Sandi dan Almira sedang dalam perjalanan menuju Hotel Shangrila. Suasana di dalam mobil sedikit agak canggung tidak seperti biasanya. Sesekali Sandi melirik sekilas Almira yang malam ini terlihat sangat cantik. Gaun pesta yang dikenakan istrinya itu begitu pas dan cocok di tubuhnya yang semampai.
Andai saja Sandi bisa secara gamblang memuji kecantikan Almira. Sayangnya dia tidak mau memberikan harapan palsu kepada perempuan baik itu. Cukup Sandi memujinya dalam hati.
Berbeda dengan Sandi yang gengsi memuji Almira. Perempuan yang berprofesi sebagai model itu justru terang-terangan memuji ketampanan suaminya. Meski alasan di balik pujian itu hanyalah ingin mengenyahkan kecanggungan di antara mereka.
Dipuji sedemikian rupa, membuat Sandi mengulas senyum seraya berkata, "Baru sadar kalau aku ini tampan." Sandi berucap narsis yang mengundang gelak tawa Almira.
"Hish! Baru dipuji gitu aja, Mas udah kepedean. Ngeselin! Tahu gitu tadi aku enggak usah muji aja." Almira pura-pura kesal. Padahal dalam hatinya kini bersorak senang. Sandi sudah tak se-kaku dulu.
"Kalau enggak ikhlas muji mending enggak usah muji. Kamu ini." Sandi mengusak puncak kepala Almira yang semakin mencebik sebab tatanan rambutnya jadi rusak akibat ulah suaminya itu.
"Mas! Rambut aku rusak, nih!" gerutu Almira sembari menata ulang tatanan rambutnya yang sedikit berantakan. Buru-buru dia mengambil kaca kecil dari dalam tasnya.
"Iya, maaf," seru Sandi, melipat bibirnya agar tak kembali tertawa. Almira benar-benar lucu menurutnya. Dalam sekejap perempuan itu sangat mudah mencairkan suasana. Sementara Almira terus saja menggerutu dalam usahanya menata kembali rambutnya.
"Udah. Enggak usah dikasih jepit. Rambut kamu lebih cocok digerai, Al. Kamu terlihat lebih cantik."
Entah sadar atau tidak Sandi berkata demikian. Ternyata diam-diam dia melirik Almira disela kesibukannya menyetir. Malam ini Sandi sengaja tidak memakai sopir. Lelaki itu memilih menyetir mobilnya sendiri.
Sontak Almira menoleh ke samping. Pujian yang terlontar dari mulut Sandi membuatnya sedikit melambung. "Apa Mas? Aku enggak salah denger 'kan? Kamu ... muji aku, loh?" tanya Almira dengan kerutan samar di keningnya sedangkan bibirnya mengulum senyum tipis.
Sandi menoleh sekilas. "Memangnya ada yang aneh, ya?" tanyanya yang kembali menghadap depan. Jalanan malam ini agak lengang.
Ck! Suaminya ini memang sangat langka. Bisa-bisanya dia bersikap santai setelah berhasil menjungkirbalikkan hatinya, pikir Almira.
Memutar bola matanya malas Almira lantas berucap, "Ya ... memang aneh. Kamu enggak pernah, loh, muji aku."
Oh, astaga! Apakah dia salah meminum obat? Bahkan semenit yang lalu dirinya merasa gengsi untuk memuji Almira. Sandi tengah merutuki kebodohannya.
"Em ... itu ..." Sandi memutar-mutar bola matanya—mencari alasan yang tepat untuk menjawab Almira.
"Udahlah! Lupain aja! Kamu emang ngeselin!" Almira beringsut, merubah posisi duduknya menghadap depan lagi. Dia memasukkan kaca yang sejak tadi dipegangnya ke dalam clutch. Lalu memilih menatap jalanan lewat kaca mobil.
_
_
Akhirnya mereka tiba di Hotel, walau sedikit terlambat. Kedatangan Sandi dan Almira tentu sudah ditunggu-tunggu oleh para awak media. Profesi model yang disandang Almira selalu menyedot perhatian publik. Setiap hal yang berhubungan dengannya tak luput dari publik. Secara, ini adalah perayaan anniversary pernikahannya yang diadakan secara terbuka. Para pemburu berita tak menyia-nyiakan kesempatan untuk merekam momen tersebut.
Tak ingin mengecewakan wartawan yang sudah susah payah menunggunya, Almira dan Sandi memberi sepatah dua patah kata. Menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar kehidupan pernikahan mereka yang telah berjalan selama tiga tahun.
Apa yang mereka lihat belum tentu benar adanya. Meski selama ini pernikahannya dengan Sandi adem ayem tanpa gosip-gosip miring. Tetap saja Almira resah akan berita itu. Pasalnya semua yang dikatakan orang-orang di luar sana sangatlah berbeda dengan realita yang dia jalani selama ini.
"Doakan kami semoga bisa terus harmonis dan bahagia." Sandi menutup perbincangan singkat itu dengan kalimat yang tak terduga. Almira sampai melongo mendengarnya.
Para awak media mengamini doa Sandi dengan bersamaan. Kemudian mereka semua mundur guna memberi jalan untuk pasangan itu. Sandi dan Almira berjalan dengan bergandengan tangan menyusuri lobby Hotel Shangrila yang tampak megah. Senyuman hangat terus tersungging dari bibir masing-masing dengan pancaran rona bahagia.
Begitu masuk ke ballroom Hotel, pasangan tersebut disambut oleh dua keluarga besar. Orang tua Sandi dan Almira mendekat menghampiri anak-anak mereka. Saling memberi pelukan dan pujian. Tamu undangan yang hadir sebagian besar dari keluarga inti saja. Terutama keluarga dekat dari orang tua Almira. Om, Tante, Pakde dan Bude juga turut hadir memenuhi undangan Almira.
"Ya Allah, Nduk, kamu kelihatan cantik," puji bude Almira yang bernama Kinanti. Perempuan paruh baya yang merupakan kakak kandung dari ayah Almira.
"Biasa aja, Bude. Bude juga tambah cantik," ujar Almira sembari mengerlingkan matanya.
Bude Kinanti tertawa. "Kamu ini, loh, enggak berubah. Masih suka godain bude," ucapnya sambil mencubit gemas lengan Almira.
Semua orang yang berada di sana tertawa. Almira sosok yang periang. Dia selalu pintar mencairkan suasana. Diam-diam Sandi mengamati istrinya itu yang nampak asyik bercanda dengan para saudaranya.
"Oh, iya, Bude. Kok, aku enggak lihat Mas Danu?" tanya Almira sambil celingukan mencari keberadaan Danu—kakak sepupunya yang baru saja menikah.
"Si Danu masih di jalan. Mungkin sebentar lagi sampai. Kamu tunggu aja," jawab bude yang langsung diangguki Almira.
"Oke. Kalau gitu Almira ke sana dulu, ya." Almira menunjuk ke arah teman-teman seprofesinya.
Bude Kinanti mengangguk.
"Iya. Nanti kalau Danu udah dateng bude panggil kamu," sahutnya.
Almira menggandeng Sandi. "Ayo, Mas. Temenin aku, ya?" pintanya sambil memasang mimik muka memelas.
Sandi yang tidak tega akhirnya setuju.
"Ayo." Merubah posisi tangannya ke pinggang ramping Almira. Sandi mengeratkan lilitan tangannya hingga membuat istrinya salah tingkah.
Baru selangkah mereka berjalan, tiba-tiba bude Kinanti berseru riang. "Nah, pengantin baru kita akhirnya dateng juga. Al, Danu udah dateng, nih!" panggilan Bude sontak menghentikan langkah pasangan itu.
Almira dan Sandi memutar badan.
"Mas Danu!" seru Almira yang saat itu juga berjalan ke arah kakak sepupunya, yang sudah dianggap seperti kakak kandungnya sendiri. Meninggalkan Sandi yang berdiri kaku di tempatnya.
Almira memeluk Danu sementara Sandi terpaku tanpa berkedip. Jantungnya tiba-tiba memompa dengan cepat.
"Mas! Sini!" Panggilan Almira menyentak Sandi yang tengah tenggelam dalam pikirannya.
Lelaki itu tergagap."I-iya."Sandi memaksakan diri untuk mendekat. Maniknya tak lepas menatap sosok yang berdiri di antara Almira dan Danu.
"Mas, kenalin. Ini Mas Danu anaknya Bude Kinanti yang baru aja nikah." Almira langsung memperkenalkan Danu kepada Sandi.
Kedua laki-laki itu saling berjabat tangan dan sedikit berbasa-basi. Lalu setelah memperkenalkan Danu giliran Almira memperkenalkan istri Danu.
"Kalau ini istrinya Mas Danu. Aku juga belum kenalan, sih." Almira terkekeh kemudian mengulurkan tangan ke hadapan istri Danu. "Aku Almira, adik sepupunya Mas Danu yang paling cantik se-Indonesia raya."
"Heleh! Narsis! Enggak usah digubris, Sayang. Almira ini jagonya narsis." Danu mencibir Almira. Dia menarik pinggang istrinya yang cuma tersenyum kaku.
"Beneran cantik, kok," ucap istri Danu sambil melirik sekilas ke arah Sandi yang diam seribu bahasa. Lelaki itu belum membuka suara, masih nampak syok dengan kenyataan yang ada di depan matanya.
"Aku Sandra. Istrinya Mas Danu," sambung istri Danu, membalas uluran tangan Almira. Namun, dia tak lepas menatap Sandi yang pucat.
"Sandra? Aku kayak pernah denger nama itu?" ucap Almira mengingat-ingat nama yang menurutnya tidak asing.
deg!
Sandi semakin salah tingkah. Dia tidak pernah menyangka jika bertemu dengan mantan kekasihnya dengan situasi sialan ini. Parahnya lagi Sandra berstatus saudara sepupunya.
'Takdir macam apa ini, Tuhan?' seru Sandi dalam hati.
###