Arshaka: bab 8

1742 Kata
Aku menyusul Chintya ke cafe dan tak lama di sana setelah kembali dari toilet, aku melihat lelaki yang sedang berbicara dengan perempuan itu. Rupanya, dia adalah atasan yang dibilang Chintya. Sosok lelaki yang tinggi, tampan dan sepertinya... menatap Chintya dengan tatapan memuja? Aku kembali ke meja setelah lelaki itu pergi. Dulu, aku pernah menatap Meisya dengan pandangan seperti itu. Aku tahu persis bagaimana pandangan seorang lelaki yang tertarik kepada lawan jenis. Entah kenapa, aku rasanya tak suka saja melihat bagaimana lelaki itu menatap Chintya. "Nggak seru live musiknya," decakku ketika sudah sekitar setengah jam-an berada di sana, tak lagi membicarakan soal atasannya Chintya itu. Aku beralih pada hal lain. "Lo selalu keluar rumah kalau malam minggu?" Tiba-tiba aku penasaran saja dengan aktivitas Chintya di kala weekend. Apa saja yang dilakukannya? Pasalnya, dia masih sering menghubungiku, namun aku tak pernah bertanya balik padanya. "Enggak selalu juga. Kadang drakoran di rumah atau baca n****+. Umm... kalau Kak Shaka, emang selalu sesibuk itu, bahkan saat weekend?" "Enggak juga." "Tapi semalas itu—enggak niat ngajak aku jalan walau sekali-kali doang?" Pertanyaan Chintya seolah tengah menyindirku. "Gue lebih senang di apartemen istirahat kalau nggak main golf atau ketemu teman. Kenapa emangnya? "Ketemu teman elit, ngajakin tunangan sendiri ketemu sulit." Perempuan itu geleng-geleng kepala. "Lo pernah ajak gue ketemu emang?” Aku ingat sesuatu. “Oh, pernah, yang kemarin ini gue pergi nemenin Nindya dan lo pengen ikut? Kan momennya enggak tepat. Nanti lo malah risih kalau ikut karena Nindya itu nggak gampang dekat sama orang baru.” Chintya terdiam, lalu bangkit berdiri. "Ayo, Kak. Kita pulang sekarang aja." Aku mencekal tangan perempuan itu. "Lo marah sama gue?" Chintya menggeleng. "Kak Shaka bilang di sini membosankan, bukan? Atau merasa bosan karena bersama aku di sini?" Aku melepas cekalan tanganku padanya. "Sebentar. Kopi gue belum habis." "Aku pulang duluan." "Pulang sama gue!" Aku berkata pada Chintya jika sopir papaku akan datang membawa mobilnya nanti. Dan dia harus pulang bersamaku. Bagaimana pun juga sudah cukup malam. Aku masih punya hati untuk tidak membiarkannya mengendarai mobil sendirian malam-malam begini. Di sepanjang perjalanan, Chintya diam saja seperti malam kemarin. Ada apa dengan perempuan itu? Biasanya, dia tak berhenti berbicara. Ada-ada saja yang dibahas olehnya, hal-hal random. Tiba di rumah, aku memintanya turun dari mobil terlebih dahulu, sementara diriku memasukkan mobil ke dalam garasi. Chintya masuk ke dalam rumah orang tuaku terlebih dahulu, aku menyusul setelahnya. Aku akan menginap juga malam ini di rumah mama karena sudah lelah usai menemani Nindya jalan-jalan dan mengantuk juga tentunya. Aku hendak menuju dapur mengambil miniman, namun langkah kakiku terhenti ketika melihat Chintya yang berdiri—tak langsung menuju kamar tamu yang terletak di antara ruangan keluarga dan dapur. Aku baru tahu kenapa perempuan itu tak langsung melangkah menuju kamarnya, karena ada suara papa dan mama yang tengah membicarakan mengenai kami di ruang keluarga. Tanganku mengepal ketika mendengar papa dan mama yang begitu memuja Chintya—ingin sekali perempuan itu menjadi bagian dari keluarga kami seolah tak memberi celah lagi padaku untuk menentukan pilihan. Begitu memuakkan. Apa istimewanya perempuan itu? Aku berdecih pelan. Aku marah, kesal dan benci rasanya. Anak sahabatnya papa, tapi dia seperti anak kandung sendiri oleh kedua orang tuaku. Mama dan papa begitu menyayanginya. Aku tertegun. Perlahan amarahku seolah meluap begitu saja seketika setelah melihat tetesan air mata menetes di pipi perempuan itu. Untuk pertama kalinya, aku melihat perempuan itu menangis. Dia menangis dalam diam, tak ada suara di sana. Perlahan, kepalan tanganku pada dinding di sisi tubuhnya melemah. "Aku enggak pernah meminta dijodohkan dengan Kak Shaka. Enggak pernah meminta agar mereka memperlakukanku spesial." Dia menyeka air matanya yang terus mengalir tanpa adanya isakan di sana. "Kak Shaka enggak mau dijodohin sama aku, kenapa Kak Shaka enggak protes aja sama orang tua Kak Shaka? Kenapa???" "Lo nggak ngerti, gue... " "Aku emang enggak ngerti apa-apa dan nggak akan pernah. Kak Shaka selalu diam, gimana aku bisa menebak? Sampai kapan pun, aku enggak akan pernah ngertiin Kak Shaka. Apa pun itu tentang Kak Shaka, aku enggak pernah tahu dan mengerti." Chintya memukul-mukul dadaku dan aku membiarkannya hingga berhenti sendiri. Dia menyandarkan kepalanya di dadaku dan menangis di sana. Kali ini, aku mendengar isakan pelan darinya. Ragu, satu tanganku terulur hendak mengusap punggungnya seperti yang pernah aku lakukan pada Meisya dulu. Namun, aku mengurungkan niatku ketika kepalanya beranjak dari dadaku. "Aku capek, mau tidur, istirahat," ujarnya sembari menghapus sisa air matanya. Kemudian, dia menggembungkan pipinya dengan mata menyipit dan itu tak lepas dari pandanganku. Dia melangkah menuju arah kamarnya di mana harus melewati ruangan keluarga yang masih ada papa dan mamaku di sana. "Om dan Tante belum tidur?" Aku mendengar suara ceria perempuan itu seolah barusan tak terjadi apa pun. Aku menghela napas pelan, kemudian ikut melangkah menghampiri kedua mereka. "Habis malam mingguan ceritanya?" goda mama pada Chintya. Aku memperhatikan ekspresi perempuan itu yang manggut-manggut sambil tersenyum. "Kak Shaka nemenin aku nonton live musik, Tan. Seru banget! Ya kan, Kak Shaka?" Aku pun mengangguk—mengiyakan ucapannya. "Iya." *** Keesokan harinya Chintya terlihat biasa saja, bahkan melontarkan candaan padaku juga. Hingga dia pamit pulang pada siang hari karena orang tuanya sudah dalam perjalanan pulang katanya. Pada malam hari, aku menghubunginya. Aku masih terbayang wajahnya yang berteteskan air mata semalam. "Ada apa, Kak? Aku ngantuk banget. Mau tidur," jawabnya di seberang sana. Aku melihat jam, baru sekitar jam setengah sembilan. Apa dia biasa tidur cepat saat keesokan harinya akan bekerja? "Oh, ya udah. Selamat istirahat kalau gitu." "Hmmm. Kak Shaka ada apa nelepon?" "Barusan kepencet." "Ooh. Udah dulu ya, Kak." Terdengar suara menguap di seberang sana. Berlanjut hingga keesokan harinya lagi, Chintya tak ada kabar hingga siang hari. Biasanya, dia tak pernah absen mengabariku di pagi hari. Dan juga menanyaiku sebelum jam makan siang, apa yang hendak aku makan dan lain sebagainya. Atau mengabariku saat dia sedang makan siang dan bertanya apakah diirku sudah makan atau belum. Aku beberapa kali melirik ponsel, tak kunjung ada notifikasi dari Chintya hingga jam 2 siang. Aku juga sampai tak berselera menghabiskan makan siang yang dibelikan oleh sekretarisku. Kenapa aku jadi kepikiran perempuan itu terus? Setelah menimang-nimang, beberapa kali mengetik pesan lalu menghapusnya, pada akhirnya aku menelepon perempuan itu. Tak kunjung diangkat di seberang sana. Apa dia sedang makan siang dengan atasannya itu tampan itu sehingga mengabaikan panggilan teleponku? Tidak... aku tidak cemburu. Hanya saja, bagaimana pun juga dia masih berstatus sebagai tunanganku. Nanti kalau ada saudaraku yang melihatnya bersama lelaki lain, bagaimana? Kalau dia tak betah dan ingin mengakhiri hubungan pertunangan kami, seharusnya dia mengatakannya kepada orang tuaku. Setengah jam kemudian, Chintya baru mengangkat teleponku. "Hallo, Kak?" "Ke mana aja baru angkat telepon gue?" "Lagi sibuk, Kak. Banyak kerjaan." "Jam makan siang, apa sesibuk itu juga? Apa lo baru pulang makan siang sama bos lo itu?" "Astagaa... aku beneran sibuk. Makan siang juga di meja kerja, tadi bawa bekal dari rumah." "Alasan." "Terserah Kak Shaka mau percaya atau enggak. Udah, ya! Aku mau lanjut kerja." "Lo pulang jam berapa nanti?" "Kayak biasa, jam 5. Kenapa emangnya?" "Entar gue jemput." "Jemput aku ke kantor?" "Emang ke mana lagi?" decakku. "Lah, kan aku bawa mobil." "Mobil lo tinggalin di sana aja. Nggak bakalan hilang juga parkir dalam gedung." "Ada angin apa Kak Shaka tiba-tiba mau jemput? Tumbenan." "Nggak usah banyak tanya, tunggu aja." "Aku jelas ingin tahu dong! Ini enggak biasa-biasanya Kak Shaka mau jemput aku. So, ada apa?" "Nggak ada salahnya sesekali gue jemput tunangan gue sendiri, 'kan?" Terdengar suara tawa renyah dari seberang sana. "Aku enggak salah dengar? Coba ulang, Kak Shaka bilang apa barusan?" "Enggak ada siaran ulang." "Aku dengar, Kak... dengar. Cuma kaget aja, apa yang ngomong barusan beneran Kak Shaka yang aku kenal? Aku udah diakui sebagai tunangan sekarang?" "Status kita kan begitu." "Yayaya... sekedar status ya, Kak?" "Hmm. Gue matiin dulu, tunggu nanti gue jemput." "Iya, Kak Shaka." Aku mematikan sambungan telepon kami dan meletakkan ponsel di atas meja. Setelahnya, aku menyandarkan kepala ke kursi dengan mata terpejam. "Iya, Kak Shaka." Aku terngiang-ngiang balasan ucapan Chintya yang hampir selalu begitu. Dia yang selalu mengiyakan apa yang aku bilang. Kadang pernah protes, namun tidak pernah ngotot atau pun marah. Dia hanya bertanya atas pernyataanku. Kenapa perempuan itu penurut sekali? Apa jadi bertanya-tanya setelah menguping pembicaraan kedua orang tuaku semalam. Papa dan mama lah yang benar-benar menginginkan Chintya menjadi pasangan hidupku. Lalu, aku mengamati bagaimana Chintya yang terlihat biasa saja setelah menangis di hadapanku. Aku jadi penasaran, bagaimana dengan isi hati perempuan itu sebenarnya? Apa sikap dan rasa suka yang ditunjukkannya kepadaku adalah sebagai bentuk dari sikap balas budinya terhadap keluargaku? Tidak benar-benar menyukaiku dalam arti sebenarnya? Entah kenapa, dari kemarin aku memikirkan hal itu. Bagus lah kalau dia enggak benar-benar cinta, jadi suatu saat kalau pisah nggak akan nyakitin. Aku memijit kepalaku. Kenapa egoku rasanya terusik semisalkan faktanya memang begitu? Menunggu keluar kantor lebih awal pukul 16:00 terasa lama. Aku berkali-kali melirik jam. Saat ke sekian kalinya melirik jam di ponselku, ada masuk notifikasi pesan. Aku pikir dari Chintya, ternyata dari Nindya. Perempuan itu meminta pulang bersama. Nindya sudah diterima kerja per hari ini dan letak kantornya tidak jauh dari kantorku. Aku mengiyakan permintaan perempuan itu dengan dan berkata padanya akan menjemput Nindya terlebih dahulu. Nindya tidak keberatan. Alasanku mengiyakan permintaannya karena arah rumahnya Nindya yang searah dengan Chintya, hanya beda di persimpangan jalan yang nantinya akan belok kanan jika ke rumah Chintya. Sedangkan, ke rumah Nindya lurus terus sekitar 15 menit dari persimpangan jalan tersebut. Aku jadinya keluar kantor lebih awal dan langsung menuju kantornya Chintya terlebih dahulu. "Kantornya Chintya di mana?" tanya Nindya setelah memasuki mobilku. "Daerah Cikini." "Eh, lumayan jauh juga. Lo sering anter jemput dia begitu?" "Enggak lah, jauh gitu." "Kirain." Pukul 16:45, aku tiba di depan gedung kantor tempat Chintya bekerja. Aku menghubunginya dan mobilku baru memasuki area depan lobi pukul 17:00 tepat. “Itu Chintya baru keluar,” ujar Nindya beberapa menit kemudian. Aku menoleh dan mendapati Chintya yang keluar pintu lobi bersama atasannya yang kulihat pada waktu itu? Kenapa mereka keluar kantor bersamaan? Kenapa rasanya aku tak senang melihat kedekatan mereka? “Siapa tuh yang bareng Chintya? Ganteng bangetttt!” “Ck… ganteng dari mana, sih? Menang tinggi dan badan bagus doang,” dengusku. “Merasa kalah saing, huh?” ”Mana ada. Nggak penting banget. Silahkan kalau dia mau udahan sama gue dan milih itu cowok.” Chintya sudah berada di dekat mobilku dan atasannya itu memperhatikan perempuan itu dari arah belakang. ”Eh, ada Kak Nindya?” ”Iya, gue sekalian anter dia pulang. Buruan masuk!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN