P.26 Same Feeling

1100 Kata
Rasyid memberikan kunci mobilnya kepada Reno, sedangkan pengawal yang memang ditugaskan untuk menjaga Rasyid sudah siap di mobil belakang mereka. Tanpa bertanya Reno langsung melajukan mobil Rasyid ke bandara. “Ponselmu kemana?” tanya Reno saat melihat Rasyid sudah mulai tenang. Rasyid menggeleng santai, “Mungkin aku sudah membuangnya,” jawab Rasyid enteng. Reno berdecak sebal, “Seharusnya jangan kaya gitu, di situasi kaya gini kamu mesti bisa tenang dan –“ belum selesai Reno bicara Rasyid sudah ganti membungkam mulutnya. “Ngomong emang gampang tapi kamu ga tahu jika kamu belum merasakan rasanya kehilangan selama-lamanya. Jangan bilang kalo kamu kehilangan Gladis sedangkan dia masih ada di Jerman dan mungkin bahagia di sana tanpa dirimu,” tukas Rasyid. Reno menggenggam setir mobilnya kuat-kuat untuk mengendalikan diri agar tidak marah kepada Rasyid. Dia berkali-kali menghela napas. “Kau benar, Gladis masih hidup dan dia juga bahagia di Jerman dengan lelaki lain. Aku memang kehilangan Gladis tapi memang rasanya bakal beda dengan kehilangan yang kamu rasakan,” kata Reno berusaha sabar. Rasyid langsung diam mendengar ucapan Reno, dia sebenarnya tak bermaksud mendoakan Reno untuk mengalami hal itu tapi ternyata itu meman terjadi. “Jadi benar kalau Gladis pergi darimu untuk bersama lelaki lain?” tanya Rasyid lirih dan Reno hanya mengangguk pasrah. “Sejak kapan kamu tahu hal itu?” tanya Rasyid kembali. Reno hanya menjawab dengan singkat karena teringat luka yang masih menganga di hatinya. “Kemarin.” “Kamu yakin jika itu memang Gladis, bukan laporan dari siapapun atau seseorang yang mirip Gladis?” cecar Rasyid yang mendadak nampak peduli dengan Reno. “Aku melihatnya sendiri, dan memang rasanya sakit banget sih, aku jadi paham kenapa Gladis meninggalkanku, karena itu aku akan merelakan dia pergi meskipun itu menyakitiku. Tapi melihat orang yang kita cintai bahagia itu lebih penting bukan daripada harus bersama kita tapi dia tersakiti,” jelas Reno. Rasyid yang mendengarnya langsung menunduk. “Apa ini juga salah satu jalan dari Tuhan mengambil Nima dariku karena mungkin dia tidak akan bahagia jika bersamaku,” lirih Rasyid. Reno menepuk pundak Rasyid, “Anggap saja begitu, tapi yang mengambil Nima bukan orang lain, tapi Tuhan yang memang menciptakan kita semua dan itu artinya Nima lebih disayang oleh Tuhan daripada kita semua.” “Tenanglah Ras, kuatkan hatimu, pasti ada hal yang sedang Tuhan rencanakan untuk kita sampai kita mengalami semua ini,” kata Reno sok bijak. “Satu-satunya hal yang aku sesali saat ini adalah aku baru menyadari jika aku mencintainya saat aku kehilangan dirinya dengan cara seperti ini,” ucap Rasyid sendu. “Iya kamu benar, memang kita baru menyadari arti kehadiran seseorang di saat orang itu menghilang dari kehidupan kita. Aku sering mengatakan aku mencintai Gladis, tapi dia tidak pernah percaya dengan cinta yang aku miliki untuknya,” jelas Reno. Rasyid menoleh, “Sama-sama terasa menyakitkan,” ucapnya. Reno mengangguk setuju dengan apa yang diucapkan oleh sahabatnya itu. Reno langsung melaju cepat ke bandara karena tak lama setelah itu Dika menghubunginya dan mengatakan semua sudah siap. Jenazah Nima sudah bisa diterbangkan ke Indonesia. Rasyid sukses dikerubungi wartawan begitu tiba di bandara, keduanya sampai harus dibantu oleh tim safari pengawalan untuk bisa sampai di kargo khusus dan menemui Dika. “Astaga, kita ini artis bukan, kenapa wartawan bisa brutal kaya gitu sih?” keluh Reno begitu dia sudah sampai di kargo dan bertemu dengan Dika. “Belum aja kamu sampai di Indonesia lebih parah lagi,” ucap Dika santai membuat Reno geleng-geleng kepala. Rasyid melihat peti warna putih yang nampak cantik sudah rapi dan siap untuk dimasukkan ke pesawat pribadinya. “Kita sudah siap berangkat, apa masih ada yang perlu ditunggu lagi?” tanya pilot membuat Reno dan Dika mengangguk. Reno menarik Rasyid yang masih berdiri kaku di sana dan peti jenazah diurus pihak bandara. Hampir dua belas jam perjalanan Paris ke Indonesia membuat semua orang yang ada dalam pesawat itu tertidur lelap. Begitu tiba di bandara banyak wartawan yang sudah mengerubungi mereka tapi pengawalan yang tepat membuat mereka bisa menembus barikade wartawan dan segera meluncur ke rumah duka. Sesampainya di rumah duka, suasana haru tidak bisa lagi dibendung terutama dari keluarga Nima yang sudah menunggu di sana. Reno bertemu dengan Laila yang terlihat bersedih. Kelly, Oman, dan Malik juga hadir di sana. Rasyid yang menjadi sorotan semua orang hanya bisa diam terutama saat jenazah sudah siap disholati sebelum dimakamkan. Rasyid hanya diam tak bicara meskipun banyak orang yang berusaha mengajaknya bicara. Sampai jenazah Nima dimasukkan liang lahat pun, tidak ada emosi yang keluar dalam diri Rasyid membuat semua orang cemas kepadanya. Reno kira Rasyid akan lama di pemakaman tapi ternyata begitu dia melihat semua orang pergi dari sana, dia juga ikut pergi dan masih dengan wajah tanpa emosi. Rasyid hanya duduk di ruang tengah begitu tiba di rumah, semua orang mengerubunginya dan berniat memberikan support tapi dia masih diam saja seakan nyawanya juga lepas dari sana. “Bro, ngomong sesuatu dunk, kalau mau nangis, nangis aja ga masalah, kita bisa maklumi kok,” ucap Reno dan Rasyid masih diam dengan pandangan yang entah memandang kemana. “Jangan kaya mayat hidup gini dunk, masih mending kamu mabuk-mabukan atau main cewek di klub asalkan kamu masih punya emosi buat melakukan sesuatu daripada anteng gini,” seru Kelly. Semua orang yang ada di sana langsung melotot mendengar ucapan Kelly yang bar bar menurut mereka. Sedangkan Kelly cuma nyengir doang. “Ras, kalau kamu mau marah dan mukul atau emosi, boleh kok, lakukan apa yang ingin kamu lakukan, setidaknya itu membuat perasaanmu lega, tapi jangan diam aja kaya gini,” ucap Laila lembut sembari menggenggam jemari tangan Rasyid. Ada reaksi yang muncul membuat semua orang sedikit merasa lega tapi tetap saja dia tak mengatakan atau mengeluarkan emosi apapun. “Kenapa kamu ga ikut mati sekalian aja kalo endingnya bakal kaya gini.” Semua langsung menatap ke pintu ruang tengah tempat mereka mendengar suara itu. Reno yang semula duduk di sandaran sofa langsung berdiri. “Gladis,” lirih hampir semua orang yang ada di sana. Rasyid yang ikut mendengar hal itu juga ikut menoleh dan memandang sinis seorang Gladis. Sedangkan wanita muda yang polos itu akhirnya perlahan berjalan dengan mudahnya setelah mengatakan hal itu. “Ini,” Gladis menyodorkan sebotol obat tidur yang langsung ditepis oleh Kelly. “Jangan gila kamu, temen kita lagi berduka kenapa kamu malah ngasih hal-hal yang ga masuk akal,” seru Kelly sedangkan Reno hanya shock dan diam mengetahui ada Gladis di hadapannya tapi sayangnya wanita itu seakan tak melihatnya di sini. “Jika dia merasa hidupnya sudah berakhir karena Nima sudah tidak ada, bukankah sebaiknya kita membantunya untuk mengakhiri hidupnya juga.” ***** Sadis juga ya si Gladis,,hahaha
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN