Tangisan Mantan

1115 Kata
Tengah malam, Sandi yang tidak bisa tidur memutuskan untuk bangkit dari ranjang dan keluar kamar. Memikirkan tentang Almira membuat lelaki itu terus merasa bersalah lantaran hingga detik ini dia masih belum menunaikan kewajibannya sebagai seorang suami. Bahkan, di detik dia hampir melakukannya, bayangan masa lalu tiba-tiba muncul dan membuatnya mengurungkan niat tersebut. Bukannya Sandi tidak tahu dan tidak ingin tahu dengan kekecewaan Almira pada saat dia memilih mundur untuk tidak melanjutkannya. Sandi bisa melihat dengan jelas sorot mata Almira yang memancarkan banyak sekali luka. "Maafin aku, Al. Maaf ..." Sandi meraup kasar wajahnya dengan perasaan bersalah yang kian bertambah. Dia menekan tombol lift, kemudian masuk saat pintunya terbuka. Di dalam lift Sandi terus saja melamun hingga pintu itu kembali terbuka dia pun langsung keluar dari sana. Dia berjalan menuju bar yang kebetulan tersedia di Hotel tersebut. Begitu masuk, Sandi memilih duduk di depan bartender yang sedang sibuk meracik minuman untuk tamu di sampingnya. Suasana di bar tidak terlalu ramai. Tenang dan hanya terdengar suara musik yang mengalun pelan. Sandi sampai terbawa suasana lantaran lagu yang diputar seakan mewakili perasaannya saat ini. "Mau pesan minum apa?" Suara bartender membuyarkan lamunan Sandi. Terhenyak sesaat lantas Sandi menjawab, "Saya pesan cocktail saja." Bartender itu mengangguk, lalu mulai membuatkan pesanan tamunya. Mata Sandi sama sekali tidak berhenti memandang gesitnya gerakan tangan sang bartender itu. Dia yang tidak menyadari jika sejak tadi ada yang memerhatikan dari jauh seketika terkejut dengan suara seorang wanita yang memanggilnya. "Mas Sandi!" Sandi sontak menoleh ke arah sumber suara yang tidak asing di telinganya. Suara dari seseorang yang pernah mengisi hatinya beberapa tahun yang lalu. "Sandra?" Dia terpaku sejenak, memandang perempuan bernama Sandra sedang berjalan menghampiri dirinya. "Mas, lagi apa?" Sandra bertanya begitu mendekat, dia terlihat biasa saja seperti tidak pernah ada apa pun diantara dia dan Sandi. "Mas lagi nongkrong aja. Enggak bisa tidur." Sandi berusaha menjawab senormal mungkin, meski ada sesuatu di dalam sana tengah menertawainya. Sandra Paramitha itulah nama panjang perempuan cantik yang kini ada di depan matanya. Sepertinya takdir memang sengaja mempermainkan dirinya. Memaksanya untuk berada dalam situasi sialan ini. Sandi tak pernah membayangkan sebelumnya, jika dia harus kembali dipertemukan dengan masa lalunya dengan status berbeda. "Boleh gabung?" Pertanyaan Sandra tentu tidak dapat ditolak Sandi. Lelaki itu mengangguk dan tersenyum. "Makasih." Sandra menarik stoolbar lantas mendudukinya. "Mau pesan minuman?" tawar Sandi sekadar berbasa-basi sebab dia tidak ingin keadaan ini menjadi canggung. Mengingat akan statusnya yang sebagai sepupu dari suami Sandra. "Aku pesen jus aja." "Jus jeruk?" Sandi langsung menebaknya dan itu sukses membuat Sandra tersenyum kikuk. 'Oh, s**t! Kenapa aku harus ngomong gitu?' rutuk Sandi dalam hati. Sandra menanggapinya dengan santai. "Masih inget ternyata kamu, Mas?" Akan tetapi pertanyaannya itu justru membuat Sandi jadi serba salah. Berdeham sekilas dan meraih gelas yang baru saja disodorkan ke mejanya. Sandi menenggak minuman asam itu perlahan namun tetap berusaha tenang. "Kebetulan aja aku inget. Enggak ada salahnya 'kan?" jawabnya setelah meletakkan gelas yang isinya tersisa separuh itu. Sandi tidak berani menatap Sandra yang kini menatapnya. "Kamu kenapa turun ke sini? Apa suamimu enggak nyariin kamu nanti?" Ah, mulut sialan! Kenapa juga dia bertanya demikian? ck! "Aku enggak bisa tidur. Kepalaku agak pusing," jawab Sandra yang lantas memutar stoolbar yang dia duduki mengarah ke depan bartender yang menyodorkan segelas jus jeruk. "Tadinya aku mau cari obat. Eh, malah enggak sengaja liat kamu." Sandra mengangkat gelas itu, lalu menempelkan bibirnya pada pinggiran gelas. Sandi menoleh dan tak sengaja memindai Sandra yang sedang menyesap jus jeruk tersebut dengan anggun. Masih sama seperti dulu. Tak ada yang berubah pada wanita ini. Mungkin hanya status mereka yang berbeda. Sandra telah menikah dengan kakak sepupu Almira. Bola mata Sandi terus bergulir mengikuti pergerakan tangan Sandra yang saat ini menyelipkan rambut bergelombangnya ke telinga. "Sekarang masih sakit? Kalo masih, mau aku carikan obat?" Entah sadar atau tidak, Sandi malah menawarkan diri. Sandra terkekeh kemudian menyahut, "Enggak usah. Kayaknya udah mendingan setelah aku minum jus ini." Dia tersenyum kepada Sandi. Berusaha untuk bersikap biasa saja, kendati rasa gugup mendadak muncul karena tawaran Sandi barusan. "Baiklah. Kalau udah sembuh." Sandi menatap lurus ke depan lagi, dia mengangkat gelas lalu menghabiskan cocktail yang masih tersisa separuh. Dia berniat untuk segera pergi dari tempat ini sebab dia mulai menyadari jika terus-terusan bersama Sandra maka akan berakhir tidak baik. Kemudian Sandi berdiri dan merogoh saku celananya untuk mengambil dompet. Dia mengeluarkan dua lembar ratusan ribu dan meletakkannya di meja. "Aku duluan, ya, San. Jusnya udah aku bayar sekalian," pamit Sandi setelah memasukkan kembali dompetnya. Raut wajah Sandra berubah ketika Sandi berpamitan padanya. "Aku juga udah selesai, kok, Mas." Dia berdiri dari tempatnya lalu tiba-tiba bertanya, "Naik bareng, ya, Mas? Boleh 'kan?" Sandi jelas termangu, namun menolaknya pun dia tak sampai hati. "Boleh. Ayo." Dia mempersilakan Sandra untuk berjalan terlebih dahulu. Keduanya keluar dari bar bersamaan, berjalan beriringan menuju lift. Sandi bingung harus mengobrol apa. Situasi ini sangat-sangat memojokkan dirinya. Pun demikian Sandra yang memilih untuk diam hingga pintu lift terbuka. Lagi-lagi Sandi mempersilakan Sandra untuk masuk terlebih dahulu. "Ladies first." Sandra tersenyum, lalu masuk ke lift diikuti Sandi yang berada di belakangnya dan langsung menekan tombol angka 5. Kamar Sandi terletak di lantai lima di gedung ini, begitu pun Sandra. Sejurus kemudian pintu lift tertutup dan membawa mereka naik. Sandi dan Sandra berdiri bersisian tanpa membuka suara, sehingga menciptakan keheningan diantara keduanya. Namun, sepertinya itu tak berlangsung lama saat Sandra memutuskan untuk berkata, "Maaf, Mas. Maafin sifatku yang dulu. Aku beneran nyesel karena selama kita bersama, aku enggak pernah mau ngerti dan memahami perasaan kamu." Sandra terisak dan itu sukses menarik perhatian Sandi yang sebenarnya tidak berniat membahas masa lalu. Tanpa menatap satu sama lain, Sandi pun menyahuti, "Udahlah. Kita enggak perlu bahas masa lalu. Toh, sekarang kita udah bahagia dengan pasangan kita masing-masing." Sandi dapat melihat Sandra yang terus menundukkan kepala dari dinding lift. Sandra malah semakin terisak. Suara tangisannya menggema di ruangan berjalan itu. "Mungkin Mas pikir aku bahagia selama ini. Setelah kita berpisah aku justru tersiksa dengan penyesalanku sendiri. Aku bahkan hampir frustrasi saat itu karena keputusanku yang memilih mengakhiri hubungan kita secara sepihak." deg! Kepala Sandi sontak menoleh ke arah Sandra. "Ma-maksud kamu?" Dia bertanya hanya ingin memperjelas saja. Sandra pun mengangkat pandangannya lalu menoleh pada Sandi dengan wajah bersimbah air mata. "Iya, Mas. Tiga tahun ini aku tersiksa dalam penyesalan. Aku sadar kalau ternyata aku enggak bisa hidup tanpa kamu, Mas Sandi. Aku enggak bisa." Kemudian dengan cepat Sandra menghambur ke pelukan Sandi. Dia tergugu di d**a bidang lelaki itu dengan tangisan yang terdengar memilukan. Sandi membeku tak tahu harus berbuat apa, tetapi secara naluriah tangannya terangkat perlahan untuk dia letakkan di punggung Sandra. "Sudahlah. Kamu jangan nangis lagi. Sudah." Sandi menepuk-nepuk punggung Sandra berusaha meredakan tangisan mantan kekasihnya. ### bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN