Gagal menikah bukan aib atau sebuah dosa, jadi Ayara tidak perlu merasa malu. Setelah ia pikirkan dengan kepala dingin, ternyata tuhan begitu sayang kepada dirinya sehingga membebaskan dirinya dari laki-laki seperti Adno.
Kota Jakarta menjadi saksi bagaimana Ayara berjuang untuk mengumpulkan pundi-pundi uang. Tinggal di ibu kota tidak semudah yang dipikirkan. Biaya hidup sangat mahal sehingga kerasnya hidup sangat terasa. Meskipun begitu, ia bisa bertahan selama bertahun-tahun. Kota ini juga menjadi saksi bagaimana cinta Ayara dikhianati dengan begitu keji. Setiap perjuangan yang telah ia lakukan berakhir tragis, tidak ada yang tersisa lagi. Ayara sempat membenci kota ini karena memberikan luka yang cukup dalam. Jika dipikir-pikir kembali, alasan Ayara tinggal dan bekerja di Jakarta adalah karena Adno. Ia rela meninggalkan ibu dan adiknya agar bisa mengumpulkan uang lebih cepat. Orang bilang gaji di ibu kota sangat besar tapi semua berbanding lurus dengan biaya hidup.
Patah hati membuat hidup Ayara jadi berantakan, ia bahkan mengurung diri berhari-hari di dalam kamar. Patah hati ternyata tidak sesederhana itu. Ayara kira ia tidak akan galau dalam waktu lama, tapi nyatanya sudah 1 bulan berlalu awan hitam masih menyinari hidup Ayara. Semua harapan yang sudah ia bangun sirna dalam hitungan detik. Tidak hanya sampai disitu, beberapa kebutuhan untuk pernikahan bahkan sudah dibeli. Mungkin Ayara bisa menghadapi keluarga besar di kota asalnya, tapi tidak dengan ibunya. Gunjingan tetangga dan keluarga besar bahkan lebih dahsyat dari patah hati yang Ayara rasakan.
Ayara sudah berhenti dari pekerjaan karena rasa galau yang tidak terkendali. Hal ini memang tidak bisa dibenarkan sama sekali. Tapi mau bagaimana lagi karena Ayara tidak bisa menahan diri untuk tidak galau. Jika ia tahu akhirnya akan seperti ini maka Ayara tidak akan memulai. Akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan Jakarta dan kembali ke kota asalnya. Ayara sangat merasa bersalah kepada sang ibu sehingga saat sampai di rumah ia langsung meminta maaf.
Ibu Ayara tidak mengatakan apa-apa, ia hanya langsung memeluk tubuh sang anak dengan begitu erat. Apa yang Ayara lalui bukan hal mudah, sejak tahu apa yang dilalui sang anak, Ibu langsung menyuruh Ayara untuk segera pulang ke rumah. Ibu sangat takut Ayara melakukan tindakan yang tidak-tidak karena patah hati.
Sekarang, sudah 4 bulan Ayara menjadi pengangguran. Ia belum ada niat untuk mencari pekerjaan. Berbekal tabungan yang ia kumpulkan selama di Jakarta, Ayara bisa menganggur selama 1 tahun. Tapi jika ia tidak memiliki kesibukan, maka otaknya akan mengingat Adno. Ternyata move on tidak mudah, sekarang saja Ayara masih mengingat tentang Adno.
"Ck ck, anak perawan baru bangun jam segini." Ayara belum sepenuhnya membuka mata, rambutnya juga sangat berantakan. Tapi Adik sang ibu sudah duduk manis di meja makan sambil memakan es krim Ayara. Namanya Dina dan Ayara memanggil dengan sebutan Tante Dina.
"Tadi malam aku tidur jam 3 pagi,” balas Ayara memberi alasan. Ia juga ikut gabung bersama Tante Dina duduk di meja makan. Jarak umur mereka tidak terlalu jauh, hanya 4 tahun saja. Tante Dina sudah menikah 2 tahun yang lalu tetapi belum memiliki anak. Dia dokter UGD di rumah sakit milik pemerintah.
"Cari kerja sana!" Tante Dina adalah orang yang selalu menyuruh Ayara untuk mencari pekerjaan.
"Sekarang aku nggak mau kerja dulu." Ayara masih ingin menikmati waktu bersantai. Saat bekerja di Jakarta ia harus mengorbankan waktu-waktu istirahat.
Tante Dina menghela nafas panjang. "Aku tahu kamu masih patah hati, tapi kamu juga nggak bisa selamanya seperti ini. Kalau laki-laki itu tahu hidupmu berantakan, bagaimana?"
"Aku udah move on ya Tan!" Ayara selalu mengatakan jika dia sudah move on, tapi itu semua hanya bualan semata.
"Kalau udah move on pasti hidup kamu nggak akan kayak gini, ayolah Ayara jangan berlarut-larut dalam kesedihan."
"Kenapa sih Tante sibuk banget nyuruh aku kerja?" Ayara jadi kesal sendiri. Ia juga tidak meminta uang kepada orang lain, jadi masalahnya apa. Ibu nya saja tidak mempermasalahkan hal tersebut.
"Tante Onil selalu merepet, dia bilang kamu sebagai anak yang nggak tahu diri karena malah asik-asik di rumah sementara Ibu dan Adam kerja di minimarket."
Tante Onil adalah orang yang selalu sibuk dengan kehidupan orang lain. Ia juga sering membangga-banggakan sang anak yang bekerja di Jakarta dan memiliki gaji dua digit. Jika dia tahu bagaimana tingkah asli sang anak selama di Jakarta maka Ayara yakin dia tidak akan berani membuka mulut lagi.
Ibu memang memiliki minimarket yang menjual barang harian, minimarket itu adalah peninggalan ayah sehingga dilanjutkan oleh Ibu. Meskipun tidak terlalu besar, tetapi sudah bisa memenuhi kebutuhan mereka sejak dulu. Adam merupakan adik Ayara, dia selalu membantu sang Ibu untuk mengurus minimarket. Adam masih remaja, dia baru saja lulus SMA dan akan kuliah tahun ini.
"Emang keluarga aku ada minta uang sama dia?" Ayara jadi emosi. Tante Onil adalah adik tiri sang ibu. Rumah mereka berada di kompleks yang sama jadi selalu saja menggosip yang tidak-tidak tentang keluarga Ayara.
"Nggak ada, tapi dia nggak akan diam sampai kamu dapat pekerjaan Ayara."
Nanti ketika Ayara dapat pekerjaan, pasti ada lagi bahan gosip yang muncul. Pokoknya semua yang Ayara lakukan selalu salah. Akhirnya Ayara setuju untuk mencari pekerjaan, meskipun tidak akan mudah. Zaman sekarang sangat sulit mencari pekerjaan, tapi Ayara akan berusaha.
Ayara dan Tante Dina kembali menikmati es krim dengan santai. Mereka sudah seperti teman satu tongkrongan saja. Jangan heran jika Ayara sangat dekat dengan tante Dina.
"Ayara...,”Tante Dina memasang wajah yang menghadirkan kecurigaan. "Hm," balas Ayara.
"Di rumah sakit banyak banget dokter ganteng yang baru masuk, mau tante kenalin nggak?"
"Enggak!"
"Ayolah Ayara, mereka juga juniornya Om Imran." Imran adalah suami Tante Dina, dia juga berprofesi sebagai seorang dokter. Apa memang dokter jodohnya juga seorang dokter? Entahlah, Ayara tidak ingin terlalu pusing memikirkannya.
"Aku nggak mau!" Ayara tetap menolak.
Tante Dina menyipitkan mata, ia menatap Ayara dengan sangat serius. "Jangan bilang kalau kamu nggak ada niat buat nikah selamanya?"
"Bisa jadi," jawab Ayara santai.
Mata Tante Dina melotot, inilah yang ia takutkan. Efek patah hati karena dikhianati menjelang pernikahan membuat rasa percaya kepada laki-laki berkurang secara signifikan. Akhirnya hidup sendiri menjadi pilihan agar tidak merasakan patah hati lagi. Padahal tidak semua laki-laki sama, diluaran sana masih ada orang yang bisa menghargai perempuan dengan baik.
"Tidak semua laki-laki seperti dia Aya." Tante Dina harus menyadarkan sang ponaan. Bisa-bisa Ayara memang berniat untuk hidup sendiri sampai tua nanti.
"Aku tahu, tapi semua laki-laki memiliki peluang seperti dia."
"Jangan sampai Ibu tahu kalau kamu nggak ada niat buat nikah, bisa-bisa dia sakit karena terlalu banyak pikiran."
Ibu mana yang bisa bersikap tenang jika anaknya tidak mau menikah? Begitupun dengan Ibu Ayara. Sebelum ia pergi dari dunia ini, sang anak harus menemukan pasangan agar tidak merasa kesepian nantinya.
"Iya, Tante nggak usah khawatir." Ayara juga tidak ingin sang ibu khawatir atas hidupnya.
"Coba saja secara perlahan-lahan. Tante tahu kalau luka kamu belum sembuh. Tapi jika tetap seperti ini, kapan kamu akan hidup dengan baik?"
"Cara move on bukan mencari yang baru Tante. Baru juga beberapa bulan, aku yakin seiring berjalannya waktu luka ini akan mengering." Ayara langsung beranjak dari meja makan, ia terlalu malas membahas tentang pernikahan dan laki-laki.
Sejak patah hati, Ayara tidak memikirkan soal laki-laki dan pernikahan. Baginya pernikahan adalah nomor yang paling kesekian, untuk sekarang Ayara ingin menatap hidup kembali dan berfokus untuk membahagiakan Ibu dan Adam.
Tante Dina sudah menawarkan banyak laki-laki, semua memang keren dan good looking. Apalagi profesi dokter menjadi nilai plus. Tapi semua itu tidak berarti apa-apa bagi Ayara. Ia tidak suka dengan laki-laki mapan dan juga good looking karena takut endingnya akan seperti Adno.