Cinta tak pernah gagal panen.
Karena bahagia dan sedih
Itulah hasil permanen.
__Moammar Emka
♥♥♥♥♥
Arham terjaga. Ia membolak-balikkan badannya, gelisah. Sehabis tahajjud ia tidak bisa melanjutkan tidurnya lagi, dilahapnya buku kuning berjudul La Tahzan yang baru dibawanya dari rumah Bude tempat ia tinggal selama ini di Medan. Sampai halaman terakhir belum terasa kantuk menyerang matanya. Dipandanginya wajah yang sedikit tertutup kerudung disampingnya, pulas.
Hmm, bidadari. Mutiara ku. Sayang, bagaimana bisa aku tidak jatuh hati padamu? Gadis yang penuh dengan ide kreatif dan inovatif untuk membuat posko terasa lebih nyaman. Rentenir manis yang diawal minggu selalu mengutip lima belas ribu rupiah sebagai kompensasi selama PPLT. Manusia yang se-kaku aku saja bisa jatuh hati padamu, apalagi yang dengan tampang penggoda dan playboy itu! Makanya aku harus ekstra hati-hati dalam menjagamu.
Wajahmu, mata yang bulat dan selalu menggambarkan apa yang ada di dalam fiiranmu. Matamu itu seakan berbicara mewakili hatimu. Hidungmu, tidak pesek ku rasa, hanya kurang mancung sedikit. Bibir tipis nan lembut itu, yang selalu menggoda setiap tersenyum. Rasanya aku ingin menelanmu kalau melihat kau tersenyum, apalagi ketika menggodaku. Dagu yang berbelah itu menambah manis wajahmu. Kau sempurna di mataku. Ah ya, dua lesung pipimu yang hanya terlihat di saat-saat tertentu saja. Kau memang mutiara di dasar laut. Sulit sekali mencarimu, sayang.
Hmmm, rambutmu, kalau aku tidak salah ikal. Sepanjang apa kemarin? Ah, kau masih belum membuka jilbabmu sih. Masa aku harus memaksamu untuk membukanya. Ayolah sayang, aku membutuhkanmu.
Kau tahu sayang, aku ini bukan laki-laki romantis yang setiap hari bisa mengucapkan kata cinta. Tapi sungguh, aku benar-benar jatuh hati padamu. Jangan siksa aku bidadariku.
Hampir dua bulan menikah, dan kau masih belum membuka jilbabmu. Okelah sebulan pertama karena kita masih di posko. Ini hari ketiga kita dirumah ini, normalnya sih kau sudah membuka diri, tapi ini nggak bisa disebut abnormal juga kan? Soal yang satu itu, okelah aku bisa tahan sedikit. Paling tidak melihat rambutmu dulu saja lah.
Tubuh itu menggeliat lembut, membalikkan badannya memunggungi sepasang mata yang sedang memperhatikannya. Azan subuh berkumandang, Arham tersentak. Matanya belum mengantuk sama sekali. Tubuh disampingnya bergerak lagi, matanya mulai membuka perlahan.
“Abi udah bangun?” suaranya parau, nyawanya belum terkumpul.
Arham tersenyum, tangannya mengelus kepala gadisnya itu. Gadisnya itu sangat suka ketika kepalanya dielus, apalagi dengan penuh cinta seperti ini.
“Abi shalat ke mesjid sekarang ya. Kamu belum bisa shalat kan?”
Achi mengangguk. Ini hari ketujuh ia tidak shalat, maka selama tujuh hari ini Arham selalu shalat sendiri. Terkadang ia pergi ke mesjid untuk shalat berjama’ah disana, seperti subuh ini.
♥♥♥♥♥
Sehabis membersihkan kamar Achi meraih ponselnya.
Harus diskusi nih....
“Assalamu’alaikum... Rii, udah bangun?”
“Wa’alaikum salam, udah Beib, baru aja siap shalat. Kenapa?”
“Kangen...”
“Duh manjanya. Memangnya lelaki beruntung itu nggak bisa jadi penghilang kangen?” ledek Airin.
“Kenapa Chi? Tumben subuh-subuh udah nelepon?”
“Lagi galau nih, butuh saran....”
“Apa yang membuat mu menggalau di subuh tenang ini wahai Arsy Yulia Putri?”
“Coba deh Rii bayangin, udah hampir dua bulan Achi nikah, tapi Arham belum melaksanakan kewajibannya yang satu itu, Rii. Bahkan nggak pernah nyinggung soal itu. Apa ada yang salah sama Achi ya?”
Airin tertawa di sebrang. “Wowww.... Masih subuh udah disuguhi berita menarik nih...”
“Riichan, cuma sama Rii nih Achi bisa ngomong kayak gini. Ke mama aja Achi malu banget mau ngomongnya. Gimana dong Rii? What should I do?”
“Iya deh... Hmmm, coba Achi koreksi diri dulu, selama hampir dua bulan ini apa aja perkembangan yang terjadi di hubungan kalian. Pasti ada alasan yang buat Arham sampai sekarang belum menunaikan kewajibannya itu kan?”
“Apa ya Rii?”
“Coba Achi fikirin dulu...”
Hening....
“Ah!” Achi tersentak.
“Kalau bulan kemarin pasti karena kami masih di posko kan Rii? Tapi sekarang, udah dua minggu kami di Medan. Tinggalnya serumah, tidurpun sekamar kok. Trus apa masalahnya ya Rii?”
“Aku juga bingung Chi. Ada baiknya Achi diskusikan ke dia juga deh kayaknya. Soalnya kan belum tentu apa yang jadi pendapatku juga merupakan pendapat dia. Bisa jadi dia ngerasa Achi belum membuka diri untuk dia, atau dia ngerasa Achi masih sungkan sama dia. Kan banyak alasannya Chi.”
“Iya sih Rii. Memang Achi masih sungkan sama dia, sampe sekarang aja belum berani lepas jilbab di depan dia...”
“What???? Hampir dua bulan nikah belum lepas jilbab Chi?”
Refleks Achi menjauhkan ponsel dari telinganya. “Enggak pake teriak berapa Rii?”
“Astagfirullah. Abis Achi keterlaluan deh. Masak nikah hampir dua bulan belum lepas jilbab. Jadi tidur juga masih pake jilbab, Chi?”
Achi mengangguk.
“Jangan ngangguk, aku nggak bisa liat!”
Achi kaget, nggak bisa liat tapi tahu kalau dia lagi ngangguk. Riichan, Riichan...
“Aku jadi paham perasaan si Arham. If I am in his shoes, maybe I will do the same. Pastilah aku nggak bisa memenuhi kewajiban yang satu itu Chi, aku pasti ngerasa kalau istriku masih belum bisa membuka diri untukku. Gawat itu Chi.”
“Tapikan Achi udah bilang tentang perasaan Achi ke dia, Rii. Jadi setidaknya kan dia tahu kalau cintanya gak bertepuk sebelah tangan,”
“Itu enggak bisa dijadikan patokan kalau Achi udah siap untuk itu kan?”
“Iya sih.... Jadi Achi harus gimana?”
“Berubah! Udah pasti dong Achi harus mulai take action. Aku tahu susah banget buat buka jilbab didepan laki-laki yang baru kita kenal, Chi. But he is your husband! Dia punya hak atas itu, Chi. Bahkan kalau dia mau dia boleh maksa Achi, tapi nggak etis rasanya kalo dia pake acara maksa kan Chi?”
“Iya Riichan. So, should I do it now?”
“Ofcourse!”
“Bismillah lah kalau begitu. Achi coba, doakan yah Rii.”
“Iya Chi. Udah shalat belum nih?”
“Lagi PMR.”
Airin kembali tertawa. “Derita si Arham lah itu. Giliran istrinya udah mau nyoba buka diri malah lagi PMR.”
Achi mau tak mau ikutan tertawa mendengar temannya itu berbicara.
“Insya Allah ini hari terakhir kok Rii. Ya udah deh, Achi tutup dulu ya, my bebeb bentar lagi pulang dari mesjid kayaknya. Mau nyiapin sarapan.”
“Sipp. Good luck yah dear! Assalamu’alaikum...”
“Wa’alaikum salam warahmatullah....”
♥♥♥♥♥
Malam ini seperti malam-malam sebelumnya, Arham menghabiskan magribnya di mesjid, tidak tahu bahwa sang istri menantinya untuk magrib berjama’ah dirumah. Achi yang tidak memberitahu sang suamipun hanya bisa melengos ketika Arham pamit untuk berangkat ke mesjid.
Arham pulang dari mesjid menjelang isya. Tinggal di lingkungan baru membuatnya harus bersosialisasi dengan beberapa tetangga dan para tetua yang ikut shalat magrib berjama’ah malam itu.
“Assalamu’alaikum...” ucapnya ketika masuk kedalam rumahnya.
Tak terdengar sahutan. Iya menutup pintu dan sayup-sayup terdengar suara seseorang mengaji.
Loh? Sudah bisa shalat kok nggak ngabarin?
“Assalamu’alaikum sayang...” ucapnya lagi ketika melihat Achi sedang duduk di ruang shalat, sedang mengaji.
Achi menghentikan bacaannya sejenak, “Wa’alaikum salam Abi. Sini,” ia menepuk tempat kosong disebelahnya.
“Simak bacaan Achi yuk.”
Arham mengangguk dan mengambil Qur’an miliknya yang terletak di lemari gantung yang mengisi ruang shalat itu. Ia duduk di samping sang istri, menyimak apa yang dibacanya. Memperbaiki setiap kesalahan kecil yang dilakukan Achi. Sampai azan isya berkumandang, mereka shalat isya berjama’ah.
♥♥♥♥♥
“Kok nggak bilang udah bisa shalat? Kan bisa magrib bareng tadi.” Tanya Arham ketika mereka menyantap makan malam.
“Tadi mau ngajak Abi shalat bareng sih. Tapi Abi keburu pamit ke mesjid, ya udah deh, Achi shalat dirumah aja.”
“Ya Abi kan nggak tahu kalau kamu udah bisa shalat, lagian waktu ashar tadi juga belum shalat kan?”
“Udah ya!” Aci sewot.
“Waktu Achi selesai mandi tadi Abi kan di halaman, yang waktu Bang Saiful nelpon itu. Selesai mandi langsung shalat lah yaw!!”
“Iya, iya. Gitu aja langsung sewot.”
Achi terkekeh. Masih sensitif, maklum Pasca Menstruation Syndrome.
Sehabis makan malam, mereka menonton televisi bersama. Baru hari ini mereka bisa beristirahat total. Pekerjaan rumah semua sudah selesai, tidak ada lagi cerita mendekor ulang. Mama dan Papa Achi mengunjungi rumah mereka tadi siang. Hanya sebentar, mengantarkan buah-buahan dan bercerita sejenak.
“Mama sama Papa cuma sebentar aja Am, mau undangan dulu.” Terang sang mama.
Achi duduk bersandar di bahu Arham. Tangan Arham melingkar di bahunya. Sesekali mereka tertawa menyaksikan adegan lucu yang dilakoni para pemain film itu. Achi melihat jam, sudah hampir pukul sepuluh.
Achi mendongakkan wajahnya, menatap Arham,
“Bi, Achi udah ngantuk. Masuk duluan ya. Abi nonton sendiri nggak apa-apa kan?”
“Iya, nggak apa-apa.” Arham mengecup kening Achi dan melepaskan rangkulan tangannya.
Matanya kembali fokus ke siaran televisi.
♥♥♥♥♥
Seperti biasa sebelum tidur Achi menyempatkan diri untuk bersiwak dan berwudhu, biar lebih nyaman. Di kamar ia duduk di depan meja riasnya. Memandang sosok yang ada di cermin. Gadis dengan alis yang tipis, bukan karena di cukur atau dikikis, tapi memang sudah bawaan lahir, yang kepalanya terbungkus kerudung biru langit, senada dengan warna baju yang ia kenakan. Tangannya bergerak untuk membuka kerudung itu. Gemetar!
Berulangkali ia membaca surah-surah pendek yang dihapalnya luar kepala sambil sesekali beristigfar. Sampai terdengar pintu kamar dibuka...
“Loh, kamu belum tidur? Tadi katanya ngantuk.” Arham membuka pintu kamar dan melihat lampu kamar masih menyala.
“Achi.....”
Ia melongo. Terdiam melihat sosok yang sedang menyisir rambut ikal sepinggul di depan meja rias itu. Berbagai tanda tanya muncul di kepalanya. Mimpikah dia? Mengapa tiba-tiba kamarnya menjadi seharum taman bunga? Mengapa tiba-tiba ada bidadari duduk di sana.
Achi membalikkan badannya, membenahi poni yang sempat menutupi alisnya, memiringkannya ke samping kiri.
“Abi nanya apa tadi?”
Arham tergagap. “Hah?? Oh... itu...”
Achi berjalan mendekatinya, berhenti tepat di depannya, tersenyum.
“Abi tadi tanya apa?” tanyanya lagi.
Arham terdiam, kini matanya menatap tepat dibola mata sang istri. Memandangi wajah semanis gula itu. Achi yang dipandangi seperti itu menunduk malu. Diarahkannya tangannya yang mendadak dingin untuk menyentuh tengkuk Arham. Yang disentuhpun terpekik kaget.
“Auch!!!”
“Ngapain mandangin kayak gitu? Ntar jatuh cinta loh.” Ledeknya.
Arham tertawa mendengar ledekan Achi, ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Memang udah jatuh cinta kok! Malah sekarang tambah parah jatuhnya.”
Ia tersenyum, menyentuhkan tangannya ke pipi Achi. Mengelus lembut sampai si pemilik pipi berlesung itu memalingkan wajahnya, salah tingkah.
“Di pandangin kok buang muka.” Ia balik meledek Achi.
Diraihnya wajah Achi yang tertunduk dengan kedua tangannya,
“Sayang, malam ini izinkan Abi.....” ucapannya tertahan oleh jari Achi yang menutup bibirnya.
Achi menganggukkan kepalanya pelan.
“Bismillahi... Allahumma jannibnasy syaithana wa jannibisy syaithana ma razaqtana...” doa Arham mengalun pelan dan syahdu.
“Aamiin....” Achi mengamini.
Ya Allah, lindungilah Arham... Haramkan tubuhnya dari neraka-Mu ya Allah... Dia telah membahagiakanku, istrinya...
Arham memandangi wajah yang tertunduk itu. Jantungnya bertalu-talu. Sesuatu dalam dirinya menjerit-jerit menanti. Bulanpun bersembunyi dibalik awan hitam, malu melihat kemesraan yang diuntai mereka.
Biarkan mereka berjelajah, menapaki ruang-ruang kosong dijiwa, mengisinya dengan hangatnya kasih sayang dan cinta milik mereka berdua. Merasakan setiap detakan jantung yang bernyanyi. Menikmati setiap inci kesyahduan yang terasa hangat. Menyatukan setiap perbedaan yang ada, melantunkan syair-syair syukur nan indah. Menyudahi segala sesuatu bernama penantian, menggantikannya dengan kata indah bernama kebahagiaan...
♥♥♥♥♥
Ehemmm eheeemmm.....
Jangan mupeng yaaa, hehehe....