Ketika David berusaha menghubungi Aaron dengan maksud untuk meminta bantuannya, ponsel Aaron sedang tidak aktif. Seperti biasa, sebelum tidur, Aaron selalu me-non-aktifkan ponsel nya.
Keesokan harinya di hari minggu yang cerah, hari dimana semua orang sibuk beristirahat atau bahkan berkumpul bersama keluarga tercinta nya. Tapi tidak denganku, aku justru sibuk membaca beberapa buku teori serta mensketsa wajah Pelaku yang sudah ku bedah.
Sambil mengunyah sarapan yang di buat oleh ayahku, tanganku terus saja bergerak dan insting ku terus berpikir.
"Blue… kau membaca apa, Nak?" tanya Ayah sambil memberikan segelas jus melon dan pisang
"Ini...tentang teori watak dan kepribadian," jawabku
"Blue… hmmm… Bagaimana kalau ayah tinggal di sini, maksudku… ayah tidak ikut kau pindah bersama papa kandungmu, kau… tak apa kan?" tanya Biksu Yen
Konsentrasi ku terhenti, ketika ayah meminta untuk tidak ikut pindah ke rumah orangtua kandungku. Ku tatap matanya baik-baik sambil memegang tangannya.
"Ayah… meskipun dia adalah orang tua kandungku, tapi tetap saja kau yang membesarkanku, menjaga dan merawatku. Kau yang lebih mengetahui bagaimana cara menenangkan hati ketika ku bersedih. Kau juga yang mengetahui alergi ku, lalu aku pantang makanan apa. Bukan dia."
"Aku tahu itu, tapi alasan utamaju sebenarnya adalah ingin memberikan waktu bagi kalian berdua untuk lebih saling mengenal satu sama lain, kalian sudah lama terpisah oleh jarak dan waktu, sehingga aku tidak ingin mengganggu waktu kalian berdua. Aku mohon padamu, untuk mengerti maksud ayah,"ungkap Biksu Yen.
"Tapi ayah… sangat sulit bagiku, jika harus berkumpul lagi dengannya. 20 tahun aku tidak pernah berkumpul, dengan nya Ayah… dia tidak tahu akan diriku, dan dia juga tidak tahu bagaimana, menenangkan aku," jawabku.
"Ayah tahu nak, tapi… ayah mohon padamu berilah satu kesempatan untuknya...aku hanya tidak ingin menyakiti hatinya," ucap Biksu Yen lirih.
Aku mengambil buku dan pergi ke kamar. Mencoba merenungkan perkataan ayah.
"Bagaimana mungkin aku tinggal dengan orang yang selama ini meninggalkan aku. Hmmm… baiklah jika memang ini kemauan ayah untuk tinggal bersama orang tua kandungku tak masalah, aku juga akan membuat perhitungan dengannya," gumam ku.
Aku setuju untuk pindah, ku siapkan beberapa baju, dan barang untukku bekerja. Tidak, semua pakaian ku bawa ke rumah orang tua ku. Aku masih ingin berada di sini, bersama dengan orang yang sudah rela berkorban dan merawatku.
Beberapa jam kemudian aku keluar dari kamar, dan melihat ayah sedang konsentrasi latihan kung Fu nya.
"Ayah… kalau aku pindah, lalu siapa yang akan mengajari ku kung Fu?" ku tertunduk sedih
"Ah… Blue… kau bisa ke sini, jangan kau khawatirkan perkara itu," jawabnya dengan mudah
"Hmmm… Kalau begitu kenapa kau tidak ke sana juga dan tinggal bersama denganku, aku tahu kau ingin agar tercipta kembali keharmonisan serta cinta antara aku dengan orang tua kandungku, tapi…."
"Blue… dengar, aku tidak ingin banyak janji, jika memang kau ingin berlatih kung Fu aku akan datang untuk mengajar iku, bagaimana? Lagipila setiap hari kau kan bekerja," balas Biksu Yen
Aku tak bisa menjawabnya dengan kata-kata, ku peluk erat ayahku seakan tak ingin berpisah dari nya.
"Mengapa aku harus berpisah darimu? Kau tahu kalau dari dulu, setiap malam aku selalu menangis karena takut di tinggal olehmu," ucapku sambil menangis
"Tok… tok…" bunyi ketukan pintu dari luar
Biksu Yen mengusap air mataku dan mencium keningku
"Kau masih tetap putriku, tak akan pernah ku pungkiri itu. Sudah jangan menangis lagi, ada tamu," titahnya.
Biksu Yen segera membuka pintu dan melihat siapa yang datang.
"Yen," sapa Jethro
"Ah… kau datang rupanya, ayo masuk," ucap Biksu Yen
"Bagaimana, apakah kau sudah siap untuk pindah ke rumah? Ada apa denganmu? Kenapa kau bersedih? " tanya Jethro padaku
"Dia menangis karena takut tidak, bisa latihan kung fulagi kalau pindah ke rumahmu," jawab Biksu Yen
"Lho… bukannya aku sudah memintaku untuk tinggal bersama denganku juga? Lalu kenapa kau tidak ingin pindah?" tanya Jethro dengan tegas
"Bukannya tidak ingin pindah bersama dengan kalian, hanya saja… aku ingin kalian berdua mengenal lebih lanjut. Kalian kan sudah lama tak bersama, rasanya tak elok jika ada aku disana. Aku juga sudah memberi tahukan pada Blue," jawab Biksu Yen.
"Baiklah jadi… apa kau mau pindah bersamaku?" tanya papa Jethro padaku.
"Sekarang?" balasku balik bertanya
"Tentu saja," jawabnya
"Baiklah, akan ku ambil barang-barang ku."
Sambil menunggu aku mengambil barang-barang, kedua ayahku sedang berbincang membahas mengenai kung-fu.
"Dia sudah kau ajari teknik kung Fu apa saja?" tanya Jethro
"Sudah banyak, dan memang harus banyak berlatih," jawab Biksu Yen
"Kalau begitu kau ikut saja, ayo lah Yen… aku sudah tahu dirimu, jangan sungkan," bujuk Jethro
"Hmmm…begini, kau sudah lama berpisah dengan Blue, aku ingin kau memperbaiki komunikasi, menikmati waktu berdua, perkara aku ke rumahmu dan tinggal di rumahmu itu sangat gampang, tapi pikirkan tentang waktu kalian berdua," jawab Biksu Yen
"Aku sudah siap," ucapku melerai sedikit pertengkaran.
Jethro bingung karena barang bawaanku hanya 1 koper dan 2 tas besar serta 1 tas ransel.
"Hanya ini sajakah barang bawaanmu?" tanya nya
"Aku hanya memiliki sedikit tas saja.Lagi pula kalau aku kekurangan baju, aku masih bisa ke sini, " jawabku
"Baiklah… ayo kita pulang," ajak Jethro
Ini bukan perpisahan yang pertama, tapi ini adalah yang pertama kalinya Biksu Yen meneteskan air mata kehilangan untuk yang pertama kalinya. Kehilangan akan sosok seorang putri yang sudah ia bear kan dan ia rawat sedari kecil.
Biksu Yen sadar bahwa ia memang tidak berhak akan hak asuh diriku. Ia juga sadar bahwa ia tak berhak ikut campur atas segala keputusan mengenai perwalian diriku.
Biksu Yen mengalihkan kesedihan ya dengan terus berlatih. Namun, tetap saja, air matanya meleleh hingga mengganggu konsentrasi nya.
"Sini biar papa bantu, memasukkan koper dan tas mu ke dalam mobil," ucap Jethro
Aku hanya melihat sosoknya sama seperti 20 tahun yang lalu, saat ia meninggalkanku bersama Ayah. Tak ada yang berubah darinya, rambut, mimik muka, suara tegas nya,semuanya masih sama.
Ingin sekali aku memeluk tubuh tua itu, hanya saja sepertinya aku masih terganjal perasaan marah yang belum bisa ku Kondisi kan
"mengapa sampai hati ia tega memberikan pada teman baiknya, apakah ia tak sanggup merawatku seorang diri?" gumam ku.
Ayo masuk ke mobil," ajak Jethro
"Aku duduk dimana?" tanyaku dengan sopan
"Di sebelah ku," jawab Jethro
Sesuai arahan, aku duduk di samping pengemudi. Selama perjalanan aku belum mau membuka percakapan layaknya seorang anak yang sangat rindu pada papanya.