Malam semakin larut, tapi Inez sama sekali tidak bisa tertidur. Malam ini Inez tidur 1 kamar dengan Nesya, dan Reno tidur di kamar yang terpisah dengan Nesya. Reno tidak tidur di kamar Arsa, tapi tidur di kamar tamu yang berada tepat di samping kamar yang saat ini Inez dan Nesya tempati.
Reno tahu apa alasan Arsa melarangnya tidur 1 kamar dengan pria itu, karena itulah Reno sama sekali tidak keberatan tidur sendiri di kamar tamu.
Inez melirik Nesya yang tertidur dengan begitu pulas. Inez lantas menyibak selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, lalu menuruni tempat tidur secara perlahan.
Inez membuka pintu kamar secara perlahan, begitu pun saat menutupnya. Inez tidak mau pergerakannya membangunkan Nesya, karena jika Nesya terbangun, maka ia tidak akan bisa pergi ke kamar Arsa.
Sunyi, dan sepi, itulah yang Inez rasakan begitu ia sudah berada di luar kamar.
Sebagian ruangan gelap gulita, tapi lampu di setiap penjuru rumah menyala meskipun tampak remang-remang. Pencahayaan di luar rumah sangat terang benderang karena ada banyak sekali lampu yang menyala.
Inez melangkah menuju kamar Arsa yang berada tepat di depan kamar milik Nesya. Begitu sampai di depan kamar Arsa, Inez membuka pintunya secara perlahan, menghela nafas lega saat tahu kalau Arsa tidak mengunci pintu kamarnya.
Inez membuka pintu kamar secara perlahan, dan saat itulah ia melihat kamar Arsa dalam keadaan temaram mengingat hanya 1 lampu di nakas yang menyala, sedangkan lampu lainnya dalam keadaan mati.
Arsa memang lebih suka tidur dengan pencahayaan lampu yang minim, lain halnya dengan Nesya yang lebih suka terang ketimbang gelap.
Inez menutup pintu kamar secara perlahan, lalu melangkah mendekati tempat tidur Arsa dengan langkah sepelan mungkin. Inez berdiri tepat di depan Arsa yang memang tertidur dengan posisi menyamping, menghadap ke arah jendela.
Inez menempelkan telapak tangannya di kening Arsa, untuk kesekian kalinya bernafas lega saat tahu kalau Arsa sudah tidak lagi demam tinggi seperti sebelumnya.
Tadi sore, demam Arsa sempat tinggi. Inez sudah merayu Arsa agar Arsa mau di bawa ke rumah sakit, tapi Arsa menolak. Arsa mengatakan pada Inez kalau ia mau di bawa ke rumah sakit jika sampai besok demamnya tidak turun. Tapi jika besok demamnya turun, maka Arsa tidak perlu ke rumah sakit.
Inez hanya ingin memeriksa kondisi Arsa, karena itulah setelah ia memastikan kalau Arsa baik-baik saja, maka ia akan kembali ke kamar untuk tidur. Mungkin sekarang ia bisa tertidur dengan pulas mengingat perasaannya sudah tidak lagi gelisah, ataupun cemas, karena terus mengkhawatirkan Arsa.
"Inez."
Inez baru saja berbalik saat ia mendengar suara lirih Arsa yang memanggilnya. Inez menoleh, menghela nafas panjang saat melihat Arsa terbangun. "Maaf, aku tidak bermaksud mengganggu tidur kamu. Aku hanya ingin memeriksa kondisi kamu, karena aku takut kalau kamu demam tinggi lagi."
Jika tahu kalau Arsa akan terbangun, Inez pasti tidak akan datang untuk memeriksa kondisi Arsa.
Arsa merubah posisinya menjadi terlentang, lalu menekan tombol agar beberapa lampu yang lainnya menyala. Setelah lampu menyala, suasana kamar menjadi lebih terang. Arsa melirik jam yang terpasang di dinding kamarnya, sebelum akhirnya menatap Inez.
"Duduk sini." Arsa bergeser, lalu menepuk tempat tidur di sampingnya, meminta agar Inez duduk di sana.
"Enggak mau, aku mau kembali kamar." Inez menolak secara halus. "Sebaiknya kamu tidur lagi, ini masih larut malam." Inez berbalik, lalu melangkah pergi dari hadapan Arsa.
Arsa mencekal pergelengan tangan Inez, membuat langkah Inez otomatis terhenti.
Inez menarik dalam nafasnya, lalu berbalik menghadap Arsa. "Apa?" tanyanya pelan, tapi tegas.
"Duduk dulu, sebentar saja," pinta Arsa memelas.
"Baiklah, tapi hanya sebentar."
Arsa mengangguk, lalu menarik Inez agar Inez duduk di sampingnya.
"Kamu belum tidur?"
"Belum, makanya aku mau kembali ke kamar, ngantuk banget." Inez akan berdiri, tapi Arsa menahan pergerakan Inez, membuat Inez tidak bisa berdiri.
Arsa meraih tengkuk Inez, membuat wajah mereka kini salinh berhadap-hadapan.
"Ar, kamu mau apa?" Inez bertanya lirih, dan Inez mulai merasa gugup. Tatapan intens yang Arsa berikanlah yang membuatnya gugup.
"Mau cium kamu." Arsa menyeringai, seringai yang sangat Inez tidak sukai.
"Jangan, kamu lagi sakit." Jikapun Arsa tidak sedang sakit, ia pasti akan menolak.
"Tapi aku mau, siapa tahu aku langsung sembuh setelah di cium sama kamu." Senyum di wajah Arsa semakin lebar.
"Aku enggak ma–" Inez tidak sempat melanjutkan ucapannya, karena bibirnya sudah terlebih dahulu di bungkam oleh bibir Arsa.
Awalnya Arsa hanya menempelkan bibirnya, tapi begitu tidak mendapatkan penolakan dari Inez, Arsa lantas menggerakan bibirnya, melumat bibir ranum Inez dengan pelan.
Inez terlalu terkejut dengan apa yang Arsa lakukan, karena itulah Inez hanya diam. Saat Arsa mulai melumat bibirnya, saat itulah kesadaran Inez kembali. Inez mendorong bahu Arsa, mencoba menghindari ciuman Arsa, tapi Arsa menahan tengkuknya dengan tangan kanan, dan juga memeluk posesif pinggangnya dengan tangan kiri, jadi Inez tidak bisa bergerak dengan leluasa.
Arsa mengunci pergerakan Inez, membuat Inez tidak bisa menghindari ciuman Arsa.
Keesokan paginya.
Saat Nesya terbangun dari tidurnya, Nesya tidak melihat Inez di sampingnya.
Nesya terbangun karena sang suami membangunkannya. Nesya bertanya pada Reno, di mana Inez berada?
Reno mengatakan pada Nesya kalau Inez sudah bangun sejak 1 jam yang lalu, dan saat ini ada di ruang keluarga bersama dengan Arsa.
Nesya bergegas mandi karena ia ingin sarapan bersama dengan Arsa, juga Inez. Nesya tidak mau melewatkan kesempatan tersebut.
Kesempatan untuk sarapan bersama dengan Arsa dan Inez sangatlah langka, mengingat sekarang ia sudah tidak tinggal 1 rumah lagi dengan Arsa, dan terkadang Arsa dan Inez sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, karena itulah ia tidak akan menyia-nyiakannya.
Tak butuh waktu lama bagi Nesya untuk mandi, hanya butuh waktu tak lebih dari 15 menit.
Saat ini, Reno dan Nesya sudah berada dalam lift yang sedang bergerak turun menuju lantai 1. Penampilan Reno dan Nesya sudah rapih, karena keduanya sudah mandi.
Begitu lift terbuka, Reno dan Nesya bergegas keluar lift.
Nesya mengedarkan pandangannya ke segala penjuru rumah, mencari di mana Abang serta Inez berada.
Nesya melanjutkan langkahnya, begitu pun dengan Reno yang dengan setia menuntun sang istri.
Saat ini Nesya sedang hamil besar, jadi sebisa mungkin Reno selalu mendampingi Nesya, karena Reno tidak mau terjadi sesuatu yang buruk pada istrinya tersebut.
"Sayang, jalannya pelan-pelan saja. Tidak usah terburu-buru, bahaya tahu." Reno memberi nasehat dengan lembut.
Nesya mematuhi nasehat yang sang suami berikan, karena itulah ia menormalkan langkahnya menjadi lebih santai.
Saat memasuki ruang keluarga, Nesya melihat Arsa dan juga Inez yang sedang minum teh.
"Abang sudah sembuh?"
Arsa menoleh, lalu memberi sang adik senyuman manis sebelum akhirnya kembali menatap Inez, memberi perempuan tersebut tatapan intens. "Obatnya sangat ampuh, jadi Abang sembuh lebih cepat dari seharusnya."
Inez yang sedang meminum teh dengan elegan hampir saja tersedak begitu mendengar jawaban yang Arsa berikan pada Nesya. Inez sadar kalau Arsa sedang menatapnya, karena itulah ia seketika merasa gugup, sekaligus salah tingkah. Inez tidak mau kalau Arsa menyadari kegugupannya, karena itulah ia mencoba untuk terlihat biasa saja, seolah ucapan Arsa barusan tidak berarti apa-apa baginya.
"Baguslah kalau begitu." Nesya duduk di samping Inez, sedangkan Reno duduk di samping Arsa. Reno dan Nesya saling berhadapan, begitu pun dengan Arsa dan inez.
"Selamat pagi semuanya!"
Semua orang kecuali Inez menoleh pada asal suara.
Arsa, Reno, dan juga Nesya terkejut begitu mendengar sapaan dari Erlina. Erlina adalah adik Inez, usia keduanya hanya terpaut 3 tahun.
Inez sudah tahu, pasti adiknya akan datang untuk menjenguk Arsa. Pasti saat semalam ia tidak pulang, Ibu dan juga adiknya bertanya pada sang Ayah, ke mana dirinya pergi? Karena memang ia selalu memberi tahu atau meminta ijin pada Ayahnya, tanpa memberi tahu atau meminta ijin pada Ibunya. Ayahnya pasti memberi tahu keduanya kalau ia menginap di rumah Arsa karena Arsa yang sedang sakit.
"Ar, gue berangkat kerja dulu ya." Tanpa menunggu tanggapan dari Arsa, Inez pamit pada Reno juga Nesya, setelah itu pergi meninggalkan ruang keluarga.
Nesya sempat mencegah kepergian Inez, dan mengajak Inez untuk sarapan terlebih dahulu. Tapi Inez menolak halus ajakan Nesya, dan begitu Inez menolak ajakannya, Nesya memilih untuk tidak memaksa, karena ia tahu apa alasan Inez ingin cepat-cepat pergi.
"Padahal aku belum menanggapi ucapannya, tapi dia udah pergi aja." Arsa menggerutu, dan gerutuan tersebut hanya bisa di dengar oleh dirinya sendiri, karena ia memang tidak mau orang di sekitarnya mendengar apa yang baru saja ia ucapkan, terutama Erlina.
Nesya memang dekat dengan Inez, tapi itu bukan berarti kalau Nesya juga dekat dengan adik Inez, Erlina.
Nesya memang sangat akrab dengan Inez, menganggap Inez sebagai Kakak perempuannya, tapi Nesya sama sekali tidak akrab dengan Erlina. Nesya tidak menyukai Erlina, bahkan mungkin bisa di katakan kalau Nesya membenci Erlina.
Jika Inez tidak ada, terkadang Erlina suka menjelekkan Inez. Itulah salah satu di antara banyaknya alasan kenapa Nesya sangat tidak menyukai Erlina. Padahal Inez tidak pernah membicarakan keburukan Erlina di hadapan mereka, karena Inez memang sangat jarang sekali membahas tentang keluarganya.
Erlina menyapa Arsa, Reno, dan Nesya secara bergantian, dan tanpa tahu malu, Erlina duduk di samping Arsa.
Erlina mulai menanyakan bagaimana kondisi Arsa? Sudah membaik atau belum? Lalu menanyakan apa Arsa sudah sarapan atau belum?
Arsa menjawab semua pertanyaan Erlina dengan santai, lain halnya dengan Nesya yang merasa kesal atas banyaknya pertanyaan yang Erlina ajukan pada sang Abang.
Nesya sudah sering sekali memperhatikan Erlina, tanpa perempuan tersebut sadari. Terlebih ketika Erlina berbicara dan berada di dekat Abangnya. Saat melihat gelagat Erlina jika sedang berada di dekat Arsa, Nesya jadi berpikir kalau Erlina menyukai Abangnya. Nesya semakin yakin kalau Erlina memang menyukai Arsa, karena hanya pada Arsalah Erlina bersikap manis, dan caper berlebihan.
"Er, kamu enggak ke kantor?" Nesya ingin agar Erlina pergi dari hadapannya, ia sudah muak saat melihat Erlina yang caper di hadapan Abangnya.
Erlina melirik jam yang membingkai pergelangan tangannya, lalu mengangguk. "Aku ke kantor kok."
"Sebaiknya kamu berangkat ke kantor sekarang, daripada kamu terlambat ke kantor." Nesya masih berbicara dengan santai.
"Iya sih, kalau aku datang terlambat ke kantor, pasti aku akan di marahi sama Ayah," gumam Erlina yang bisa di dengar jelas oleh Arsa, Reno, juga Nesya.
Inez dan Erlina jelas sangat berbeda. Jika Erlina bekerja di perusahaan Ayahnya sebagai manager pemasaran, maka lain halnya dengan Inez yang memilih untuk tidak bekerja di kantor sang Ayah. Inez memilih untuk membuka butik juga restoran.
Begitu Erlina pergi, Nesya bernafas lega. Nesya beranjak dari duduknya, lalu pergi menuju ruang makan.
Reno mengikuti langkah sang istri, memilih untuk tidak banyak berbicara saat ia sadar kalau mood sang istri memburuk.
Nesya merasa sedih karena pagi ini tidak bisa sarapan bersama dengan Inez. Jika saja Erlina tidak datang, pasti Inez tidak akan pergi.
Sekarang Nesya jadi tahu apa asalan Inez sudah bangun sejak pagi-pagi sekali dan sudah terlihat sangat rapih. Pasti inez tahu kalau Erlina akan datang.
Arsa menyusul Reno dan Nesya ke ruang makan, karena ia memang hatus makan terlebih dahulu sebelum minum obat.
15 menit adalah waktu yang Inez butuhkan untuk sampai di restoran miliknya.
Inez memang memutuskan untuk mampir terlebih dahulu ke restoran miliknya, sebelum nanti ia pergi ke butik. Inez akan memeriksa restoran tersebut mengingat sudah hampir 2 bulan ia tidak datang berkunjung ke restoran tersebut.
Inez baru saja memasuki ruang kerjanya saat ia mendengar ponselnya berdering. Inez meraih ponselnya, menghela nafas panjang saat melihat siapa orang yangmenghubunginya.
Inez menarik nafasnya dalam-dalam, kemudian menghembuskannya secara perlahan. Setelah merasa kalau perasaannya menjadi lebih baik, Inez lantas mengangkat panggilan dari Ashila, Ibunya.
"Halo, Bu."
"Kamu di mana?"
"Inez di restoran, Bu. Kenapa?"
"Nanti malam acara ulang tahun perusahaan Ayah, kamu tahukan apa artinya?"
"Iya Bu, Inez tahu. Itu artinya Inez harus datang."
"Ayah meminta kamu untuk datang, meskipun sebenarnya Ibu enggak mau kamu datang." Ashila mengatakan kalimat tersebut dengan santai, seolah tak peduli kalau mungkin saja ucapannya akan menyakiti sekaligus melukai hati sang putri, Inez.
Ini bukan kali pertama Inez mendengarkan kalimat menyakitkan seperti itu dari Ibunya. Dulu saat usianya masih belia, ia sering kali mendapatkan ucapan yang menyakiti hati juga melukai perasaannya, tapi seriring dengan berjalannya waktu, dan semakin sering ia mendengarnya, ia jadi semakin terbiasa. Sekarang ia sudah tidak lagi merasakan sakit di hatinya ketika mendengar ucapan tersebut, ia belum mati rasa, karena ia masih merasakan sakit, tapi rasa sakit yang ia rasakan sekarang tidak seperti dulu.
"Dan Ibu tahukan kalau Inez akan tetap datang meskipun Ibu dan Erlina tidak suka dengan kehadiran Inez." Inez mengatakannya dengan santai. Bukan hanya Ashila yang tidak menyukai kehadirannya, tapi Erlina sang adik, juga tidak menyukai kehadirannya.
"Iya Ibu tahu. Ya sudah, Ibu mau pergi ke salon dulu." Tanpa menunggu tanggapan dari Inez, Ashila mematikan sambungan teleponnya.
Inez menghempasnya tubuhnya di sofa dengan punggung yang kini bersandar dan wajah terdongak, menatap nanar langit ruang kerjanya.
"Ayah, kenapa kasih sayang Ibu pada Inez berbeda? Kenapa Ibu tidak menyayangi Inez seperti Ibu menyayangi Erlina?" lirih Inez sendu. Inez ingin sekali mengajukan pertanyaan tersebut pada Ayahnya, tapi saat ia bersama sang Ayah, ia tak pernah mampu untuk mengatakan pertanyaan tersebut. Inez takut, takut melukai perasaan Ayahnya.
Beberapa tahun yang lalu, Inez pernah melakukan tes DNA secara diam-diam. Hasil tes DNA tersebut menyatakan kalau ia adalah anak kandung dari kedua orang tuanya, Narenda dan Ashila. Tapi kenapa perlakuan Ibunya berbeda padanya? Selama ini, hanya Ayahnya yang menyayanginya dengan sepenuh hati.
Ibunya akan bersikap baik padanya jika hanya ada sang Ayah. Jika Ayahnya tidak ada, sedang pergi bekerja atau pergi dinas ke luar kota, maka Inez akan di perlakukan secara tidak adil. Oleh sebab itulah, jika Ayahnya tidak ada di rumah, Inez akan memilih untuk tidur di apartemennya, akan kembali pulang ke rumah jika sang Ayah ada.
Inez akan mewajarkan sikap tidak adil Ashila padanya jika ia memang bukan anak kandung kedua orang tuanya, atau ia bukan anak kandung perempuan yang ia panggil dengan sebutan Ibu tersebut. Tapi setelah ia melakukan tes DNA, hasil dari tes tersebut mengatakan kalau ia adalah anak kandung kedua orang tuanya. Tapi mengapa? Mengapa Ashila tidak menyayanginya seperti perempuan itu menyanyangi Erlina? Kenapa ia di perlakukan berbeda dengan Erlina? Kenapa Ashila tidak bisa adil padanya dan lebih menyayangi Erlina ketimbang dirinya? Padahal ia adalah anak kandungnya juga.
Inez memijat pelipisnya yang tiba-tiba terasa pusing. Inez bertanya-tanya, kapan, kapan teka-teki ini akan terjawab? Kapan ia akan tahu apa penyebab Ashila berlaku tidak adil padanya? 1 minggu? 1 bulan? Atau mungkin 1 tahun lagi ia harus menunggu, menunggu semua pertanyaan yang ada dalam benaknya terjawab.