3

1300 Kata
Pipin meremas jemarinya sendiri ketika sudah berada di depan pintu ruang Vania, bahkan lelaki itu sudah menerka-nerka pasti dirinya akan terkena omelan yang sudah kesekian kalinya dirinya dapatkan. Pipin membuang napasnya pelan lalu mengetuk pintu kaca itu sebanyak tiga kali. “Selamat siang bu,” sapa Pipin hanya sekedar basa-basi. “Duduk kamu!” perintah Vania sembari melepas kaca matanya. Pipin duduk di depan Vania,  badan Pipin gemetar hebat bahkan rasanya kaki pun sudah tidak bisa menopang berat badannya sendiri. “Pipin.” Vania memposisikan duduknya menjadi tegap sangat terlihat tegas. “Iya bu.” Pipin menjawab dengan wajah yang menunduk. “Jangan menjawab!” Vania memelototi Pipin hingga membuat lelaki itu tidak berani menatapnya. “Kamu tahu kesalahan kamu di mana, Pipin?” tanya Vania. Pipin terdiam hanya bisa menunduk. “Kalau saya tanya itu dijawab! Kamu itu tidak ada sopan santunnya sekali!” bentak Vania yang kesekian kali. ‘Katanya tadi nggak boleh jawab, giliran diturutin malah marah-marah. Memang dasar perawan tua,’ gerutu Pipin di dalam hati. “Pipin, apa suara saya kurang menggelegar di gendang telinga kamu?” tanya Vania semakin melayangkan tatapan tajam. “Apa perlu saya menaikkan nada suara saya?” sambung Vania bertanya. “Sudah bu!” jawab Pipin lantang dan mantap. “Jadi, secara tidak langsung kamu mengatai saya cempreng?” tanya Vania lagi. Nadanya tidak suka. ‘Ya Allah, gini amat punya guru,’ gerutu Pipin lagi-lagi di dalam hati. “Bu, saya minta maaf. Saya khilaf lagi. Mohon maafkan saya bu,” ucap Pipin dengan kepala tertunduk. Vania memajukan kursinya semakin mendekat. “kamu sudah tahu kesalahan kamu ternyata.” ‘Kan tiap gua dipanggil masalahnya selalu sama,’ batin Pipin. “Iya bu, saya sangat paham kesalahan saya di mana. Karena ….” “Karena masalah kamu selalu sama, kalau tidak bolos, merokok dan berpakaian tidak rapih. Itu kan masalah kamu?  Pipin …” Vania menghentikan ucapannya sejenak sembari menghirup oksigen sebanyak-banyaknya kemudian dihembuskan secara perlahan. “Saya sangat berharap ketika kamu dipanggil keruangan ini tidak membahas tentang masalah pelanggaran kamu. Jujur saja saya ini sudah kenyang melihat wajah kamu, Pipin.” Pipin hanya mengangguk-anggukan kepalanya, menyimak secara seksama semua ucapan Vania. “Pipin, apa kamu belum pernah merasakan buku jurnal saya ini melayang di kepala kamu?” tanya Vania lagi yang sudah siap-siap mengangkat buku tebal itu. Pipin tetap mengangguk-anggukan kepalanya, nampaknya lelaki itu belum sadar juga jika keselamatan kepalanya mulai terancam. “Jadi kamu ingin merasakan buku Jurnal saya mendarat di kepala kamu?!”  Vania membelalakan matanya lebar. Sontak Pipin menggelangkan kepalanya kuat hingga membuat rambutnya pun ikut bergoyang mengikuti irama gelengannya. “Tidak bu.” Vania kembali menghembuskan napasnya pelan. “Kamu keluar dari ruangan saya!” perintah Vania sembari menunjuk pintu kaca itu. rasanya menghadapi Pipin mampu membuat tekanan darahnya naik. “Saya nggak dikasih hukuman bu?” Pipin bertanya seperti tidak percaya, Vania menyuruhnya keluar tanpa perintah hukuman. “Rasanya percuma saja jika saya memberi kamu hukuman Pipin.” Vania berbicara lantang. “Alhamdulillah, terima kasih bu Vania yang paling cantik, bahenol. Saya pamit keluar dulu ya bu.” Vania hanya diam, percuma saja meladeni ucapan Pipin yang begitu ajaib. Mengadapi murid seperti Pipin memang membutuhkan kesabaran yang ekstra. *** Kinan berjalan mengikuti seorang gadis berbando biru dengan kipas di tangannya dengan warna senada seperti bandananya. Kinan nampak sabar ketika gadis itu jalan berlenggak-lenggok bak model di hadapannya. “Lo mau bawa gua ke mana sih?” tanya Kinan yang masih mencoba meningkatkan kesabarannya. Gadis berbandana biru itu menoleh dengan angkuhnya. “Tinggal ikut aja apa susahnya sih,” ucapnya sinis. Kinan menghala napasnya palan sembari berjalan di belakang gadis berbandana itu. Perasaan Kinan nampak tidak enak ketika sampai di salah satu ruangan kosong. “Des, kita ngapain ke sini?” tanya Kinan. Gadis yang bernama Desi itu menoleh, mata belonya menatap Kinan tajam. “Tinggal ikut apa susahnya sih,” ucap Desi sembari mengibaskan rambut ikalnya yang dibiarkan tergerai. “Masuk!” perintah Desi membuka pintu ruangan kosong itu. “Des, lo jangan macem-macem ya.” Mata sipit Kinan menatap Desi tajam. Desi mendorong tubuh Kinan hingga terjatuh ke lantai yang kotor penuh debu itu. “Lo gila ya, gua punya masalah apa sih sama lo?” tanya Kinan sembari berdiri dan memberishkan rok abu-abunya yang penuh dengan debu. Desi berjalan mengelilingi Kinan sembari mengibaskan kipasnya. “Gua nggak punya masalah sama lo sih, tapi ....” “Gua yang punya masalah sama lo!” Suara lantang itu membuat Kinan menatapnya. “Kenapa?” tanya Jesika—teman Desi. Dengan senyum meledek khasnya. Gadis bertubuh ramping itu menghampiri Kinan. Tangan lentiknya mengusap permukaan Kulit Kinan yang halus. “Jangan deketin Gavin lagi, kalo lo masih mau lulus di SMA Paripurna Negara.” Mata Downturnednya menatap Kinan penuh dengan kebencian. Kinan tersenyum sinis. “Gua rasa lo udah lama ya sekolah di SMA Paripurna Negara dan  seharunya lo juga udah tau kalo gua ini ketos di sini, berhak mengatur sesuai dengan peratruran sekolah. Jadi, nggak ada salahnya gua menegur Gavin yang selalu saja melanggar peraturan sekolah.” Jesika tertawa keras. “Nggak usah bersembunyi dibalik gelar ketos deh. Lo jadi ketos juga hasil dari curang.” “Jes, dari awal gua udah pernah bilang, kekalahan lo itu bukan salah gua kita juga udah pernah membahas masalah ini dan lo juga udah setuju untuk berdamai.” Jesika tertawa sinis, “Kalau bukan gara-gara bu Momina, gua nggak akan pernah maafin lo sampai kapan pun.” Jesika dan Kinan memang sudah bermusuhan dari dulu, dari pemilihan ketua osis baru. Karena menurut Jesika, kekalahannya adalah hasil dari kecurangan Kinan. Namun, kenyataannya tidak seperti itu. Karena kekalahan Jesika berasal dari dirinya sendiri yang angkuh dan membuat siswa-siswi enggan memilihnya.   “Sekarang mau lo apa?” tanya Kinan dengan berani. “Yang gua mau, lo harus berhenti cari perhatian sama Gavin dan seluruh guru yang ada di sini. Gua muak liatnya.” “Gua cari perhatian? Cari perhatian yang gimana maksudnya? Gara-gara suka bawa laporan kelakuan anak-anak? Orang bodoh pun tau kalo itu bukan cari perhatian, tapi itu adalah kewajiban gua selama jadi ketos di SMA Paripurna Negara.” Jesika berjalan mengitari Kinan sembari memainkan rambutnya dengan senyum sinisnya. Sedangkan Kinan, gadis itu hanya diam mengamati gerak-gerik Jesika. Jesika mendorong tubuh kecil Kinan sampai gadis itu terhuyung ke depan. Dengan teganya Jesika menjambak rambut Kinan sampai membuat gadis itu mendongak. “Lepas Jes, sakit,” ucap Kinan meringis menahan sakit sembari tangannya mencoba melepaskan tangan Jesika dari rambutnya. Jambakkan Jesika semakin menguat hingga wajah Kina terlihat memerah akibat kepalanya berdenyut nyeri. “Lo tau gua orangnya nekat, tapi dengan beraninya lo main-main sama gua, Kinan.” Jesika melepaskan jambakannya membuat kepala Kinan terhuyung ke depan nyaris tersungkur ke lantai kramik berdebu itu. Jesika kembali berjalan mengitari Kinan dengan tatapan mencemooh seolah Kinan adalah kotoran yang paling najis di muka bumi ini. “Kinan, Kinan. Emangnya lo nggak capek apa bersaing sama gua? Udah jelas-jelas derajat sosial kita itu jauh berbeda. Gua bisa aja membuat sesuatu yang bisa buat lo terhempas dari SMA ini,” ancam Jesika. Kinan terkekeh geli, “Tenang aja, gua nggak lupa kok soal itu. Gua juga tau ayah lo donatur terbesar di sekolahan ini, jadi lo nggak usah takut kalo gua lupa masalah itu,” ucap Kinan dengan beraninya. Jesika memincingkan sebelah matanya, tangan letiknya mencengkaram  rahang Kinan sampai kepalanya mendongak.“Ingat kata-kata gua, sampai kapan pun gua nggak akan berhenti mengusik hidup lo. Camkan itu, anak kampung!” ucap Jinan mendelik tajam. Kinan tetap terkekeh geli, “Terserah kalian para golongan anak orang kaya, gua emang anak orang miskin, tapi setidaknya hati gua nggak melarat kaya lo.” Jinan menggertakkan giginya lantaran kesal dengan ucapan Kinan yang membuat hatinya tersinggung. Jesika melepaskan cengkramannya, Kinan mengusapnya lembut untuk menghilangkan rasa nyeri di sana. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN