1
Seorang gadis bermata sipit itu terlihat tengah berjalan menuruni anak tangga untuk menuju pintu gerbang sekolah. Sudah rutinitasnya menjadi seorang ketua osis di SMA Paripurna Negara untuk mendisiplinkan siswa-siswi yang memang tidak pernah mematuhi peraturan yang sudah dibuat sedemikian rupa oleh pihak sekolah.
Gadis pemilik bibir tipis itu selalu saja mengeluarkan kata-kata pedasnya jika ada saja seorang siswa maupun siswi yang sengaja melanggar peraturan yang telah dibuat.
Rambut sepanjang lehernya disisir dengan begitu rapih hingga membuat karisma seorang ketua osis sangat terpancar jelas di sana.
“Kenapa kamu memakai sepatu warna biru? Kamu mau kesekolah atau mau mengikuti acara festifal?” ucapnya dengan begitu pedas dan tegas.
Adik kelas yang ditegurnya itu hanya bias menundukkan kepalanya, tidak berani membantah jika sudah berhadapan dengan ketua osis yang satu itu.
“Kenapa kamu diam? Tidak punya mulut untuk menjawab?” lagi-lagi layangan kata pedas itu membuat siswi yang berada di hadapannya tidak bias berkutik.
“Jalan jongkok sekarang juga!” perintahnya tegas.
Siswi itu hanya hanya bias menurut, mengambil posisi jongkok lalu berjaklan dari tiang bendera menuju pintu gerbang. Bolak-balik sampai tiga kali.
“Kinan!”
Teriakan itu mampu membuat gadis yang mempunyai mata sipit dan rambut sepanjang legernya itu menoleh kebelakang mencari arah sumber suara itu.
“Kenapa?” tanyannya.
“Gua masuk dulu ya, lo masih lama ‘kan?” tanya gadis itu.
Kinan hanya mengangguk dengan senyum manisnya, namun masih saja terlihat aura ketegasan dari gadis itu.
Mata Kinan terpusat pada seorang pria yang menggunakan baju seragam sama dengannya tengah berjalan menuju pintu gerpang sekolahnya. Mata sipit Kinan menatap tajam lelaki itu yang berjalan dengan gaya tengilnya yang mampu membuat Kinan geram. Ditambah lagi rambut bergaya Slick Backnya itu membuat Kinan bertambah geram.
“Lo anak baru?” tanya Kinan tatapannya datar ketika dengan ringannya lelaki itu mengeluarkan baju seragamnya sehingga penampilannya terlihat sangat berantakan.
“Lo niat sekolah atau mau jadi model rambut papan atas di salon?” tanya Kinan sinis. Mata sipitnya meneliti penampilan lelaki itu dari atas sampai bawah membuat Kinan menggelengkan kepalanya. Kinan heran masih saja ada siswa yang berpenampilan urakan layaknya seorang preman pasar dan bisa menginjakkan kakinya di sekolahan seelit SMA Paripurna Negara.
‘Dasar orang kaya,’ cibir Kinan di dalam hati.
Lelaki itu berdecak mengejek, “Emangnya kenapa sih? Masa-masa sekolah itu harusnya bebas kaya gua, mumpung masih dikasih umur panjang,” ucap lelaki itu seringan kapas.
Kinan mendelik tajam, “Terus kalo sekarang lo mati, apa lo masih sempat benerin tingkah lo yang urakan ini?” tanya Kinan lagi dengan nada yang sinis.
“Lo sih terlalu menaati peraturan sekolah. Ini lagi, kenapa bajunya dimasukin, segala pake dasi. Lepas dong, nanti lo nyesel baru tahu rasa jadi anak disiplin,” cerocos lelaki itu.
“Jalan jongkok!” perintah Kinan tegas.
“Kalo gua nggak mau gimana?” tanyannya sembari merapihkan rambut model Slock Backnya.
Jemari Kinan terkepal erat, “Lo anak baru, tapi udah bikin ulah aja.”
“Terserah gua dong, hidup-hidup gua kenapa jadi lo yang ribet?” cowok itu langsung melenggang pergi meninggalkan Kinan yang masih mencoba meredamkan amarahnya.
Bel masuk telah berbunyi, Kinan kembali ke kelasnya dengan perasaan kesal setengah mati. Moodnya sangat buruk ketika bertemu dengan cowok berpenampilan preman tadi.
“Lo kenapa sih Nan? Nggak biasanya lo dateng-dateng bibirnya maju begitu?” tanya Della—sahabat sekaligus teman satu bangku Kinan.
“Kesel gua, ada anak baru dan ngelunjaknya nggak kira-kira,” keluh Kinan sembari meneguk air putih yang biasa dirinya bawa dari rumah.
Della mengubah duduknya menjadi menghadap Kinan. “Ada yang berani sama kegalakan kotos SMA Paripurna Negara?” tanya Della sangat terkejut.
Kinan menyelipkan rambutnya di balik telinga. “Iya, dan lebih parahnya secara terang-terangan dia ngeluarin bajunya di depan gua. Nggak taat peraturan banget.” Lagi-lagi Kinan mengomel kesal.
“Ya udah sabar dong, namannya juga manusia pasti punya sifat dan kepribadian yang berbeda-beda.” Della mengusap bahu Kinan untuk meredamkan emosi sahabatnya itu.
Tidak berselang lama Momina—wali kelas XI datang lalu disusul oleh seorang lelaki dengan lesung pipit yang bertengger di pipinya yang mulus. Semua siswi yang berada di kelas terlihat mengagakan bibirnya karena terlalu terpesona dengan ketampanannya. Namun, berbeda dengan Kinan, gadis itu nampak kesal dengan kemunculan lelaki itu.
“Gavin, silahkan kamu memperkenalkan diri!” perintah Momina.
Gavin mengangguk, lalu berjalan sedikit bergeser kesamping hingga posisinya tepat berada di depan papan tulis.
“Hai, semua. Perkenalkan nama saya Adibrata Gavin, bisa dipanggil Gavin,” ucap Gavin lantang penuh kewibawaan. Penampilannya saat ini sudah kembali rapih, baju yang awalnya dikeluarkan kini sudah dimasukkan kembali. Rambutnya yang berantakan saat ini sudah tertata dengan benar.
“Nan, gila ganteng banget,” puji Della matanya tidak berkedip.
Kinan mengusap wajah Della kasar. “Matanya mohon dikondisikan. Itu cowok tadi pagi yang bikin mood gua buruk,” ucap Kinan menatap sengit ke arah Gavin yang kebetulan juga menatapnya meledek.
“Seriusan lo?” Della bertanya tidak percaya.
“Menurut lo, gua pernah bohong apa nggak?” tanya Kinan penuh kekesalan.
Della menggaruk kepalanya yang terasa gatal. “Ya maaf, jangan marah sama gua.”
Kinan hanya berdehem, lalu kembali menatap Gavin yang masih berada di depan papan tulis kelas.
“Gavin, silahkan kamu duduk di belakang Kinan!” perintah Momina.
“Baik, bu.” Gavin berjalan lalu duduk di belakang Kinan. Seperti apa yang diperintahkan oleh Momina.
“Oh, nama lo Kinan ternyata,” ucap Gavin berbisik di depan telinga Kinan, hingga hembusan napas lelaki itu terasa panas menyapu permukaan kulit lehernya.
Della menatap Kinan dan Gavin secara bergantian, gadis itu bingung sekaligus kepo tentang apa yang Gavin bisikkan pada Kinan. Sampai membuat sahabatnya itu kembali mengggertakkan giginya.
“Nan, gua saranin lebih baik lo ngadep ke depan deh,” bisik Della. “Lihat tuh, cabe keriting udah liatin lo dari tadi,” sambung Della dengan bisikan pula.
Jabatan sebagai osis memang tidak selalu membuat nama Kinan baik, ada saja siswa atau siswi yang selalu ingin menjatuhkannya bahkan ada saja yang mencaci dan memakinya. Namun, Kinan tetaplah Kinan, yang terlalu acuh dengan ucapan mereka yang selalu berucap jelek tentrangnya.
“Nan, lo nanti mau istirahat nggak?” tanya Della sembari membereskan buku-bukunya dimasukkan ke dalam tas karena jam istirahat telah tiba.
“Enggak deh, gua mau razia dulu. Gua curiga sama warung yang ada di belakang sekolah,” ucap Kinar.
“Kinan, lo juga butuh asupan gizi. Kasian tubuh lo yang udah kurus semakin kurus.” Della menatap penampilan Kinan dari atas sampai bawah seolah tengah menilai.
Kinan berdecak kesal, “Emangnya kenapa sih? Tugas itu harus dijalankan harus sesuai dengan janji.”
“Iya gua tahu, tapi kasian perut lo, gua yakin dari tadi pagi itu perut belum keisi.”
“Udah, gua mah gampang. Lo ke kantin sana. Gua mau kebelakang gedung sekolah.”
Della menatap kepergian Kinan dengan gelengan kepala. Kinan memang siswi yang teladan dan berprestasi, namun terkadang gadis itu juga sering kali melupakan kondisinya yang jauh lebih penting di atas apa pun.
Kinan berjalan dengan langkah berani ke sebuah warung belakang sekolah, sekilas warung itu memang nampak biasa-biasa saja, namun ketahuilah, di dalamnya banyak sekali anak pelajar yang merokok di sana. Kinan memang sudah lama mengintainya, tapi baru sekarang dirinya mempunyai waktu untuk melakukan penggerebekan.