Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 28 jam dari Surabaya, akhirnya Gladis tiba di kota dengan arsitektur kota yang menawan di Jerman.
Gladis membuka matanya setelah dia menutup mata beberapa jam yang sebenarnya antara tidur dan tidak tidur.
Gladis melihat sekeliling dan dia tak melihat lelaki yang tadi sempat mengganggunya. Tapi dia tak mau ambil pusing soal itu dan melanjutkan mengambil barangnya di kabin pesawat.
Perlahan dia melihat ke sekeliling dan bersiap untuk keluar pesawat melalui garbarata. Tepat di ujung garbarata dia dikejutkan dengan kehadiran pria yang beberapa jam lalu mengganggu ketenangannya.
(setelah ini percakapan secara real menggunakan Bahasa Inggris tapi demi kenyamanan pembaca oleh penulis diganti ke Bahasa Indonesia)
“Hai, gadis menjengkelkan,” kata pria itu membuat Gladis kesal. “Apa, mau apa kamu, hemm,” ketus Gladis ga mau kalah.
“Sudah merasa lebih baik?” tanya pria menjengkelkan membuat Gladis mengerutkan alisnya. “Kamu nanya aku?” Gladis malah balik bertanya yang sebenarnya dia malas menjawab.
Pria yang kesal dengan sikap Gladis itu mengeluarkan kekesalannya, “Memangnya ada orang lain lagi selain dirimu di sini,” ungkapnya kesal dan akhirnya berlalu meninggalkan Gladis yang masih bengong.
Tapi tak lama setelahnya Gladis tertawa melihat kelakuan pria itu. “Rasain lu salah sendiri usil sama urusan orang,” gumam Gladis dan dia kembali melanjutkan perjalanannya.
Kini dia ada di antrian bagasi untuk mengambil kopernya dan lekas mencari taksi untuk pergi ke apartmennya. Perjalanannya ke tempat tinggalnya yang termasuk dalam hunian modern dan terkenal di salah satu kota ini tidak memakan waktu lama sekitar 30-45 menit.
Gladis merasakan atmosfer yang ada di sana, saat ini di Jerman masuk awal musim gugur, jadi suhu di sana mulai terasa dingin. Wanita itu tak hentinya melihat pemandangan indah yang disuguhkan di sana.
Sepanjang jalan dia melihat pepohonan yang mulai meranggas. Jalanan kota yang bersih bebas sampah, tidak seperti di Indonesia yang masih terlihat beberapa sampah di pinggiran jalan.
Bangunan yang menunjukkan gaya khas Eropa karena memang Jerman masih menjaga keaslian budayanya. Dari literature yang dibaca olehnya, Jerman terkenal sebagai negara penghubung di benua Eropa.
Dan salah satu kota yang menjadi tempat tinggalnya nantinya termasuk kota tersibuk kedua setelah Berlin. Ciri khas kota ini adalah memiliki kanal di wilayahnya yang membuatnya menarik bagi para wisatawan.
“Nona kita sudah sampai,” ucap supir taksi itu membuyarkan lamunan Gladis. Wanita itu menoleh dan tersenyum. Dia turun dari taksi dan memandang tempat tinggalnya kali ini.
“Ayo Gladis kamu pasti bisa dan kuat, ini hanya soal waktu,” ucap Gladis dalam suara lirih. Setelah membayar ongkos taksi, dia masuk ke apartmentnya dan melapor ke meja resepsionis. Petugas keamanan di sana membantunya membawakan barang di lantai 11 tempat Gladis tinggal.
“Terima kasih pak,” ucap Gladis tulus dan petugas itu menjawab dengan senyum tulus. “Sama-sama Nona,” ucap petugas keamanan itu dan berlalu dari hadapan Gladis.
Apartemen Gladis tidak terlampau luas, ada dua kamar tidur, satu kamar mandi di luar dan satu kamar mandi di dalam. Dapur, ruang tengah yang menghadap ke balkon apartemennya.
Gladis masih meninggalkan kopernya begitu saja dan berjalan ke balkon apartemennya. Dia tersenyum simpul karena melihat betapa indahnya pemandangan dari sini.
Seakan teringat akan sesuatu Gladis mengambil ponselnya dan menghubungi mamanya. Tak sampai dering ketiga sudah terdengar suara mamanya di sebrang sana.
“Halo Mama, Gladis sudah sampai di apartment, mana Papa?” tanya Gladis semangat.
“Syukurlah kamu tiba dengan selamat dari tadi kita nungguin kabar dari kamu lo,” ucap Mama Silvi. Gladis tertawa pelan mendengar curhatan mamanya.
“Maaf Ma, tadi Gladis masih ngurusin soal barang-barang Gladis dan barusan aja Gladis nyampe di apartment,” jelas Gladis yang akhirnya bisa dimengerti oleh Mamanya.
“Nah ini Papa,” kata Mama Silvi dan langsung menyerahkan ponselnya kepada Papa Bagas. “Hallo anak cantik Papa, sudah sampai di Jerman?” seru Papa Bagas antusias.
“Sudah donk Pa, malah Gladis mau bilang makasih sama Papa karena sudah nyiapin apartemen yang bagus buat Gladis di sini,” ucap Gladis dengan berbinar.
“Baguslah kalo kamu jadi suka apa yang sudah Papa siapkan, tapi ingat ya Sayang, kalau kamu sudah gaa betah di sana dan pengen kembali ke Indonesia, lekas hubungi Papa, ga perlu mikir soal kuliahmu di sana,” cerocos Papa Bagas sama seperti sebelum berangkat.
“Papa, Gladis kan sudah besar, kenapa Papa mesti bingung sih, Gladis tahu apa yang akan Gladis lakukan di sini, jadi Papa tenang aja oke,” kata Gladis menenangkan papanya.
Terdengar helaan napas di sana dan sempat membuat Gladis penasaran. “Jika saja kamu pergi karena rasa kebahagiaanmu untuk kuliah di sana, Papa mungkin tidak akan khawatir, tapi ini kondisinya beda, kamu pergi karena kamu melarikan diri dari Reno.”
Skakmat.
Gladis diam.
“Dan melanjutkan studimu di sana itu hanya sebagai pelarianmu agar kamu tidak bosan di sana. Tapi yang Papa tak mengerti kenapa harus Jerman? Sedangkan kamu tahu orang tua Reno ada di sana,” penjabaran Papa Bagass tak bisa membuat Gladis mengeluarkan suara atau pembelaan atas apa yang terjadi.
Lama mereka terdiam, Gladis memandang lurus ke depan dan melihat aliran sungai yang terlihat dari balkon apartemennya.
“Gladis ngerti Pa, tolong percaya sama Gladis kali ini, nanti kalaupun ada penyesalan Gladis yang akan menanggungnya dan tentu saja tidak akan merepotkan kalian, termasuk melakukan hal yang di luar nalar,” janji Gladis.
“Istirahatlah Sayang, kehidupan di sana tidak akan sama dengan di Indonesia yang santai. Semua orang di sana sangat disiplin dan tepat waktu, jadi berhati-hatilah,” pesan Papa Bagas. Dan mereka mengakhiri panggilan mereka.
Gladis memandang ponselnya, tidak ada satupun pesan yang menunjukkan Reno berusaha menghubunginya. Tanpa sadar wanita itu menitikkan air mata dan tersenyum samar.
“Apa sekarang aku mulai merasa menyesal dengan semua ini?” lirihnya sambil menggenggam erat ponselnya. “Secepat inikah penyesalan itu datang dan rindu yang tak bisa tersampaikan,” isak Gladis pada akhirnya.
“Tuhan, bantu Gladis kuat untuk menjalani semua ini, jika memang aku menyesalinya tolong jangan datang secepat ini, biarlah rasa ini menyerap dalam hatiku jangan biarkan semua orang tahu termasuk Reno,” pinta Gladis sambil menundukkan wajahnya dan menutupinya dengan kedua telapak tangannya.
Tanpa disadari oleh Gladis ada seseorang yang memperhatikannya dari balkon sebelahnya. Lelaki itu menatap Gladis dengan rasa penasaran dan dia tersenyum.
“Takdir yang lucu atau menyenangkan, bagaimana bisa aku bertemu dengan dia lagi di sini dalam satu area yang sama,” kekeh pria itu.
“Dan aku benci saat melihatmu harus menangis lagi di hadapanku Beautiful Lady, mulai sekarang biarkan aku yang membuatmu tertawa dan menghapus air mata itu dari sudut matamu,” janji pria itu sambil menyesap kopinya.
“Karena aku adalah Liam Putra Arkanta, tidak ada yang tidak mungkin aku lakukan termasuk membuatmu melihatku My Lady,” ucapnya sambil tersenyum smirk.
*****