Dean sendiri, belum ku coba aku yakin, sudah pas dengan badan ku. Aku menarik napas kemudian memegang gaun itu sebentar lalu mengambil nya.             “Gak usah di cobain, udah pas kok. Ini pasti Dean atau mama nya yang beliin.” Ucap ku, aku kemudian pamit untuk tidur karena kelelahan, tapi mama bersikukuh untuk meminta ku makan sebentar. Aku melihat papa yang baru saja datang, menenteng  bungkusan sate di tangannya. Ia terkejut melihat anak keduanya tiba-tiba muncul di rumah setelah sekian abad menghilang dari peradaban. Papa terlihat begitu senang hingga ia menyimpan sate nya di sembarang tempat. Pria paruh baya itu berlari, memelukku dengan erat.             “Papa kangen banget sama Aliyaa.” Ucap nya, aku bisa merasakan sedikit ketenangan setelah mendengar suara papa. Aku tersenyum dan balas memeluknya, aku yang tadi sudah mengantuk tiba-tiba tidak jadi mengantuk, mungkin sekarang aku hanya butuh orang banyak, untuk menutupi kesedihanku.             Malam itu aku habiskan bersama dengan keluargaku, saling bertukar cerita satu sama lain, dan tentu saja di akhiri dengan pertanyaan. Kamu kapan nikah? Dean aja udah mau nikah. Andai aja mereka tahu kalau anak yang mereka minta untuk menikah itu mencintai calon suami orang mungkin pertanyaan itu tidak akan keluar dari bibir mereka.             “Nikah itu bukan tentang perlombaan pa, ma, nikah itu pekerjaan seumur hidup, harus hidup sama orang lain, punya anak, ngebesarin anak, ngedidik anak, dan masih banyak lagi. Gak perlu buru-buru. mending terlambat menikah daripada gagal dalam menikah.” Ucap ku, orang tua ku mengangguk, memaklumi, karena mereka mengira bahwa aku masih ingin fokus menyeleksi laki-laki yang datang kepadaku, dan sekaligus fokus dalam berkarir. Setelah cukup lama mengobrol dengan mereka, aku izin, pamit untuk tidur.             Di kamar aku langsung menjatuhkan tubuh ku di atas kasur, ku cek ponsel ku dan aku mendapati ucapan selamat tidur dari Dean. Sahabatku itu… bagaimana mungkin aku bisa move on dengan tenang kalau dia saja selalu memperlakukanku dengan spesial?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN