Diusir

1289 Kata
“Malam ini aku datang melamar perempuan murahan itu untuk suamiku. Kukira dia tidak akan menusukku, ternyata aku salah. Yang bersisik bukan berarti semuanya ikan, bisa jadi ular. Kuanggap dia teman, ternyata pengkhianat,” gumam Naomi mengepal tangannya. Tidak bisa dipungkiri bahwa hatinya tetaplah sakit menerima kenyataan yang ada. Berkorban meninggalkan semuanya demi suami, bertahan saat dipandang sebelah mata dan ujung-ujungnya semua yang dilakukan sia-sia. “Naomi, cepat! Niat pergi apa tidak?” teriak Bu Rosa dari luar membuat Naomi tersentak. Dia menegakkan tubuhnya, mengatur napas yang berat, lalu melangkah pergi dengan senyuman yang dipaksakan menghias bibirnya. Malam ini dia sengaja berdandan cantik untuk memperlihatkan pada dunia, bahwa Sakhi menderita penyakit katarak sehingga tidak dapat memilah mana berlian dan mana sampah masyarakat. “Lama sekali sih? Kamu ngapain saja di kamar? Berdandan juga tidak bisa mengubah takdir bahwa kamu itu mandul,” sarkas Bu Rosa menatap tajam. Hati kecilnya mengakui bahwa Naomi sangat cantik dengan balutan gaun hitam dan jilbab senada. Tapi hati sudah dipenuhi rasa benci, sehingga tidak ada tempat lagi untuk Naomi. Lantas Naomi tidak menjawab. Dia memasang mode silent agar tidak menimbulkan huru hara. Hari ini terlalu lelah untuk dirinya berdebat dengan mertua toxic. “Acara lamaran ini sakral. Mas harap kamu tidak membuat keributan!” ucap Sakhi mengingatkan istrinya. Namun Naomi menatap Sakhi dengan alis yang berkerut. Dia tidak menyangka kalau suaminya akan mengatakan seperti itu. Padahal yang membuat prahara mereka berdua, tapi malah dia yang diminta untuk tetap diam, menyaksikan kebahagiaan mereka di atas penderitaannya. “Tenang saja. Andai aku bisa poliandri, aku juga akan meminta kamu untuk melamar suami baruku,” jawab Naomi cukup menohok sampai membuat Bu Rosa dan Sakhi tercengang. “Kurang ajar sekali. Apa kamu tidak pernah dididik sebelumnya? … oh, Ibu lupa kalau kamu dulunya beda dengan kami.” Naomi tersenyum miris. “Harusnya tugas suami mendidik istri.” “Sudah, jangan berdebat lagi! Kita pergi sekarang!” hardik Sakhi melerai perdebatan. Sesekali dia menatap istrinya, hatinya mengatakan bahwa ada yang beda dengan Naomi. Dulu tidak pernah meladeni ucapan mertuanya, tapi sekarang Naomi sama sekali tidak tinggal diam. Dia akan membalas apapun yang dirasa kurang berkenan di hatinya, bahkan ucapan suaminya sendiri kadang juga dibantah. “Nao.” Sakhi menarik tangan istri sebelum masuk ke dalam mobil. “Mas harap kamu jaga mulutmu! Jangan pernah berdebat dengan ibu!” Naomi tersenyum sinis, menghentakkan tangannya hingga tangan Sakhi terlepas, kemudian dia melangkah masuk ke dalam mobil. Sakhi bergeming sejenak, lalu dia pun masuk ke dalam mobil, duduk di kursi kemudi, kemudian mengemudi menuju rumah Dea. Sepanjang jalan Naomi sama sekali tidak merespon obrolan ibu dan anak itu, dia asik memandang kendaraan yang lalu lalang di jalan, untuk sekadar mengalihkan suasana hati, hingga tanpa sadar mereka sudah tiba di kediaman Dea. Dea tinggal bersama dengan pamannya usai ditalak oleh suami saat anaknya menginjak usia 2 tahun. Menjadi anak broken home di usia Dea masih SMA, ditambah lagi berita duka yang mengakibatkan orangtuanya meninggal, akhirnya Dea memilih untuk tinggal di rumah pamannya. Banyak cerita yang menyedihkan Dea curhat di sebuah grup hijrah yang mengantarkan simpati dari Naomi hingga menjadikan Dea sebagai temannya. Naomi sama sekali tidak memiliki niat buruk dan malah membuka jalan untuk Dea bisa menghasilkan uang. Tapi, apalah daya kalau dia sama sekali tidak bisa menjaga suaminya agar tidak direbut oleh wanita lain. “Selamat datang, Bu Rosa, Pak Sakhi dan Naomi.” Pak Pandu menyambut hangat kedatangan tamunya. Lamaran ini hanya dihadiri mereka bertiga karena bukan pernikahan pertama, jadi harus serba sederhana dan tertutup. Meskipun Dea meminta agar pernikahannya digelar dengan sangat mewah. Naomi memperhatikan senyum penuh kebahagiaan dan kemenangan dari bibir Dea saat menyambut calon mertua dan calon suaminya. Lantas ketika tangan terulur, hendak menyalami Naomi, seketika Naomi mengalihkan dengan pura-pura merogoh sakunya. “Naomi!” bisik Bu Rosa mencubit lengannya. “Jaga sikap!” Dea kembali bersalaman dan memeluk Naomi seraya berbisik, “Jangan kurang ajar denganku! Sebentar lagi aku akan jadi madumu dan istri tercinta dari suamimu. Kamu harus camkan itu!” “Kukira wanita independen, ternyata ani-ani. Selamat! Lalat memang cocok dengan sampah.” Naomi membalas dengan tegas meskipun hanya Dea yang mendengar ucapannya. Namun, itu sangat menyakitkan. “Heh, aku tau kamu sedang menghibur diri. Aku gak akan membalas ucapanmu. Mungkin suamimu yang akan membalas.” Naomi tersenyum menampilkan senyuman menawan di depan semua orang. Tidak peduli dengan sikap kurang ajar Dea. Acara lamaran pun berlangsung yang dipimpin oleh Bu Rosa dari keluarga Sakhi dan Pak Pandu dari keluarga Dea. Obrolan demi obrolan terjadi sampai kedua belah pihak memutuskan tanggal akad nikah yang akan digelar 2 minggu kemudian. “Saya ingin mendengar pendapat dari istri pertama Anda. Bagaimana menurutmu dengan tanggal pernikahan yang sudah ditetapkan ini?” tanya Pak Pandu menatap Naomi yang sedari tadi asik main gadget. “Lebih cepat lebih baik. Lagipula andai Dea hamil, aibnya bisa ditutupi, meskipun sepengetahuan saya anak itu akan jadi anak haram, karena mencoblos sebelum hari H,” jawab Naomi dengan santai tapi tegas, sontak membuat semua orang yang ada di sana terperanjat. “Naomi!” Bu Rosa menatap tajam, begitu juga dengan Sakhi. “Loh, benar, kan? Anak di luar nikah itu tetap anak haram. Meskipun menikah dengan ayah bilogisnya, ayah biologisnya tetap tidak bisa meniduri ibunya terlebih dahulu sebelum bayi itu lahir?” “Naomi, hentikan!” hardik Sakhi memelototi istrinya. “Mungkin di sini ada sedikit kesalahpahaman. Sebaiknya memang begitu, Dea harus segera menikah dengan Sakhi,” ucap Pak Pandu menengahi. Rona bahagia sudah mulai redup dari wajah mereka karena ucapan Naomi yang sangat sarkastis. Mereka tertekan, lantas giliran Naomi yang bahagia. Bahagia telah mempermalukan semua orang di sana, tapi sayangnya lamaran ini hanya acara keluarga saja. Andai saja dihadiri tetangga, sungguh akan menjadi berita heboh di kalangan ibu-ibu komplek. Namun, Naomi hanya bahagia sebentar saja, begitu tiba di rumah, Sakhi langsung menarik Naomi dan mendorongnya sampai jatuh ke lantai. Sanggul yang terbungkus hijab ditarik sampai membuat Naomi mendongak, meringis kesakitan. “Sudah kukatakan jangan membuat masalah, kenapa kamu malah berbicara seperti tadi, hah? Apa kamu sama gak mendengar perintahku lagi?” teriak Sakhi dilahap oleh api kemarahan yang berkobar di dalam dirinya. Sejak di kediaman Dea dia tahan hingga tiba di rumah, barulah dia menumpahkan semua kekesalannya. “Sakit, Mas, lepaskan aku!” Naomi memohon agar Sakhi melepas rambutnya. Dia sudah tidak tahan lagi. “Dasar perempuan kurang ajar!” pekik Sakhi menampar Naomi sampai tersungkur di lantai. Kini, giliran Bu Rosa yang menyeret Naomi keluar dari rumah dua lantai itu. “Sekarang kamu pergi dari sini! Kamu sudah tidak dibutuhkan lagi.” “Bu, aku mohon, jangan usir aku!” Naomi memohon untuk jangan diusir karena dia belum menyelesaikan tugasnya. Apalagi malam sudah larut, tidak mungkin dia pergi. Bu Rosa enggan menggubris, dia menutup pintu lalu menatap putranya. “Biarkan dia pergi dari rumah ini. Kamu tidak perlu menceraikan dia! Biarkan dia tersiksa karena tidak bisa lepas darimu dan tidak bisa kembali lagi ke sisimu.” “Baik, Bu.” Sakhi mengangguk kepala. Dia patuh dengan apapun yang diucapkan ibunya. Selain itu, dia sudah mendapatkan Dea dan tidak butuh lagi Naomi. Lantas, Naomi hanya bisa terisak. Mengedor pintu pun hanya menjadi sia-sia karena tidak ada satupun dari mereka yang akan bersimpati padanya. Di malam yang terasa dingin, Naomi menyeret langkahnya keluar dari rumah yang sudah membuatnya mengenal arti kesabaran selama ini. Dia sadar, cinta dan pengorbanannya selama ini hanyalah sia-sia. Naomi ingin keluar dari rumah suaminya, tapi tidak dengan seperti ini. Dia ingin keluar setelah mendapatkan bukti lengkap agar bisa mengajukan perceraian di pengadilan agama. Tapi, rencananya malah jadi sia-sia. Obat tidur yang sudah disiapkan untuk dikasih ke Sakhi agar bisa mengambil sidik jari tanpa diketahui Sakhi pun hancur. “Ya Allah, kenapa jadi seperti ini? Ke mana aku harus pergi?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN