Hanin memasuki gerbang bercat putih yang tinggi menjulang itu dengan langkah enggan. Dia benar-benar merasa gugup. Jantungnya kini berdetak lebih cepat. Bahkan udara di sini terasa tidak cocok untuknya. Sang mama sudah jauh berjalan di depan sana, tetapi langkah hanin masih tersendat-sendat. Dia menatap rumah bergaya khas eropa itu dengan seksama. Berandanya ditopang oleh pilar-pilar yang berukuran besar. Hampir seluruh sisi bangunan dipenuhi jendela kaca. Pekarangan rumahnya ditumbuhi oleh rumput Jepang yang terawat. Minimalis dan elegan, itulah kata yang tepat untuk menggambarkan suasana rumah om Wisnu.
“Ayo Nin... buruan!” hardik sang mama yang terkejut melihat Hanin masih jauh di belakang sana.
“I-iya, Ma.” Hanin segera berlari menyusul mamanya.
Di depan sana om Wisnu sudah menanti mereka berdua dengan senyum sumringah. Dia segera memeluk sang istri sembari mengecup pipinya penuh kasih. Setelah itu tatapannya pun beralih pada Hanin. Om Wisnu tersenyum ramah, Hanin pun segera bersalaman dengan ayah sambungnya itu.
“Ayo mari masuk... kalian pasti lelah di perjalanan,” ucap om Wisnu.
“I-iya Om,” jawab Hanin ragu-ragu.
Suasana di dalam rumah pun terasa nyaman. Tidak terlalu banyak furnitur, tidak ada hiasan dinding yang heboh, semua sederhana dan tertata dengan apik. Hanin pun duduk di sofa dengan malu-malu. Sementara sang mama dan om Wisnu masih asyik bercengkerama di depan pintu sambil melihat beberapa pekerja yang sibuk menurunkan barang-barang milik Hanin dan mamanya.
Tatapan Hanin tertuju pada figura yang berisikan potret Nadine dan papanya. Seketika Hanin menelan ludah. Matanya menatap liar ke segala penjuru mencari keberadaan gadis itu. Dia benar-benar takut sekiranya Nadine tiba-tiba muncul dan menatap dengan mata elangnya.
“Kamu nyariin Nadine, ya?” tegur om Wisnu.
Hanin terkejut dan hanya tersenyum.
“Dia lagi keluar sama teman-temannya, Nanti dia bakalan pulang, kok,” ujar om Wisnu lagi.
Hanin menelan ludah. Seketika lututnya menjadi bergetar. Pandangannya kembali menyapu keadaan sekeliling rumah itu. “Jadi aku akan tinggal di sini bersama anak itu?” tanya Hanin dalam hatinya.
Hanin pun duduk tenang di tempatnya. Lama kelamaan matanya mulai terasa mengantuk. Dia menguap lebar dan hal itu pun dilihat oleh sang mama.
“Sebaiknya kamu istirahat sebentar, Mama mau membereskan barang-barang ini dulu,” ujar sang mama.
Hanin hanya mengangguk.
“Kalau ngantuk, sebaiknya istirahat di kamar saja,” timpal om Wisnu.
“K-kamar?” Hanin menatap heran.
“Iya kamar yang di sana!” tunjuk om Wisnu.
“B-baik, Om.”
Hanin segera menuju pintu yang ditunjuk oleh om Wisnu. Saat ini dia memang ingin merebahkan tubuhnya sejenak. Badannya terasa pegal dan penat setelah perjalanan yang panjang. Hanin memutar knop pintu itu perlahan. Sebelum masuk, dia menjulurkan wajahnya terlebih dahulu untuk melihat keadaan. Kosong. Tidak ada siapa-siapa di kamar itu. Dia pun tersenyum lega dan segera masuk ke dalam kamar itu.
Hanin meletakkan ranselnya di atas meja, kemudian duduk di tepi ranjang yang empuk. Kamar ini masih kosong melompong. Hanya ada sebuah ranjang berukuran cukup besar, sebuah meja, dan sebuah lemari pakaian. Hanin pun merebahkan tubuhnya dengan kedua kaki yang masih menyentuh lantai. Dia memicingkan mata sejenak sambil tersenyum.
“Seenggaknya aku bisa bernapas lega di sini,” ucapnya lirih.
“Maksud kamu?”
Deg.
Hanin terkejut mendengar ada suara yang menyahut ucapannya. Matanya yang tadi terpejam kini terbelalak kaget. Tubuhnya reflek segera bangun dari tempat tidur itu. Hanin pun menjadi salah tingkah dan tidak berani menatap Nadine yang tiba-tiba saja sudah berdiri di sana.
“M-maaf... aku cuma istirahat sebentar aja,” ucap Hanin.
“Emang aku nanya?” tukas Nadine dengan tatapan sinis.
“M-maafkan aku,” ucap Hanin lagi.
“Apaan sih... nggak jelas banget! Emang ini udah lebaran apa? minta maaf terus?” tanya Nadine.
Hanin menggigit bibirnya sendiri dan tidak berani lagi bersuara. Sementara Nadine sibuk mengeringkan rambutnya menggunakan handuk. Tetesan air masih menetes dari tubuhnya. Setelah itu dia sibuk memilih pakaian dan berdandan tanpa memedulikan Hanin yang sudah lama berdiri mematung dan tidak beranjak sejengkal pun dari sana.
“Bukannya om Wisnu bilang dia sedang pergi bermain dengan teman-temannya?” tanya Hanin dalam hatinya.
Tatapan Hanin beralih pada pintu kamar mandi yang ada di dalam kamar itu. Sepertinya tadi Nadine berada di dalam sana. Nadine pun beralih emndekati jendela dan mengambil sepatunya yang tergeletak di aats bingkai jendela itu. Hanin pun melongo dan mulai bertanya-tanya.
“Apa dia masuk melalui jendela?”
Kenapa, ha? kamu mau ngadu kalau aku masuk lewat jendela?” tanya Nadine tanpa menatapnya.
Deg. Hanin tercengang, Apa Nadine bisa membaca pikirannya?
“Aku nggak bisa membaca pikiran kamu... hanya saja semua yang kamu pikirkan tergurat jelas di raut wajahmu itu,” ucap Nadine ketus.
Hanin mengangkat wajahnya perlahan dan memberanikan diri untuk bersuara “N-Nad....”
PRAKK
Ucapan Hanin terhenti saat Nadine memukul meja dengan cukup keras. Dia mengemasi peralatan make up-nya dan segera keluar dari kamar itu. Hanin pun menghela napas panjang. Kedua lututnya masih menggigil. Dia benar-benar membenci situasi ini. Segala sikap yang ditunjukkan Nadine sudah jelas menunjukkan bahwa gadis itu tidak menyukai kehadirannya.
Hanin kembali duduk, namun pintu kamar kembali terbuka. Gadis itu kembali merasa was-was dan bangun dari duduknya.
“Ayo kita makan dulu sayang.” ternyata itu adalah sang mama.
Hanin melepaskan aliran napasnya yang tadi tertahan. “I-iya, Ma.”
Hanin pun keluar dari kamar dengan langkah pelan. Om Wisnu dan Nadine sudah duduk di meja makan. Sang mama pun kini sibuk menyajikan makanan. Om Wisnu tampak sumringah, sementara Nadine memasang wajah masam. Hanin pun masih berdiri canggung dan ragu untuk ikut bergabung dengan mereka.
“Ayo buruan duduk Hanin. Kita makan bareng-bereng ya,” ucap om Wisnu.
“I-iya Om. Hanin pun duduk dengan mata tertuju pada Nadine yang sibuk dengan ponselnya.
Setelah semua makanan tersaji di meja, sang mama pun ikut duduk di meja makan. dia mengambilkan sang suami sepiring nasi putih beserta lauk pauknya. Pemandangan itu membuat Nadine manatap sinis. Hanin pun menyadari tatapan sinis yang kini tertuju pada mamanya itu.
“Ayo dicoba Nadine... Tante nggak tahu apa ini sesuai sama selera kamu atau tidak.” ucap mama Hanin.
Nadine tidak merespon sama sekali. Dia hanya menyuap nasi putih yang ada di piringnya,
“Emmm... masakan kamu enak sekali,” puji om Wisnu.
Dentingan suara sendok Nadine terdengar lebih keras saat papanya melontarkan pujian itu. Sang papa pun menatap putrinya itu lekat-lekat dan berkata dengan lembut.
“Ayo dicoba dulu sayang... Papa yakin kamu pasti suka,” bujuk sang papa.
“Nggak usah,” jawab Nadine ketus.
Hanin beralih menatap sang mama. Ada raut kecewa tergurat di wajahnya. Sejenak mama Hanin menjadi salah tingkah dan terlihat bingung, tapi kemudian dia kembali tersenyum dan mengambilkan Nadine lauk pauk yang sudah dimasaknya.
“Kamu coba ya Nadine... semoga aja kamu suka.” Mama Hanin meletakkan lauk itu di piring Nadine.
“Jangan Ma...! Mama nggak perlu ngelakuin itu,” pekik Hanin dalam hatinya.
Nadine menjadi semakin gusar karena sang mama sambung terus saja menambahkan berbagai jenis makanan ke piringnya. Ketika mama Hanin menyendokkan untuk yang kesekian kali, Nadine pun menepis sendok itu hingga sendok itu terpelanting di lantai.
“Nadine...!” bentak sang ayah.
“S-sudah Mas... nggak apa-apa, kok.” mama Hanin segera membersihkan makanan yang tercecer di lantai.
Sang ayah menatap Nadine dengan sorot tajam, namun Nadine memasang wajah cuek dan bangun dari duduknya.
“N-Nadine... kamu mau ke mana?” tanya sang papa.
“M-makan dulu Nad,” sela mama Hanin.
“Aku nggak laper... dan malam ini aku nginep di rumahnya Ditta.” Nadine berucap santai dan segera melangkah pergi dari sana.
Sikapnya itu pun membuat suasana menjadi canggung. Mama Hanin terlihat murung. Om Wisnu tampak berusaha menahan amarahnya. Sementara, Hanin menatap kepergian gadis itu dengan rasa kesal yang juga mulai menggerogoti hatinya.
_