Terkadang
Orang suka bingung
Membedakan cinta sejati dengan ego, nafsu dan rasa tidak aman.
__Simon Cowell
♥♥♥♥♥
Inilah perjalanan paling melelahkan menurut Achi. Perjalanan pulang ke kampung suami tercinta. Perjalanan delapan jam dengan mengendarai sepeda motor. Bukannya tidak bisa mereka naik kereta api menuju kampung Arham, Rantau Parapat, namun mereka ingin menghabiskan waktu berdua di jalan, jadilah mereka memutuskan untuk mengendarai sepeda motor saja.
Lagi pula mereka merasa akan terlalu rumit kalau menaiki kereta api. Memikirkan siapa yang akan menjeput dari stasiun dan mengantar mereka ke rumah saja sudah membuat pusing, apalagi nanti ketika akan kembali ke Medan, siapa yang akan mengantar mereka kembali ke stasiun. Maklum lah, orangtua Arham belum memiliki kendaraan beroda empat yang bisa digunakan untuk mengantar dan menjeput keluarga besar yang datang ke kampung mereka.
“Kita makan siang dulu ya, perjalanannya tinggal dua jam lagi kok,” ujar Arham pada Achi yang terlihat sangat letih.
“Iya, Achi juga udah lapar,” Achi memukul perutnya yang memang dari tadi sudah minta diisi.
Arham tersenyum melihat tingkahnya itu. Achi memang sedikit manja, sensitif, namun sangat perhatian dan pengertian terhadapnya. Ia saja yang masih sering cuek pada istrinya itu.
Mereka singgah di warung makan pinggir jalan. Masih pukul setengah satu. Setelah menikmati makanan yang disajikan, mereka singgah ke mesjid untuk melaksanakan kewajiban zuhurnya.
Arham meminta waktu setengah jam untuk mengistirahatkan mata dan tubuhnya. Achi menunggunya sambil membuka Qur’an saku yang baru mereka beli kemarin. Setelah membaca dan mencoba menghafal beberapa surah, ia menelepon ke dua sahabatnya.
“Assalamu’alaikum....”
“Wa’alaikum salam. Duh yang manten baru, hari gini baru nelepon. Sombong amat...” teriak Nisya.
“Maklum lah Sya, namanya juga masa-masa berdua. Masak harus nelepon dirimu tiap hari. Eh bentar dulu ya, biar di konferhensi ke Airin. Kan udah lama nggak ngobrol bertiga.”
Achi membuka kontak dan mencari nomor handphone sahabatnya yang satu lagi. Menunggu beberapa saat sampai akhirnya panggilannya dijawab.
“Ah! Kangen banget sama kalian...” teriak Airin begitu Achi mengkonferhensi telepon mereka.
“Iya Rin. Kapan nih kita ketemuan?” tanya Nisya.
“Aku sakit nih beib. Cacar! Gila amat umur segini kena cacar, tersiksa banget rasanya beib,” keluh Airin.
“Innalillahi.... yang tabah ya Rii.” kata Achi prihatin. “Udah check ke dokter Rii? Coba minum air kelapa muda Rii, tapi yang asli ya, jangan yang udah dicampur, buat ngeluarin cacarnya,” sarannya.
“Emang bisa Chi?” tanya Nisya.
“Kemarin waktu PPL, temen Achi yang anak bahasa Indonesia kena cacar juga, trus dia minum air kelapa gitu, biar cepat keluar. Nggak sampe seminggu kok udah keluar semua cacarnya.”
“Iya lah, ntar suruh ayah nyarinya.” Kata Airin. “Eh, gimana yang kemarin Chi? Jadi buat surprisenya?”
Achi tertawa. “Riichan jangan ngomongin itu ah, malu tau!”
“Oooo... main rahasia-rahasiaan nih ya di belakang aku. Ayo, surprise apa Rin?” tanya Nisya penasaran.
“Jangan kasih tau Nisya, Rii, ntar heboh dia!”
“Ooo, gitu ya Chi. Nggak kawin kita!” repet Nisya.
“Memang nggak kawin kok kita, wlekkk...” ledek Achi.
“Ayo Rin, apaan? Kasih tahu aku dong..” bujuk Nisya pada Airin.
Airin tertawa, “Nisya mau tahu aja ih. Urusan rumah tangga nih...”
“Ah! Jahat kalian. Sombong!” rajuk Nisya.
“Jiaaahhh!! Merajuk si Icha.” Ledek Achi lagi.
“Kasih tahu aja yah Chi. Payah nih anak kecil, ntar ngambek nggak ada permen kita...” Airin ikut-ikutan meledek.
Setelah mendapat persetujuan Achi, ia pun menceritakan pembicaraan mereka di subuh yang cerah kemarin. Respon Nisya pun seperti yang telah diduga, ia juga shock mendengar Achi belum membuka jilbab di depan Arham setelah hampir dua bulan pernikahan mereka.
“Jadi sekarang juga masih belum, Chi?” tanyanya heboh.
“Udah lah Sya! Achi kan nggak gila. Kalo kemarin itu kan karena kami masih di posko, trus juga selesai PPL masih di rumah Mama, jadi segan aja. Selama udah di rumah sendiri, udah kayak biasa aja kok.”
“Jadi, udah doing something nih ceritanya?” goda Nisya.
“Ah Nisya! Yang itu nggak perlu ditanyain juga lah.... Ntar udah masuk kuliah baru Achi ceritain.” Achi menggaruk-garuk kepalanya yang terbungkus jilbab. “Kita masuk tanggal empat Februari kan?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.
“Iya. Cepat banget rasanya liburan ini. Belum puas awak di kampung udah harus pulang lagi ke Medan.” Keluh Nisya yang cepat sekali dialihkan perhatiannya.
“Doakan lah ya teman-teman, semoga masuk nanti cacarnya udah sembuh,” pinta Airin.
“Aamiin....” sahut Achi dan Nisya bersamaan.
♥♥♥♥♥
“Istirahat aja dulu Chi, kan perjalanannya jauh banget. Kamarnya udah Ibu beresin kok, udah ibu ganti seprainya,” ujar Ibunda Arham ketika mereka sudah tiba di rumah sang Ibunda.
“Iya Bu. Tadi udah sempat istirahat di mesjid kok,” ujar Achi tersenyum kepada ibu mertuanya itu. Ia meletakkan tas pakaian yang dibawanya ke dalam kamar yang sudah dibersihkan sang ibu mertua.
“Pantesan si Alan nyuruh Ibu beresin kamar Aam. Eh, rupanya kalian mau datang. Kok nggak ngabarin sih?”
Achi tertawa, “Mas Aam mau buat kejutan untuk Ibu sama Bapak katanya. Jadi Achi nggak boleh ngomong-ngomong deh.”
“Dasar kalian anak muda. Datangnya naik honda pula. Kan jadi capek banget kamu, Chi.”
“Nggak apa-apa kok Bu. Oh iya, ini titipan dari mama, Bu. Untuk Ibu sama Bapak katanya.” Achi mengeluarkan bingkisan yang diberikan sang mama saat mereka berkunjung kemarin. Sebuah batik pasutri.
“Waduh, makasih banget Chi. Ntar Ibu telepon langsung deh mama mu. Duh, jadi repot-repot.”
“Kemarin waktu ngantar Mas Bayu ke Australia, pulangnya si Mama singgah ke Jakarta, jadi bawain oleh-oleh deh. Sempat ragu juga apa yang untuk Bapak pas, tapi Papa bilang Bapak sama Papa kan sama besarnya, jadi ngikut ukuran Papa aja. Pas nggak Bu?”
“Pas kok ini buat Bapak mu. Iya, sebelum berangkat kemarinkan sempat ngabarin mama kamu.”
Achi mengangguk. “Yang ini buat Alan. Mas Bayu yang milih kalau ini, langsung dari Australia katanya.”
Ia menunjukkan jaket kulit yang dititipkan Bayu untuk Fadlan yang sedari tadi berdiri di depan pintu kamar sang kakak ipar.
Sejak menikah dengan Arham, yang menjadi dekat bukan hanya Achi dan keluarga Arham atau Arham dan keluarganya saja, tapi seluruh keluarga. Dimas dan Bayu merasa memiliki adik lagi selain Arham, yaitu Fadlan, adik lelaki Arham. Begitu juga dengan Fadlan, merasa memiliki dua orang abang lagi.
Fadlan membolak-balik jaket pemberian Bayu.
“Wah, Mas Bayu asyik banget ya Mbak bisa dapet beasiswa ke Australia. Pengen ikutan aku rasanya.”
“Makanya belajar yang rajin, Lan. Tamat SMA dengan nilai terbaik, ntar kamu masuk kuliah kan gampang,” ujar Ibu sambil menepuk pundak putra bungsunya itu.
“Ibu tenang aja. Pasti lulus dengan nilai sempurna anak Ibu ini,” ujar Fadlan berbangga diri.
“Aamiin...” Achi mengamini.
“Kemana Mas mu tadi, Lan?”
“Tadi nyari Bapak di ladang kayaknya Bu. Mas Aam ini aneh, baru sampe bukannya istirahat, malah ngeloyor ke ladang.”
“Mas mu itu kan nggak kayak kamu. Disuruh nemenin Bapak ke ladang malah ke kandang Bejo kamu,” Ibu mencubit gemas pipi putranya itu.
“Ladang kan panas Bu. Mending ngangon si Bejo aja, kan adem...” Fadlan mengelus pipinya yang terasa sakit akibat cubitan sang ibunda.
♥♥♥♥♥
“Kapan masuk kuliah, Am?” tanya Bapak ketika mereka makan malam bersama.
“Insya Allah tanggal empat Februari, Pak.”
“Jadi urusan PPL mu udah selesai semua?”
“Udah Pak. Paling tinggal nunggu nilai keluar aja. Baru ngurus KRS lah setelah itu.”
Achi menyantap makanannya dalam diam. Bapak mertuanya mirip seperti Arham ketika pertama bertemu, tegas dan cukup pendiam. Berbeda sekali dengan istrinya yang sifatnya mirip seperti mamanya sendiri, bawel dan sangat pengertian. Sesekali dipandangnya sang bapak mertua yang berbicara pada anak sulungnya itu.
Hmm, kumis bapak nyeremin deh, hihihi...
Ia beralih memandang sang suami, kalau Abi punya kumis kayak gitu, wajahnya jadi gimana ya? Pasti lucu..
“Ditambah lagi tumisannya, Chi...” tawaran sang ibu mertua menyadarkannya dari lamunan isengnya.
“Ah iya Bu. Kumisnya lucu....”
Hah!???? Semua mengalihkan pandangan kearahnya. Ia yang sadar telah salah bicara langsung menutup mulutnya.
“Kumis apa yang lucu Dek?” tanya Arham heran.
“Ah, nggak kok. Nggak ada kumis.....” Achi menunduk malu.
Fadlan yang paham maksud sang kakak ipar langsung tertawa. Dari tadi ia melihat sang kakak memperhatikan Bapak dengan seksama. Pastilah kumis Bapak yang dimaksud kakak iparnya itu.
♥♥♥♥♥
“Chi, besok teman-teman Abi ngadain reunian. Kamu ikut ya, biar sekalian Abi kenalin ke teman-teman. Selama ini kan yang kamu kenal cuma Saiful, Agus, sama Enda aja.” Kata Arham sambil membantu istrinya menyusun pakaian yang sudah disetrikanya ke dalam lemari siang itu.
“Teman-teman sekolah Bi?”
Arham mengangguk.
“Berarti ada Hafiza juga dong?” selidik Achi.
Arham melirik sang istri. Hmm, tumben nanyain mantan.
“Kalau ada juga kenapa memangnya?”
“Nggak apa-apa sih. Cuma pengen tahu aja. Kata Agus kan dia cantik banget, wong Abi sampe nangis karena harus mutusin dia.” Kata Achi santai, namun hatinya terasa perih.
“Itukan masa lalu Chi. Lagian kecantikan dia nggak ada gunanya kalau sifatnya seperti itu.” Arham mengelus kepala sang istri.
“Kalau misalnya Abi nggak mergokin dia dengan cowoknya itu, Abi masih mau sama dia?”
“Kenapa nanya gitu sih? Sekarang kan Abi udah sama kamu, titik.”
“Kan Achi cuma tanya, Bi. Lagian kata Enda dia udah minta maaf ke Abi setelah kejadian kepergok makan bakso dengan selingkuhannya itu. Abi nggak maafin dia?”
“Ya sempat Abi maafin sih. Tapi ternyata setelah itu dia pacaran dengan orang lain lagi. Dan kali ini bukan Abi yang mergokin, tapi Saiful dan Agus. Makanya mereka maksa Abi untuk mutusin dia.”
“Kalau nggak dipaksa mereka Abi tetap terima diselingkuhin?”
Arham melirik istrinya lagi.
“Mungkin, abis Hafiza cantik sih. Kan sayang punya pacar cantik tapi diputusin.”
Kau sengaja buat aku cemburu Bi.
Achi bangkit dari duduknya. Berjalan menuju dapur. Arham mengikutinya dari belakang. Rumah masih sepi, Fadlan masih di sekolah, ada les tambahan katanya. Bapak lagi di ladang, mengutip sawit. Si ibu sedang ngobrol dengan beberapa pembeli yang datang ke warungnya.
“Sayang ngambek ya?”
Achi mengisi gelas dengan air, ia duduk di kursi makan, meneguk airnya hingga habis.
“Ngapain ngambek?” Cuek.
Namun hatinya sedang membara, ia butuh banyak air untuk memadamkan baranya.
Arham menarik kursi di sebelah istrinya. “Kamu cemburu Abi bilang Hafiza cantik?”
“Nggak tuh. Biasa aja.”
Matamu nggak bisa bohong sayang. Kau cemburu.
“Beneran nggak cemburu?”
“Cemburu juga buat apa. Toh dia bukan siapa-siapanya Abi lagi kan?”
“Hmm... Iya sayang. Makanya kamu nggak perlu cemburu. Kamu jauh lebih cantik dari dia. Matamu, hidungmu, pipimu, bibirmu, dagumu, semua yang ada di kamu buat Abi jatuh cinta setengah mati. Kamu itu mutiara di dasar laut bagi Abi. Bunga mawar yang harumnya hanya abi yang bisa menghirup. Nggak bisa dibandingkan dengan dia lah.” Arham mengelus pipi istrinya.
Achi mencubit hidung Arham.
“Sejak kapan suami ku jago ngegombal? Belajar dari mana tuh?” ia berlari menuju kamarnya.
“Uuh... sakit tau sayang. Nakal kamu..” Arham mengejar istrinya dan memeluknya mesra ketika wanita yang dicintainya itu sudah tertangkap olehnya.
♥♥♥♥♥
Kayak ada manis-manisnya gituuu...
Jangan senyum-senyum sendiri yaaaaa...