27. Genggaman Tangan

2419 Kata
Tubuh Ify gemetar hebat hanya karena melihat banyaknya pohon mawar di kanan dan kiri yang ada di sisi jalan menuju rumah Rio. Gadis itu tidak bisa melangkah lebih jauh lagi. Ify hanya bisa sampai di depan gerbang saja. Sekuat-kuatnya Ify mencoba untuk mengabaikan pohon-pohon mawar itu, tetap saja Ify tidak bisa. Tubuhnya terus saja menolak dan lama-lama Ify merasa kepalanya pusing serta dadanya sesak. "Lo mau gue tuntun ke dalamnya?" Via mencoba memberi tawaran untuk membantu Ify agar sahabat baiknya itu bisa sampai ke rumah Rio. Kepala Ify menggeleng berulang kali. Dia bahkan sedikit sulit untuk menggerakkan bibirnya. Yang Ify bisa, hanyalah memukul-mukul dadanya sembari menggelengkan kepalanya tanpa henti. Via jelas merasa kasihan melihat kondisi sahabat baiknya yang pastinya tidak baik-baik saja. Dipeluknya tubuh Ify oleh Via, berharap kalau dengan begini maka bisa membuat Ify jauh lebih tenang. "Syut... Tenang, Fy. Ada gue di sini, lo nggak sendirian." katanya pelan di samping telinga Ify. Raga menampilkan ekspresi kaget dan bingungnya saat melihat Ify tiba-tiba trauma. Lelaki itu pura-pura tidak tahu dan ikut-ikutan bersimpati. Padahal kenyataannya, Raga sudah tahu akan kebenarannya. Keringat dingin membasahi tubuh Ify, tangannya masih gemetar hebat. Ketiga remaja itu pun belum ada yang jadi masuk ke dalam gerbang. Apalagi Via, dia tidak mungkin meninggalkan Ify sendirian di depan gerbang rumahnya Rio. "Via, gue ke dalam dulu ya. Gue mau bilang ke Rio kalau ada kalian di sini." Raga meminta izin terlebih dulu pada Via agar kedua temannya itu tidak mencarinya. Anggukan kepala menjadi jawaban dari Via untuk Raga. Via memang sengaja hanya memakai bahasa tubuh, karena dia sedang tidak ingin mengeluarkan suara saat Ify sedang seperti ini. Ish, kenapa juga sih rumahnya Rio tuh harus gabung sama ladang mawar seluas kebun binatang gini? Apa nggak bisa, dia bikin rumah di tempat yang wajar-wajar aja? Gerutu hati kecil Via ketika dia tahu Ify sangat ketakutan. "Mih-num, Vi...." Lirih sekali Ify meminta minum pada temannya, sampai Via harus melihat ke arah bibir Ify agar bisa tahu apa yang Ify minta. "Apa, Fy? Lo barusan ngomong apa?" tanyanya lagi karena Via tidak bisa mendengar jelas tentang apa yang dikatakan Ify barusan. Pelan sekali, Ify kembali mengulangi kata minum sambil menatap ke arah Via. Setelah memastikan apa yang diminta Ify, Via segera mengangguk dan dia berniat menyusul Raga ke dalam sana. Kebetulan, tadi Via ataupun Ify tidak ada hang membawa air minum. Jadi, mau tak mau maka Via harus memintanya pada Raga. "Biar gue mintain ke Raga bentar ya?" "Lo nggak apa-apa 'kan, kalau gue tinggal di sini sendirian?" Meski pelan, tapi Ify mampu menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Tanpa berlama-lama, Via langsung masuk ke dalam gerbang dan berjalan mencari-cari di mana letak rumah milik Rio berada. Sementara di rumah, Raga sedang berdebat kecil dengan Axel. Kedua lelaki beda usia itu memperdebatkan tentang Raga yang ingin membangunkan Rio dari tidurnya. Sedangkan Axel tidak setuju kalau waktu Rio diganggu, apa pun alasannya. Sehingga hal itu, membuat Raga dan Axel adu mulut. Bunyi acara pintu dibuka akhirnya menghentikan perdebatan Raga dan Axel. Mereka berdua langsung diam, tanpa ada yang membuka suara. Tatapan keduanya pun fokus ke arah Rio yang tampak kurang sehat. "Ah, Rio? Kamu kenapa keluar? Lebih baik kamu kembali istirahat lagi." titah Axel sambil tersenyum aneh. "Jangan masuk lagi! Kamu harus ketemu sama seseorang hari ini." cepat-cepat Raga menghentikan Rio sebelum teman dekatnya itu kembali masuk kamar dan mengunci pintunya. Kening Rio mengerut, dia merasa heran sekaligus aneh usai mendengar apa yang baru saja Raga katakan. Padahal seingat Rio, dia tidak memiliki kenalan lain selain semua orang yang tinggal di rumah dan perkebunannya. "Ketemu sama seseorang? Siapa?" Rio mulai penasaran. "Jangan dengarkan Raga! Dia hanya ingin mengerjaimu saja. Lebih baik kamu istirahat lagi di kamar dan jangan keluar sampai kondisimu membaik." lagi-lagi Axel menyela dan tidak setuju kalau waktu istirahat Rio diganggu hanya karena orang yang tidak penting. Raga berhasil melepaskan cengkeraman tangan Axel di pinggangnya. Kini, Raga berjalan mendekati Rio dan membisikkan satu nama yang harus Rio temui. Raga juga mengatakan bagaimana kondisi Ify di luar sana saat melihat mawar ketika akan masuk ke area perkebunan. "Aku sudah berusaha membawanya ke sini. Jadi, aki harap kamu juga ikut berpartisipasi dalam melakukan misi ini." pinta Raga dengan penuh harap pada Rio, agar malaikat yang sedang dihukum itu juga mau bergerak bersamanya. "Ada apa? Apa yang kalian bicarakan tanpa aku? Kenapa kalian main rahasia-rahasiaan dariku?" Axel tampak penasaran dan ingin tahu karena dia tidak bisa mendengar apa yang sedang dibicarakan oleh Raga dan Rio. "Aku akan keluar." kata Rio tanpa menanggapi pertanyaan Axel yang terlihat begitu penasaran. Tak selang lama, ketika mereka menunggu Rio mengganti baju di dalam kamar, Raga mendengar ada suara ketukan dari luar. Samar-samar, Raga mendengar itu suara Via yang memanggil-manggil namanya. Axel, yang pada aslinya memang tidak tahu kalau hari ini rumah Rio kedatangan tamu, dia hanya bisa memandang ke arah Raga dengan tatapan penuh kecurigaan. Raga, yang ditatap seperti itu oleh Axel, bukannya menjelaskan tapi dia malah berjalan ke depan dan membukakan pintu untuk Via. "Kenapa, Vi?" tanyanya saat pintu baru terbuka. "Gue boleh minta air putih? Ify minta minum." katanya pada Raga, meski sedikit ragu karena bagaimanapun juga ini pertama kalinya dia singgah ke rumah Rio. Raga membawa Via ke dalam dan bertemu Rio yang ternyata sudah membawa segelas penuh air putih. Di sini, hanya Axel yang melihat mereka penuh rasa penasaran tapi tidak ada yang mau menjelaskan. "Kamu mending tunggu di sini saja. Biar aku yang ke luar jemput Ify." Mulanya, Via ingin ikut. Tapi Raga memintanya agar tetap menunggu di sini dan mempercayakan semuanya kepada Rio. Mau tak mau, Via akhirnya mau dan membiarkan Rio mengatasi Ify seorang diri. Sekuat mungkin Rio menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya karena pemanenan bunga mawar belum selesai. Tetapi, Rio juga harus berusaha untuk menjalankan perannya sebagai Rio. Meski tubuhnya sedang sakit semua, Rio akan mencoba membuat rasa trauma Ify kali ini jadi berkurang. Sampai juga akhirnya Rio di depan gerbang menuju rumahnya. Tepat di sisi jalan, ada seorang gadis berseragam sekolah yang sedang memeluk kedua lututnya. Badannya gemetar hebat dan Ify terlihat sangat ketakutan. "Dia yang udah bunuh Mama! Dia jahat! Dia pembunuh!" jari kecil seorang gadis yang masih berusia lima tahun itu tidak berhenti menunjuk-nunjuk tangkai mawar merah yang akan dipakai untuk acara pemakaman Kalina. Mr. Stuart padahal sudah memesan banyak sekali mawar merah, bunga kesukaannya dan juga Kalina. Bunga itu kelas premium yang khusus dia pesan untuk taburan makam istrinya nanti. Tetapi yang terjadi malah, putri bungsunya histeris ketakutan saat melihat bunga mawar tersebut. Bahkan, Ify meminta agar mawar-mawar itu disingkirkan dari seluruh penjuru rumah. Alhasil, Mr. Stuart pun tidak akan bisa memakai bunga mawar pesanannya sebagai taburan dan hiasan di tempat peristirahatan terakhir istri tercintanya. "Fy, ada Papa di sini. Jangan nangis lagi ya! Papa bakal minta mereka buat membuang semua bunga-bunga itu." Dengan sayang, Mr. Stuart memeluk gadis kecilnya yang masih menangis histeris tanpa henti. Melihat Ify begitu ketakutan dan mengalami tantrum karena mawar, jadi Mr. Stuart pun tidak bisa mengabaikan apa yang keluar dari bibir Ify. "Aku takut, Pa. Bunga itu jahat, mereka yang udah bunuh Mama." katanya seraya menangis dalam pelukan Mr. Stuart. Didekapnya erat tubuh mungil Ify oleh Mr. Stuart agar putrinya bisa cepat tenang. Dan usaha Mr. Stuart membuahkan hasil. Tak lama kemudian, Ify tertidur dalam pelukan papanya. Wajah cantik gadis kecil yang sedang kehilangan itu tampak begitu polos. Benar-benar wajah yang bersih dan tanpa dosa. Dari kejauhan, Rio menyaksikan apa yang terjadi barusan. Dia mendatangi kediaman Mr. Stuart untuk turut mendoakan Kalina agar mendiang wanita itu bisa diberikan tempat terbaik oleh Tuhan. Tentu saja, Rio masih dalam bentuk malaikat yang tidak bisa dilihat. Jadi, Rio tidak perlu takut kalau-kalau ada yang mencurigainya. Rio menghela napas saat melihat bahu Ify masih bergetar hebat. Apa yang dia lihat siang ini tidak berbeda jauh dengan apa yang dia saksikan tiga belas tahun lalu di kediaman Mr. Stuart saat meninggalnya Kalina. Ify masih histeris dan ketakutan karena melihat bunga mawar. Perlahan-lahan Rio mendekati Ify. Dia berjongkok di depan gadis itu sambil menyodorkan segelas air putih. Rio juga memberikan senyuman manisnya pada gadis yang tumbuh dengan baik meski hatinya dipenuhi rasa sakit. Rio hanya berharap, kalau sedikit senyumannya bisa membuat kondisi Ify jauh lebih baik. "Ini, diminum dulu!" katanya sambil memberikan gelas air putih di tangannya tadi, karena Ify belum menerima gelas yang dia bawa. Bola mata Ify melihat sayu ke arah Rio. Entah apa yang sedang Ify pikirkan sekarang, tapi dia merasa seolah-olah bahwa Rio bagaikan malaikat yang datang membawa aura positif untuknya. "Nggak perlu sungkan, aku tulus kok bantuin kamu." Rio masih berusaha membujuk karena Ify tetap bergeming. "Obat." kata Ify tanpa suara. Kening Rio mengerut, kedua alisnya kini menyatu. Dia berusaha mencerna apa yang tadi dikatakan oleh Ify. Dan barusan, Ify kembali mengatakan kata yang sama. Tak lama, Rio paham atas apa yang dikatakan Ify. Setelah mendapat izin dari Ify, Rio langsung menggeledah tas gadis itu lalu mencari obat yang dimaksud oleh Ify. Rio sempat kaget ketika melihat apa saja isi dalam tas Ify. Tidak banyak barang memang, tapi isinya cukup untuk membuat Rio bergidik ngeri. Barang pertama yang Rio temukan adalah pisau lipat. Tak hanya itu saja, di sana juga ada pepper spray, kotak berisi kelereng, tali tambang, baton stick, dua buku, kotak pensil dan satu benda yang menurut Rio haram untuk dia absen. Sebenarnya, dia mau sekolah apa mau tawuran? Tanya Rio dalam hati yang merasa heran dengan isi tas Ify. "Di mana obatnya?" tanya Rio karena dia tidak menemukan kotak obat yang Ify maksudkan. Ify masih tidak menjawab tapi tatapannya tidak lepas dari arah tas ranselnya. Rio juga tidak tahu, tapi dia berusaha mencarinya lagi. Rio membuka setiap resleting tas dari depan dan samping. Pada akhirnya, Rio menemukan kotak obat yang Ify maksud di bagian samping. Rio segera memberikan kotak obat itu pada pemiliknya. Cepat-cepat Ify meminum obatnya, dibantu oleh Rio. Sedangkan Rio, dia tak henti-hentinya merasa bersalah pada Ify ketika melihat gadis di depannya ini begitu menderita. Bahkan, Ify harus menanggung trauma sampai usianya sudah delapan belas tahun. "Udah mendingan?" tanyanya lirih pada Ify yang sepetinya sudah tidak segemetar tadi. Kepala Ify mengangguk seraya menatap ke arah Rio yang masih tersenyum padanya. Dilihatnya oleh Ify, sekarang Rio berdiri dan mengulurkan tangan kekarnya pada Ify. "Ayo, aku bantu." katanya masih menawarkan diri. Tanpa Rio duga, ternyata Ify menolak tawarannya. Gadis itu berusaha bangun sendiri meski lututnya sedikit bergoyang-goyang karena lamanya dia dalam posisi jongkok. "Kamu bisa jalan sendiri?" Rio kembali memastikan karena dia juga takut kalau-kalau Ify tiba-tiba jatuh. "Gue bisa." jawabnya pelan. Jika ingin melihat Ify yang berbeda, lihatlah saat trauma gadis itu kambuh. Maka, aura menyebalkan dan mengerikan yang dia miliki, sirna dalam sekali terjangan angin. Walaupun jawaban Ify barusan masih dingin, tapi tidak menyeramkan seperti biasanya. "Oke." Rio mengangguk percaya pada Ify. Kaki Rio kembali melangkah, dia berjalan di depan Ify karena dia ingin memandu Ify untuk berjalan memasuki area perkebunan mawar menuju rumahnya. "Eum, Ri-," Ify langsung menghentikan gerak bibirnya yang sudah hampir memanggil lelaki di depannya. Meski samar-samar, tapi Rio bisa mendengarnya dengan jelas. Ditambah lagi, di sana tidak ada suara bising dari kendaraan berlalu lalang yang mengganggu. Rio langsung menolehkan kepalanya menatap Ify. "Ya? Kenapa?" Wajah Ify tak bisa berbohong kalau sekarang ini dia begitu takut. Hanya saja, lidahnya terlalu kelu untuk memberi tahu Rio tentang apa yang dia rasakan. Akhirnya, Ify hanya menggelengkan kepala. Begitu pula dengan Rio yang kembali fokus ke depan. Ify menggigit bibir bawahnya, dia sedang dilanda dilema. Sebenarnya, Ify takut untuk melewati perkebunan mawar di dalam. Tetapi Ify juga tidak bisa hanya berdiri di depan gerbang sendirian. "Rio!" Ify kembali memanggil Rio untuk kedua kalinya, bahkan kali ini Ify sambil menarik kardigan rajut yang membalut tubuh Rio. Pandangan Rio jatuh pada kedua jari Ify yang menarik kardigan rajutnya. Rio terkekeh pelan melihat apa yang dilakukan Ify. Dalam hati, sebenarnya Rio tahu kalau Ify pasti ketakutan buat jalan ke dalam. Tanpa permisi, tangan kanan Rio yang tidak dia pakai untuk memegangi gelas, sekarang dia gunakan buat menggenggam kelima jemari Ify. Lembut nan kekar, itu kesan pertama yang Ify rasakan ketika tangan kirinya digenggam Rio. Lebih anehnya lagi, Ify tidak bisa marah, protes, ataupun menolaknya. Gadis itu membiarkan Rio melakukan hal yang belum pernah dilakukan oleh lelaki lain padanya. Jangankan lelaki lain, Via saja sangat jarang menggenggam tangan Ify, meski mereka sahabat dekat. "Anggap saja aku sebagai tongkat ajaibmu kali ini. Kamu bisa memejamkan mata selama kamu melewati perkebunan mawar. Kalau kita sudah sampai rumah, aku akan memberi tahumu." kata Rio lembut juga ramah. Tanpa sadar, Ify menganggukkan kepalanya. Dia perlahan melangkahkan kakinya ke depan dan membiarkan Rio menuntunnya. Kedua mata Ify sudah terpejam semua. Gadis itu terus mengikuti ke mana arahan yang Rio berikan. Sebelum Rio mengatakan kalau mereka sudah tiba di rumah, Ify juga tidak berani membuka matanya. "Awas, ada tangga." kata Rio memperingatkan. "Oke, naik perlahan-lahan!" tak henti-hentinya Rio memberi aba-aba untuk Ify. "Satu anak tangga lagi. Oke, kita sudah berhasil melewati tangga. Sebentar lagi, kita sampai di rumah." Ify masih diam dan melakukan apa yang Rio katakan. Gadis berwajah dingin itu pun bahkan tidak bertanya apa-apa lagi selain mengikuti ke mana Rio membawanya. Suara pintu dibuka terdengar oleh Ify. Rio juga mengatakan kalau mereka sudah sampai di dalam rumah. Rasa lega menghampiri perasaan Ify kali ini. Perlahan-lahan, gadis itu membuka kelopak matanya dan dia tidak lagi melihat ada bunga mawar di sekelilingnya. Ify bahkan tidak percaya kalau dia bisa melewati perkebunan mawar. "Via pasti nunggu di dalam bersama Raga." kata Rio membuyarkan lamunan Ify. Saat masih fokus ke arah Rio, tiba-tiba Ify dibikin kaget oleh gerakan tangan lelaki di depannya itu yang melepas genggamannya. Kini, mereka sudah tidak menggenggam tangan satu sama lain. Dan entah kenapa, ada rasa tidak rela di hati Ify ketika tangannya dilepaskan begitu saja oleh Rio. "Kamu bisa menyusul mereka di dalam." kata Rio seraya menunjuk ke mana arah yang harus Ify ambil untuk menyusul Raga dan Via. "Rio!" untuk yang ke sekian kalinya, Ify kembali memanggil Rio sampai membuat lelaki itu tidak jadi membalikkan badannya. "Ada yang bisa aku bantu lagi?" dengan sabar, Rio menghadapi Ify yang sedang tidak baik-baik saja. "Apa sebelumnya, kita sudah pernah ketemu?" meski ragu, tapi Ify akhirnya bisa menanyakan rasa penasaran yang menghantuinya selama beberapa minggu ini. "Ya, sudah pernah." jawab Rio cepat seraya menganggukkan kepalanya. Jawaban Rio membuat jantung Ify berdegup lebih cepat dari tadi. Mungkinkah memang ini jawaban yang Ify inginkan? Ify sendiri tidak tahu. Ify tidak berhenti memandang wajah Rio yang juga membalas tatapannya. Mereka kini saling pandang, tanpa ada yang bersuara lagi. Rio sibuk pada pikirannya, begitu pula dengan Ify.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN