keinginan Dao Zhe

1153 Kata
“Hmmm … memangnya minatmu dimana? Tunggu kalau aku tidak salah ingat kau menyukai sastra, benar bukan?” tanyaku “Hahahha … kau masih ingat betul tentang minatku, tapi bagaimana ya, apakah aku masih bisa masuk kuliah, sementara aku sudah lulus kurang lebih dua tahun yang lalu.” Dao Zhe merasa kawatir kalau dia tidak bisa lagi melanjutkan pendidikan lagi karena terbentur oleh umur “Apa yang kau khawatirkan? Apakah kau takut kalau umurmu sudah tidak bisa lagi melanjutkan pendidikan lagi?” “Hmmm … iya, aku takut kalau umurku sudah tidak bisa lagi,” ungkap Dao zhe “Kua tidka pelu khawatir tentang umurmu, banyak yang sudah berumur, tapi mereka masih tetap semangat untuk melanjutkan pendidikan!” “Begitu ya, baiklah, lalu syarat-syarat untuk masuk ke universitas apa saja?” tanya Dao Zhe “Alangkah baiknya kau lihat persyaratannya melalui website, bahkan sekarang mereka juga menerima pendaftaran melalui online, jadi lebih hemat waktu, mengenai universitas yang paling bagus, kau juga tinggal lihat dari media social saja, mana yang paling banyak di gemari, semakin tinggi akreditas suatu universitas, maka biaya yang akan di keluarkannya juga semakin mahal.” “Bolekah aku meminjam sesuatu yang bisa menghubungkan dengan media social?” pinta Dao Zhe “Internet maksudmu?” “Iya , itu lah atau apapun lah yang bisa membantuku untuk melihat persyaratannya, aku mohon padamu,” rengek Dao zhe “Baiklah, kau bisa gunakan Laptop ku, tunggu sebentar akan ku ambilkan,” ucapku. Aku pergi ke kamar hendak mengambil laptop, dan tinggallah Dao Zhe bersama dengan Ayah. “Shi Fu… memangnya kau ingin tinggal selamanya di Amerika? Kau tidak ingin kembali lagi ke desa ini?” tanya Dao Zhe merasa sedih “Tadinya memang aku tidak ingin ikut Blue kembali Ke Amerika, tapi Blue tidak ingin pergi sendiri, dan jujur saja aku juga tidak bisa melepas Blue sendirian, sudah pasti aku akan kepikiran. Yah, daripada aku tidak tenang juga, lebih baik aku tinggal bersama dengan Blue di America sana,” jawab Ayah. “Begitu ya, Baiklah, semoga Blue bisa sukses meraih cita-citanya. Memangnya kalian berangkat kapan?” “Menurut jadwal keberangkatan antara besok atau dua hari kemudian, tanyakan pada Bue untuk lebih jelasnya,” jawab Ayah. “Dao Zhe, ini laptopku, ini, silakan kau pakai saja dulu,” ucapku, sambil memberikan laptop berukuran 14 inch kepada Dao Zhe “Oh iya, aku di sini saja … takut salah … selain itu juga kalau aku juga bisa banyak bertanya jika ada hal yang tidak ku ketahui,” balas Dao Zhe “Baiklah, tapi aku juga tidak bisa terus-terusan di sampingmu, aku masih harus menyelesaikan beberapa pekerjaan lainnya,” tuturku. Ku tinggalkan Laptopku dengan Dao Zhe, lebih tepatnya laptop Ayah, karena ku yakin, kalau Dao Zhe menggunakan laptopku, pasti akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Kulihat dari jauh, Dao Zhe dengan asyiknya melihat beberapa informasi mengenai universitas yang sesuai dengan minatnya. Aku membereskan beberapa barang-barang yang harus ku kirim saat ini juga, sambil sesekali melihat keadaan Dao Zhe dan ayahku. Di tempat lain, tepatnya di pasar … Ketiga murid Ayah yang di jagokan, rupanya tidak terima dengan perkataan yang telah di lontarkan oleh Ayahku. Rupanya mereka memiliki niat jahat. Bersamaan dengan para preman-preman yang ada di pasar. Mereka berencana ingin membunuh ayahku. “A Tse, aku ingin kau membunuh seseorang,” pinta Xiao Min dengan gaya boss “membunuh siapa?” tanya A Tse “ seseorang yang sudah ama ingin kau bunuh, seseorang yang sudah menjatuhkan harga diriku, yang sudah melunturkan kepercayaanku,” jawab Xiao Min “Biksu Yen? Hmmm menarik … baiklah akan ku kumpulkan semua pasukan termasuk yang membenci Biksu Yen, hahahah kalau boleh tahu, memangnya ada apa denganmu, kenapa kau ingin menyerang dia? Bukankah Biksu Yen adalah gurumu?” tanya A Tse “karena dia tidak menjadikanku sebagai penguasa di pondok persilatan, jika aku menjadi pemimpin di pondoknya, maka tidak di ragukan lagi, kau dan kawan-kawanmu akan ku sejahterakan,” ungkap Xiao Min “Aaahh … jadi karena itu, Hmmm … baiklah, kalau begitu apakah biksu Yen sudah menjanjikan padamu untuk menjadikan penguasa di pondok kah?” “Jelas sudah! Dia sudah mengiming-imingi ku dengan beribu janjinya. Tapi … gara-gara wanita itu, anak haram yang tinggal bersama dengan Shi fu sudah menggagalkan semua rencanaku, aku ingin dia mati juga bersama dengan pria tua! Mati sampai tidak ada yang mengenali nya.” ungkap Xiao Min yang begitu dendam terhadap biksu Yen “Kapan kau ingin mereka mati?” tanya A Tse “Semakin cepat semakin bagus, dengan begitu aku bisa langsung merasakan jadi penguasa di pondok persilatan, hahhahahhaha ….” “Baiklah, akan ku kumpulkan anak buahku sekarang, dan … Mmmm kau tahu kan ….” A Tse memberikan kode meminta upah terlebih dahulu. “Hah … kau ini, blum juga berhasil dengan perintahku, sudah meminta uang! Sudah nanti saja dulu, untuk uang itu beres, yang terpenting kau laksanakan saja perintahku, selain kau, aku juga akan menghasut seluruh orang yang ada di kampung ini untuk menyerang Biksu Yen,” ucap Xiao Min licik. “Hmmmm … awas saja kalau kau ingkar janji, kau yang akan ku balas!” ancam A Tse “Tenang saja, kau bisa percayakan padaku! Sudah cepat sana, kau harus kumpulkan semua orang-orangmu!” perintah Xiao Min A Tse pergi mengumpulkan teman-teman dan orang yang begitu memiliki dendam besar pada Biksu Yen. Dia adalah Hua Shie. Seorang pendekar hitam yang selalu kalah telak oleh Biksu Yen. Hua Shie hanyalah pendekar pengelana yang ingin diakui kemampuan dalam silatnya. Tapi, sejak pertama kali ia menginjakkan kakinya ke desa ini, tepatnya 6 bulan yang lalu. Bukanlah rasa segan yang ia dapatkan, melainkan rasa malu yang teramat sangat. Hal ini di karenakan Hua Shie datang dengan daya petantang petenteng dan membuat kegaduhan di pasar, dan menantang setiap orang untuk meladeni bermain dengannya. Tapi tak ada satupun orang yang ingin meladeninya, meski ia sudah menantang dan berbuat onar dengan memukul serta melakukan gerakan silat lainnya. Sampai pada akhirnya ia menantang semua guru persilatan yang ada di desa itu, dengan memukul dan memperagakan beberapa gerakan silat yang sudah ia pelajari dari gurunya. “Hayo … hanya ini sajakah kemampuan silat kalian? Bawakan aku yang lebih jago, payah kalian semua!” ledek Hua Shie “Jangan terlalu sombong dulu kau! Memang kami semua kalah pada kemampuan silatmu, tapi ada satu orang yang tak bisa kau kalahkan.” Semua guru padepokan memperingatkan Hua Shie agar tidak terlalu sombong dengan kemampuan silatnya. “Tidak ada yang bisa mengalahkanku! Aku paling hebat di sini!” Hua Shie masih menunjukkan gaya sombongnya. Sampai saat ini pun, Hua Shie masih belum mengetahui bagaimana kemampuan silat Biksu Yen. Hua Shie terus saja mencari sosok Biksu Yen yang tersohor itu. Hua Shie sempat mengundangnya bahkan terang-terangan mengajaknya untuk sekedar meladeni untuk menunjukkan kemampuannya, dengan datang ke padepokan dan membuat onar. Tapi lagi-lagi usahanya sia-sia, lantaran setiap kali Hua Shie datang selalu di saat yang tidak tepat, entah itu sedang pergi beribadah, ataupun ada urusan lainnya.                                                  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN