“Ya Allah, Nao, apa yang terjadi?”
Begitu ditelepon Naomi, Ayu gegas pergi. Suara tangisan yang tersedu-sedu menyirat luka yang sangat dalam. Tapi Ayu tidak menemukan jawaban karena Naomi hanya minta agar dirinya segera menjemputnya di halte.
“A—aku diusir, Yu.” Tangisan Naomi kembali pecah. Dia memeluk erat tubuh sahabatnya.
Terlahir dari keluarga non islam, Naomi hampir tidak pernah bertemu keluarganya lagi selama 3 tahun. Awal mula keputusannya untuk pindah agama, tentu ditentang keras, namun seiring berjalan waktu, semua anggota keluarga dapat menerima keputusannya. Hanya saja mereka tidak lagi bertemu, hanya melalui sambungan telepon saja jika rindu, karena orangtua Naomi sudah menjadi warga Jerman, sedangkan Naomi warga Indonesia. Selain itu, pernikahannya dengan Sakhi membuat penghalang untuk dirinya pergi menemui orangtua dengan alasan Sakhi takut Naomi akan kembali pada agama semula.
“Ayu, bawa Nao masuk ke mobil! Kasihan dia kedinginan,” seru suaminya Ayu, Bagas.
Ayu manut, lekas menuntun sahabatnya masuk ke dalam mobil. Ada banyak hal yang ingin ditanyakan, namun kode mata yang diberikan oleh suaminya membuat dia mengurungkan diri.
Bagas melarang Ayu menginterogasi Naomi di jalan karena suasana sedang tidak mendukung. Bagas hanya ingin membiarkan Naomi menenangkan diri untuk sejenak. Dia yakin, suatu masalah besar sedang menimpa sahabat dari temannya.
Mobil terus melaju menuju kediaman suami istri yang baru menikah itu, tidak ada satu patah kata pun yang terucap. Keheningan ini hanya pecah dengan suara sesenggukan Naomi, dan Ayu hanya bisa melihat dari spion tengah.
Apa yang sebenarnya kamu lalui, Nao? Kenapa kamu begitu terpukul? Ayu hanya bisa bertanya dalam hatinya. Ayu dapat merasakan kepiluan Naomi, sehingga hatinya teriris-iris sembilu.
Begitu tiba di kediamannya, Ayu membawa Naomi masuk dan menempatkan di kamar tamu.
“Mas, aku—”
“Tidurlah dengan Nao! Dia butuh kamu sekarang,” ucap Bagas yang sudah tahu keinginan istrinya.
“Terima kasih, Mas.” Ayu tersenyum bahagia.
Bagas mengangguk pelan, dia gegas beranjak pergi meninggalkan istri dan sahabatnya untuk menghabiskan waktu berdua.
“Minum dulu!” Ayu menyuguhkan segelas air putih untuk Naomi, yang segera diambil dan diteguk sedikit.
“Kamu boleh kok cerita sama aku.”
“Mas Sakhi selingkuh, Yu.” Baru satu kalimat dia ucapan, air mata kembali tumpah membasahi pipinya yang belum kering.
“Astagfirullah, kok bisa?” Ayu terperanjat, menatap nanar wajah Naomi.
Dalam isak tangis, Naomi menceritakan awal mula dia mendapati chat m***m suaminya hingga berujung pada lamaran dan akhirnya dia diusir hanya karena dia yang tidak bisa menahan diri untuk tidak menjawab dengan kalimat pedas.
“Astagfirullah. Benar-benar biadab mereka. Dea sama sekali gak tau diri. Sudah ditolong malah ambil suami orang. Sakhi pun t***l. Harusnya dia bersyukur punya istri sepertimu, Nao. Dia lupa apa dengan pengorbananmu selama ini? Itu mertuamu kenapa ikut campur segala? Benar-benar keluarga toxic,” cerocos Ayu geram dengan perilaku mereka.
“Jadi memar di pipimu ulah Sakhi?”
Naomi mengangguk pelan.
“Astagfirullah, Nao, sama sekali gak bisa dibiarkan. Kamu harus lapor ke polisi dengan tindakan KDRT. Sudah, Nao, kamu gak perlu menangis lagi. Kita balas mereka yang sudah menyakitimu,” imbuh Ayo semakin meradang.
Dia sama sekali tidak menyangka jika sikap baik yang ditampilkan oleh Sakhi adalah bohongan belaka. Padahal dulu dia selalu kagum dengan keromantisan Naomi dan Sakhi, ternyata di balik itu ada harga yang harus dibayar.
“Sebaiknya kamu tidur dulu! Besok kita akan pikirkan lagi, cara apa yang harus kita lakukan untuk membalas perbuatan mereka.”
“Pinjamkan piyama! Gak barang apa-apa yang aku bawa selain tas kecil ini.”
“Akan aku ambilkan.” Ayu menegakkan tubuhnya, melangkah pergi ke kamarnya yang ada di lantai atas. Dia mengambil satu set pakaian tidur lalu membawanya pada Naomi. Setelah itu dia pergi lagi menemui suaminya dan menceritakan apa yang telah dialami Naomi.
“Ini namanya KDRT. Kita bisa membuat laporan ke kantor polisi. Sertakan bukti visum, Sakhi bisa langsung diproses hukum,” ujar Bagas memberikan solusi.
“Aku juga sudah bilang sih tadi … aku tuh gak nyangka banget tau, Mas, bisa-bisanya Sakhi itu selingkuh sama Dea. Bahkan, tega pukul istri hanya gara-gara Nao meluapkan apa yang dirasa.”
“Dalam menjalani rumahtangga mana ada yang mulus, Ayu. Ujian itu selalu ada untuk mengukur kesabaran kita. Jika tidak sabar ya ujung-ujungnya pisah.”
Ayu menyimak dengan sangat tekun. Bahkan kedua matanya tidak berkedip sama sekali.
“Ada apa?”
“Aku harap, Mas, gak akan pernah main perempuan, apalagi main tangan. Jujur, aku sama sekali gak akan sanggup.”
Bagas terkekeh mengusap kepala istrinya. “Berdoalah sama Allah supaya mata, telinga, pikiran dan hati hanya bisa mengingat wajahmu.”
“Kalau mengandalkan doaku, berarti ada niat untuk selingkuh ya?” selidik Ayu, lagi-lagi malah membuat suaminya tertawa.
“Su’udzon terus dari tadi. Jangan su’udzon ya, istriku! Gak baik.”
“Ck, lebih baik aku balik ke kamar Nao.” Ayu berdesis seraya menegakkan tubuhnya.
Baru beberapa langkah dia berjalan, segera menoleh ke arah suaminya yang kembali membuka buku.
“Awas, jangan macam-macam! Berani macam, aku bikin malu.”
Bagas tertawa menggeleng kepala. “Ngeri banget, perasaan perempuan, sensitif sekali. Yang korban kedzalimin suami Nao, malah aku yang di ulti.”
Ayu membuka pintu kamar tamu, terlihat Naomi sudah terlelap dalam linangan air mata. Artinya sebelum tidur, Naomi masih menangisi suaminya. Dia pun naik ke atas ranjang, tidur di samping Naomi.
“Kamu memang harus tidur, Nao. Kamu harus memulihkan tenagamu, untuk menyambut hari esok, kamu butuh tenaga yang lebih. Kita perlu membalas mereka agar mereka tau rasa sakit yang kamu alami.”
*
Berkat support dari Ayu dan Bagas, Naomi memantapkan hatinya untuk membuat pengaduan ke kantor polisi atas tindak kekerasan yang dilakukan oleh Sakhi. Bukti visum juga dilampirkan satu untuk melapor Sakhi dan satu lagi untuk diserahkan untuk menggugat cerai Sakhi.
"Langkah yang kamu ambil sudah tepat, Nao. Kamu memang perlu keluar dari keluarga toxic itu. Aku yakin suatu saat nanti kamu pasti akan dapat pengganti yang lebih baik lagi," ujar Ayu menyemangati Naomi.
Lantas Naomi hanya tersenyum tipis. "Aku gak ingin memikirkan itu dulu, Yu."
"Iya. Pikirkan satu-satu dulu .... Hm, gimana kalau kita ke mall?"
"Ke mall?" Naomi mengerutkan alisnya.
Ayu mengangguk kepala. "Iya dong. Kamu butuh melihat yang indah-indah untuk mengalihkan pikiran kusutmu itu.
Naomi membisu, bingung harus menjawab apa, karena dia masih dirundung kepiluan. Tubuh, hati dan pikiran masih syok dengan problematika rumahtangganya.
"Sudah, jangan banyak mikir! Kamu ikuti aku saja!" Ayu memaksa dan Naomi tidak dapat berbuat apa-apa selain manut.
Naomi bersyukur sekali, dari sekian banyak teman yang berusaha menusuknya dari belakang, masih ada Ayu yang setia berada di sisinya di saat dia terjatuh—tidak hanya jadi teman curhat, tapi Ayu mau terlibat dalam masalahnya.
"Kamu mau nonton apa shopping dulu?" tanya Ayu pada Naomi.
"Aku ingin makan es krim. Tapi, aku harus ke kamar mandi dulu, kebelet."
"Haish, dasar kamu ini. Sana ke kamar mandi! Aku tunggu di toko sebelah sana. Mau lihat jam tangan untuk mas Bagas."
"Ok." Naomi gegas pergi menuju toilet. Namun, langkahnya terhenti saat melihat seorang gadis kecil terjatuh, lalu bangun lagi.
Naomi mengedarkan pandangannya, mencari orangtua gadis kecil itu tapi tidak ada. Segera dia menghampirinya.
"Nak, kamu kenapa di sini sendirian?" tanya Naomi dengan sangat lembut, seraya berjongkok di depan gadis kecil dengan rambut di kuncir dua.
"Awa mau pipis."
"Mau pipis? Ibumu mana?"
Zahwa menggeleng kepala. "Ya sudah, mari ikut Aunty! Aunty juga mau ke toilet."
Naomi menegakkan tubuhnya, lalu menggandeng tangan Zahwa—pergi ke kamar mandi.
Gadis kecil itu terlihat sangat menggemaskan, sehingga Naomi tidak tega melepaskannya untuk buang air kecil sendiri. Dia menemaninya sampai selesai.
"Kamu tunggu di sini sebentar ya! Aunty mau pipis juga."
"Iya." Zahwa mengangguk kepala. Dia berdiri di depan pintu menunggu Naomi keluar, tidak beranjak sedikitpun.
Beberapa menit kemudian, Naomi keluar dan tersenyum melihat gadis kecil yang baru dia kenal masih menunggu dirinya.
"Apa Aunty membuatmu menunggu lama?"
"Enggak." Zahwa menggeleng kepala.
"Ya sudah, mari Aunty antar kamu menemui orangtuamu."
"Awa ke cini cama sus Lini," kata Zahwa seraya memegang tangan Naomi.
"Oh iya? Di mana sus Lini?"
"Di cana!" Zahwa menunjuk ke arah permainan anak-anak.
Naomi pun tidak bertanya lagi, lekas dia mengantar Zahwa menemui orang yang mengajaknya ke mall.
"Di mana sus Lini?" tanya Naomi mengedarkan pandangan.
Zahwa pun sama. Dia mengedarkan pandangannya mencari Sus Rini tapi tidak ada satupun yang mirip dengan Sus Rini.
Dia berlari ke sana ke mari mencarinya tapi tak kunjung ditemui. Seketika kepanikan pun terjadi dan Zahwa pun duduk menundukkan wajahnya, menahan genangan air mata yang menghiasi kedua bola mata yang cantik dan jernih itu.
"Belum ketemu ya?" tanya Naomi mendekat dan Zahwa menggeleng kepala. "Kita cari lagi yuk!"
Zahwa bangkit, mengikuti langkah Naomi untuk mencari sus Rini. Sudah hampir satu lantai mereka berjalan tapi tetap saja sus Rini tidak ditemui. Alhasil tangisan Zahwa pun pecah. Dia sangat takut ditinggal.
"Awa sayang, Aunty ada di sini. Jangan nangis ya!" Naomi tidak pandai bergaul dengan anak kecil karena dirinya belum memiliki anak, bahkan dia juga tidak punya adik kecil.
Zahwa masih terus menangis, makin membuat Naomi cemas. "Gimana kalau kita makan es krim?"
"Boyeh, oti?"
"Boleh dong, Sayang. Tapi, Awa harus janji gak boleh nangis lagi!" Naomi mengacungkan jari kelingking yang segera disambut oleh Zahwa.
"Jaji."
Naomi tersenyum mengajak Zahwa membeli es krim. Sekelebat kemudian dia kaget mendengar suara yang melengking meneriaki namanya.
"Naooo ... Astagfirullah, aku cari kamu ke mana-mana malah di sini."
Naomi menutup telinga Zahwa agar tidak pekak dengan teriakan sahabatnya itu.
"Eh, ini anak siapa?" Ayu malah terperanjat saat melihat gadis kecil yang asing di matanya bersama dengan Naomi.
"Anakku."
"Apa?" pekik Ayu terperanjat. "Nao, jangan bercanda!"
"Ya elah, kamu kaya gak kenal aku. Anak ini usianya 5 tahun, aku aja masih jadi artis. Iya kali punya anak," kekeh Naomi.
"Terus anak siapa? Kamu gak culik anak orang, kan?" tanya Ayu cemas.
"Awa anak dedi Samula," celoteh Zahwa membuat kedua wanita dewasa itu menganga.
"Samula?"
"Iya."
Ayu mengulum tawa, detik kemudian malah pecah dan cekikan mendengar suara cadel Zahwa.
"Oti, tete ini napa?" tanya Zahwa mendongak, menatap Naomi.
"Sakit. Sudah, ayo kita beli es krim!" Naomi mengabaikan Ayu yang masih cekikikan. Membawa Zahwa untuk menikmati es krim. Kebetulan dia juga menginginkannya.
"Eh, tunggu aku!" Ayu berlari, mengikuti mereka menuju sebuah cafe.
"Awa mau pesan apa?" tanya Naomi setelah menuntun Zahwa duduk di atas kursi.
"Es klim cokat."
"Ya Allah, Awa, kamu lucu banget sih ngomongnya. Pengen cubit deh pipimu." Setiap mendengar celotehan Zahwa membuat Ayu gemas sampai-sampai tangannya langsung mencubit pelan pipi Zahwa.
"Jangan gangguin anak kecil! Cepat kamu pesan!" hardik Naomi, lantas membuat Ayu terkekeh.
"Udah kaya emaknya Awa aja."
Ucapan Ayu seketika membuat Naomi membisu. Jahitan luka hatinya mulai terkonyak kembali, sampai-sampai dia harus memejamkan mata untuk menyadarkan dirinya agar tidak larut dalam kesedihan, tapi sia-sia.
'Ya Allah, andai saja aku memiliki anak, mungkin aku gak akan seperti ini. Mungkin sekarang aku sudah bahagia dengan keluarga kecilmu. Mungkin ... Astagfirullah. Aku terlalu banyak mengeluh.'
"Oti, nangis?" tanya Zahwa melihat air mata keluar dari sudut mata Naomi, seketika membuat Ayu menoleh pada Naomi dengan tatapan keheranan.
"Enggak, Sayang, Aunty hanya kelilipan aja." Jelas Naomi berdusta seraya mengusap sudut matanya. Tak mungkin dia menceritakan apa yang tengah ia rasakan pada gadis kecil yang belum memahami perasaan cinta dan pengkhianatan.
"Nao!" Ayu masih menatap dirinya dengan tatapan butuh jawaban.
"Gak apa-apa, I am ok, kok." Naomi berusaha tersenyum, meskipun air mata tidak bisa ditahan. Masih keluar, bahkan suara Naomi sampai serak karena menahan tangis.
Seketika Ayu menggenggam tangan Naomi dan berkata, "Aku gak tau kenapa kamu menangis. Aku harap kamu tetap semangat."