“Mau lo apa sih?” tanya Kinan dengan mata yang mendelik tajam. Wajahnya memerah menahan kesal.
“Gua cuma mau memastikan kalo lo itu baik-baik aja di kamar mandi,” ucap Gavin dengan gaya tenangnya.
Kinan mencoba memberontak ingin melepaskan cekalan Gavin di tangannya yang semakin mengerat. “Lepas Vin, nggak ada gunannya lo nahan gua di kamar mandi kaya gini.” Kinan menatap Gavin tajam.
Gavin berdecak kagum ketika melihat wajah Kinan yang berkali-kali lipat lebih cantik ketika marah. “Kinan, lo itu tambah cantik kalo lagi marah kaya gini. Coba aja lo sedikit senyum buat gua, pasti cantik lo bertambah lagi.”
Kinan menatap Gavin semakin tajam. Lelaki seperti Gavin memang mempunyai tembok yang tebal untuk menangkis semua ucapan pedas milik Kinan. Seorang Gavin tidak akan menyerah jika misinya belum juga terselesaikan dan Kinan tahu itu semua ketika pertama kali menghadapi sikap Gavin yang terkesan meremehkan.
“Kin, apa susahnya sih senyum dikit aja buat gua? Apa sejelek itu gua di mata lo?” tanya Gavin menatap Kinan lekat. Kaki panjangnya maju satu langkah dan itu membuat Kinan harus mundur beberapa langkah. Hingga Kinan menyadari bahwa tubuhnya sudah terhimpit di antara dinding dan tangan kekar Gavin yang sudah mengungkungnya. Napas panas milik Gavin dengan tidak sopannya menyapu permukaan kulit wajah Kinan hingga terasa hangat dan bau mintnya terasa begitu segar di indera penciuman Kinan.
Suara terpukan tangan yang berasal dari belakang membuat Gavin harus memundurkan langkahnya dan melepaskan kungkungannya.
“Wow, kelakuan ketos yang katanya amanah dalam menjalankan tugasnya. Ternyata kelakuannya seperti ini … sama kaya ibunya, suka gangguin laki orang. Emang dasarnya, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Ups,” ucapnya sembari menutup bibirnya dengan tagannya sendiri di akhir kalimat. “Kenapa? mau marah?” tanyannya lagi ketika melihat wajah Kinan memerah akibat menahan emosi. “Udah deh, keturunan penggoda memang udah biasa keganjenan atau jangan-jangan lo sekolah dibiayain sama om-om hidung belang ya, yang sengaja sewa lo buat jadi teman tidurnya. Iya?”
“Jaga mulut lo!” Kinan menunjuk Jesika dengan tajam dengan mata yang memelotot tajam pula. “Jangan sekali-kali lo hina ibu gua, karena lo nggak tahu masalah yang sebenarnya itu gimana,” ucap Kinan lagi-lagi dengan jari yang masih menunjuk Kinan. “Asal lo tahu, gua bisa cari uang sendiri tanpa mengandalkan orang tua kaya lo, dasar anak manja! Bisa hidup juga dengan uang orang tua.” setelah bercap sepedas itu, Kinan langsung melenggang pergi meninggalkan Jesika dan Gavin.
Jesika menghentakkan kakinya kesal karena ucapannya selalu saja dimenangkan oleh Kinan. Jesika menggertakkan giginya ketika mengingat bagaimana beraninnya Kinan menunjuk dirinya tajam. Jesika tidak terima diperlakukan demikian oleh rakyat rendah seperti Kinan.
Gavin menatap Jesika sekilas lalu melenggang pergi meninggalkan gadis itu sendirian di toilet sekolah.
Jesika yang melihat Gavin meninggalkannya sendiri berdecak kesal dan kembali menghentakkan kakinya di lantai kamar mandi dengan kesal. Jesika meneliti keadaan sekitar ternyata gadis itu baru menyadari bahwa dirinya tengah sendirian di toilet itu. Tanpa berpikir panjang Jesika pun juga ikut melenggang pergi menuju kelasnya.
Jam pelajaran hari ini telah usai, saatnya para siswa dan siswi pergi meninggalkan sekolah dan kembali ke rumahnya masing-masing. Begitu pun dengan Kinan dan Della, ke dua gadis itu tengah membereskan buku-bukunya dan dimasukkan ke dalam tas mereka masing-masing. Tidak lupa rutinitas setiap pulang sekolah yaitu membersihkan ruang kelas terlebih dahulu, hari ini adalah giliran Kinan. Setelah selesai membereskan bukunya, Kinan beralih memegang sapu dan mulai menyapu ruangan kelasnya hingga bersih dan Della setia menunggu sahabatnya di dalam kelas.
“Udah selesai, Nan,?” tanya Della yang melihat Kinan meletakkan kembali sapu lantai pada tempatnya.
“Udah,” jawab Kinan. Gadis itu memekai tas ranselnya bersiap-siap untuk keluar dari kelas. “Udah yuk kita pulang.” Kinan berjalan mendahului Della kemudian Della mengikutinya dari belakang.
Suasana di koridor sekolah sudah terasa sepi, hanya ada Kinan dan Della yang berjalan di sana dan tak lupa beberapa anak basket yang juga tengah berlatih di lapangan yang telah disediakan.
Kinan dan Della berjalan beriringan, sesekali ke dua gadis itu bercanda dan tertawa lepas bersama.
Di sebrang sana tanpa Kinan sadari ada sepasang mata yang melihatnya tanpa berkedip. Takjub dengan ciptaan tuhan yang satu itu, begitu cantik ketika tertawa lepas. Seseorang itu tersenyum melihatnya tanpa disadari. Seseorang itu masih saja menatap Kinan sampai tubuh gadis itu sudah keluar dari pintu gerbang dan tubuh mungilnya sudah tidak terlihat.
“Nan, kita pisah sampai di sini ya.” Della melambaikan tangannya sebagai tanda perpisahan untuk hari ini.
“Hati-hati di jalan Dell,” ucap Kinan sembari membalas lambaian tangan Della.
Kinan berbelok pada jalanan gang sempit yang terhimpit diantara rumah-rumah warga. Suara bising dari mulut penduduk sekitar dapat Kinan dengar dengan jelas. Jalanan menuju rumahnya memang seperti ini, kumuh, sempit, dan terhimpit. Namun, beginilah adanya rumah Kinan pun tidak jauh berbeda dengan warga yang tinggal di gang sempit itu.
Banyak sekali anak-anak yang tengah berlarian kesana kemari di tengah-tengah jalanan sempit itu. Hingga sesekali tubuh kecil Kinan terhuyung kebelakang akibat anak-anak itu tidak sengaja menabraknya.
“Hey, hati-hati!” peringat Kinan. Tubuh gadis itu bersandar pada dinding rumah akibat salah satu anak tidak sengaja menabraknya.
Setelah di rasa keadaan kembali tenang, Kinan kembali melanjutkan perjalanannya menuju rumahnya. Ketika sudah sampai ujung gang, Kinan melihat segerombolan anak remaja dengan sebatang rokok yang mereka hisap terngah tertawa lepas di dana. Kinan menghentikan langkahnya sejenak untuk memastikan bahwa ada orang lewat selain dirinya, namun nahas, tidak ada siapa-siapa kecuali dirinya dan para gerombolan anak remaja itu. Dengan langkah berani Kinan menuju ujung gang. Perasaan Kinan menjadi tidak enak.
“Wow, anak cantik mau kemana?” tanya salah satu di antara mereka yang sudah bangkit dari duduknya dan maju beberapa langkah menghampiri Kinan.
Kinan memundurkan langkahnya, menjauh dari preman remaja itu yang tubuhnya penuh dengan tato dan tindik di area wajahnya.
“Jangan takurt manis. Kita nggak nakal kok,” ucapnya lagi dengan seringaian.
Mata sipit Kinan terus menatap preman itu penuh waspada. Gang ini benar-benar sepi, Kinan sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa sekarang. Preman yang lainnya pun juga sudah bangkit dari duduknya berjalan mendekati Kinan dengan perlahan. Kinan semakin memundurkan langkahnya dengan tatapan masih waspada.
“Ayolah cantik, jangan galak-galak.” Preman itu menyentuh tengan Kinan, namun Kinan menepisnya kasar.
“Wow, menantang sekali gadis SMA ini. Nggak usah takut, kita nggak akan nakal sama kamu kok,” ucapnya lagi diiringi tawa yang semakin membuat tubuh Kinan mengeluarkan keringat dingin.
Kinan meremas jemarinya sendiri ketika tubuhnya terbentur sesuatu yang membuatnya berhenti melangkah mundur. Dilihatnya sebuah dinding yang dilapisi dengan lumut berwarna hijau tua ternyata menjadi masalah utamannya.
“Udah mentok, cantik.” preman itu menyentuh pipi halus milik Kinan. Kinan langsung memalinglan wajahnya untuk menghindar.
“WOY! BANCI LO SEMUA!”
Teriakan itu mampu mengalihlan semua mata lalu menuju padanya. Begitu juga dengan Kinan.