Hanin menatap nanar pada sang mama yang kini tersenyum bahagia di kursi pelaminan. Segenap perasaannya kini campur aduk. Gelisah dan bahagia kini berpadu jadi satu. Hanin bahagia karena sang mama sudah menemukan sosok yang akan menjaganya dan juga melindunginya. Memang sudah cukup rasanya sang mama bergelut dengan kesendirian dan sepinya hidup. Hanin sama sekali tidak keberatan dengan keputusan mamanya untuk menikah lagi. Memang sudah sepatutnya. Memang sudah sewajarnya. Karena memang jauh di lubuk jatinya, Hanin memang ingin melihat sang mama bahagia.
“Hei... kamu kenapa bengong, Nin?” seorang gadis berbadan gembul mencolek pinggang Hanin dengan jari telunjuknya.
“Eh, kamu Ratna... aku nggak apa-apa, kok.” Hanin memaksakan bibirnya untuk tersenyum.
Ratna menatap Hanin dengan mata segaris. “Hmm... kamu khawatir, ya?”
Hanin tersenyum pelan.
“Semuanya akan baik-baik aja, Nin... om Wisnu itu orang yang baik, aku yakin Mama kamu akan bahagia,” ucap Ratna.
Hanin mendesah pelan. “Om Wisnu memang orang baik, sangat baik malah, tetapi—”
“Putrinya itu, ya?” Ratna langsung menebak.
Hanin mengangguk lemah. “Aku cemas dia nggak bisa menerima kehadiran Mama aku dalam kehidupan dia.”
Ratna menatap sendu. Dia bisa mengerti akan kegelisahan Hanin. “Tapi kamu tetep di sini kan, Nin?”
Hanin mengangguk. “Iya... aku tetep di sini sama Bude.”
Raut wajah Hanin langsung berubah sedih. Bibirnya mulai berkedut menahan tangis. Itulah salah satu alasan yang membuat Hanin gundah. Dia akan berpisah dengan sang mama. Meskipun menampakkan bahwa dia baik-baik saja. Tetap saja, Hanin menyembunyikan perasaan sedihnya.
“Kamu yakin bisa pisah sama Mama kamu?” Ratna kembali bersuara.
“A-aku yakin kok.”
“Kenapa nggak ikut aja pindah sama Mama kamu ke Jakarta?”
Hanin hanya tersenyum. Sekelebat bayangan tentang sosok Nadine kini mulai memenuhi ingatannya. Dari awal perkenalan dengan sosok gadis itu, Nadine tidak segan-segan menunjukkan ketidaksukaannya pada mama Hanin. Awalnya dia bahkan menentang keras pernikahan papanya. Hanin bahkan masih inget dengan jelas saat Nadine datang kerumahnya dan melabrak sang mama. Gadis itu benar-benar mengerikan. Hanin bergidik ngeri membayangkan hal itu. Dia tidak mau tinggal bersama Nadine, tapi di satu sisi Hanin juga mengkhawatirkan mamanya.
Perhatian Hanin kini tertuju pada Om Wisnu yang sedang menyanyikan sebuah lagu di atas panggung. Semua tamu undangan bersorak riuh. Beberapa di antara mereka langsung menarik mamanya Hanin dan memaksanya untuk naik juga ke atas panggung. Pemandangan itu tentu saja sukses membuat semua orang semakin heboh. Gemuruh tepuk tangan dan suara siulan terdengar bersahutan.
Hanin tersenyum haru menyaksikan pemandangan itu. Dia sudah tidak ingat lagi kapan terakhir kali melihat raut wajah sang mama sebahagia itu. Ada aliran hangat yang terasa memenuhi rongga dadanya. Hanin benar-benar bersyukur melihat kebahagiaan sang mama. Tanpa dia sadari setetes bening pun mengalir pelan, Hanin lekas menghapusnya dengan seulas senyum yang masih membentang di wajahnya. Namun begitu mengalihkan pandangannya pada sisi yang lain, Hanin terkejut. Ternyata sosok Nadine sedang menatapnya tajam.
Nadine menatap Hanin dengan jemari mengepal kuat. Sedetik kemudian dia beralih menatap kemesraan papanya dengan sang mama sambung. Lama kelamaan bola matanya mulai memerah. Bersamaan dengan itu air matanya juga menitik. Namun bedanya itu bukanlah air mata kebahagiaan. Itu adalah air mata penuh kebencian yang saat ini mulai disusupi rasa dendam.
_
Siang tadi Om Wisnu dan Nadine sudah duluan berangkat ke Jakarta karena ada keperluan mendesak terkait pekerjaan Om Wisnu di kantornya. Jadi malam ini Hanin hanya berdua bersama sang mama. Menurut rencana, sang mama akan menyusul dua hari lagi karena ada sesuatu juga yang akan diurus sebelum berangkat.
“Ayo makan dulu sayang.” Malam ini sang mama memasakkan nasi goreng spesial kesukaan Hanin.
“Wah ... Mama masak nasi goreng?” Hanin meneguk ludah
“Ayo kita makan!” ajak sang mama.
Hanin pun langsung menyantap makanan kesukaannya itu dengan lahap. Sementara sang mama memerhatikan putrinya itu lekat-lekat. Lama kelamaan sorot matanya berubah sayu.
“Nin....” panggil sang mama.
“Apa, Ma?”
“Kamu ikut aja ya... pindah bersama Mama ke Jakarta!”
Deg.
“H-Hanin ikutan pindah ke Jakarta?” sendok yang sedang mengayun ke arah mulut gadis itu berhenti. “Tapi kita kan, udah sepakat Ma, kalau Hanin tetap tinggal di sini aja?”
“Iya sayang. Tapi setelah Mama pikir-pikir... Mama nggak mungkin ninggalin kamu sendirian di sini,” jawab sang mama.
Hanin menaikkan kacamatanya yang melorot, lalu menatap mamanya lekat-lekat. “Hanin baik-baik aja kok, Ma... lagian kan, di sebelah juga ada Bude sama Tante Ayu.”
Sang mama terdiam sejenak. Sepertinya dia juga kesulitan untuk berbicara. Keadaan pun sejenak menjadi hening. Hanin pun juga tidak lagi bersuara dan hanya tertunduk dengan selera makannya yang mendadak sirna.
“Pokoknya lebih baik kamu ikut sama Mama.” sang
“T-tapi Ma—”
“Hanin... kehidupan baru ini bukan cuma untuk Mama aja, tapi juga buat kamu. Mana mungkin Mama meninggalkan kamu sendirian di sini. Nanti kalau kamu sakit bagaimana? Terus kalau nanti ada apa-apa gimana?” sang mama menyela pembicaraan.
Hanin terdiam, lalu menatap mamanya dengan mata sayu. “Hanin ngerti, Ma. Maafin Hanin.”
Sang mama tersenyum lembut, lalu memeluk putri semata wayangnya itu dengan penuh kasih. “Mama paham apa yang kamu khawatirkan. Mama mengerti bagaimana perasaan kamu saat ini. Semua pasti akan baik-baik saja.”
Hanin menghela napas. “Ya... semoga semuanya baik-baik aja,” ucapnya lirih.
Sang mama melepas pelukannya, kemudian mengalihkan pandangannya menatap langit-langit yang temaram. Lama kelamaan kedua matanya mulai berkaca-kaca. Setetes bening pun menitik seiring dengan jemari Hanin yang terangkat menyeka bulir-bulir air mata itu.
“Mama kenapa nangis?” tanya Hanin.
“Maafin mama sayang... mama cuma merasa bersalah sama kamu dan....” sang mama kesulitan meneruskan kata-katanya.
Hanin tersenyum, lalu menggenggam tangan mamanya erat. “Ma... Om Wisnu itu orang yang baik. Aku bahkan langsung ngerasain hal itu sejak pertama kali ketemu sama beliau. Hanin yakin Mama pasti bakalan bahagia.”
“Apa kamu juga ngerasa bahagia dengan pernikahan Mama?”
Hanin tersentak. Sudut bibirnya perlahan kendor, tapi kemudian dia menarik bibirnya untuk kembali tersenyum. Wajah sang mama mulai terlihat buram karena genangan air matanya. Hanin tersenyum dengan mata yang kini menangis. Ada cemas yang tidak bisa diutarakannya. Ada rasa takut yang mulai menyelinap di hatinya. Ada gelisah yang kini mulai mengganggunya. Namun, gadis itu berusaha tegar dan kembali menampakkan bahwa dia baik-baik saja.
“T-tentu saja! Hanin juga bakalan bahagia.” Jawabnya kemudian.
Sang mama tersenyum lega. “Ya sudah, sebaiknya sekarang kamu beristirahat.”
“Hmm... iya Ma, Hanin ke kamar dulu ya.”
Hanin melangkah masuk ke kamarnya dengan senyum yang masih melengkung. Namun begitu pintu itu tertutup, senyum di wajahnya lenyap seketika. Hanin menyandarkan punggungnya di balik pintu itu dengan mata memicing dan d**a yang terasa sesak.
“Apa yang harus aku lakukan sekarang?” bisiknya lirih.
_
Bersambung