BAB 8 - BYAN

1000 Kata
BYAN POV. Permintaan gue untuk menyelenggarakan pernikahan secara privat disetujui oleh Oma. Yang artinya pernikahan gue sama Luna hanya dihadiri oleh orang-orang tertentu saja dan gue nggak harus mengundang orang-orang kampus juga. Two days left! Dua hari lagi gue menikah untuk kedua kalinya! "Oma, pernikahannya nggak bisa ditunda dulu sampai bulan depan? Byan enggak siap Oma." Gue mencoba memelas siapa tahu Oma kasihan dan luluh. Oma menatap gue tajam, saat itu juga gue jadi susah bernapas. "Tidak ada tunda-tunda, keputusan Oma sudah bulat! Kalian menikah dua hari lagi!" ketusnya. "Byantara sayang, coba jangan dipersulit lagi." Kali ini Bunda ikutan ngomong. "Bun, dari awal yang mempersulit Byan itu kalian semua. Memaksa Byan menikah dengan Luna!" "Loh! Bukannya kemarin kamu bilang menerima?" sahut Oma dengan lantang. Usianya yang sudah lanjut, nggak membuat suaranya yang cempreng memudar. "Byan cuman minta ditunda sampai bulan depan, Oma! Itu aja." Oma menggelengkan kepalanya. "No!" finalnya dengan menatap tajam ke arah gue. Gue bener-bener nggak habis pikir sama Oma. Kenapa keras kepala banget. "Oke, tapi Byan ada satu syarat untuk kalian semua." Gue sudah memikirkan hal ini beberapa hari yang lalu. "Tolong jangan pernah ikut campur lagi dengan rumah tangga Byan kali ini. Apapun yang terjadi sama Byan dan Luna, kalian semua nggak boleh ikut campur." sambung gue menatap satu persatu wajah yang ada di ruangan ini. "Deal," sahut Oma mengulurkan tangannya. Setelah melakukan kesepakatan dengan Oma, gue langsung beranjak dan menuju kamar. Gue perlu mengistirahatkan pikiran gue, kalau saja kepala gue ini kayak di kartun-kartun. Nih kepala mungkin udah keluar uap saking panasnya. Sejauh ini, gue sama Luna nggak pernah interaksi selain kalau kita berdua emang ketemu. Itupun hanya percakapan singkat. Gue nggak kenal Luna, begitu juga sebaliknya Luna nggak kenal gue. Yang gue tahu Luna jutek banget, nyebelin. Meskipun wajahnya cantik, kalau kalian lihat muka juteknya pasti kalian akan bad mood, sejauh yang gue alami seperti itu. Ditambah lagi yang paling terpenting, itu bocah apa bisa ngurus rumah tangga sekaligus kuliah? Gue yakin dia pasti kagak bisa! Bangun pagi-pagi nyiapin sarapan, karena selama ini gue nggak pernah makan masakan ART. Dan gue nggak akan pernah mau, gue punya alasan tersendiri untuk itu. Tiba-tiba sebuah ide gila terbesit di otak cerdas gue, ide agar pernikahan gue dengan Luna tidak akan bertahan lama. Karena pikiran itu, gue terkekeh sendiri. Gue nggak peduli dicap jahat oleh Luna, malah itu lebih bagus. "Gue yakin Luna juga pasti benci dengan perjodohan ini." Semangat gue membara banget, seakan ide ini telah mengisi kembali tenaga gue yang sudah mau habis. *** Semenjak ide itu muncul, gue jadi lebih santai menghadapi pernikahan yang sebentar lagi dilangsungkan. "Kenapa baru sekarang gue kepikiran," batin gue. Raut wajah senang gue sampai terbaca oleh seluruh penghuni rumah. Dan mereka mengira kalau senangnya gue ini karena sebentar lagi akan menikah. Lucu juga mereka. Haha. "Den, seneng banget kelihatannya. Memang ya wajah orang mau menikah itu beda aura nya," ujar Pak Diman, supir pribadi Oma. Gue terkekeh mendengar itu. "Ah, enggak juga, Pak." "Kemarin-kemarin saya lihat, Den Byan kusut sekali wajahnya. Beda sama sekarang, lebih bahagia kelihatannya," lanjut Pak Diman dan gue hanya tersenyum sambil melanjutkan aktifitas gue. "Byan, kelihatan senang sekali kamu pagi ini," celetuk Oma tiba-tiba yang datang entah dari mana, lalu menarik kursi dan mendudukinya. "Diman, jam sembilan anterin saya ke rumah Luna," lanjutnya lagi sembari meneguk teh hangat. Gue hanya mengangkat sedikit bahu, tanpa menjawab sepatah katapun ucapan Oma. "Byan, kamu jangan memforsir tenaga, berolahraga secukupnya saja! Besok pernikahan kamu." Oma gue emang cerewet banget dah. Dan gue nggak peduli, gue tetap melakukan aktifitas yang sudah sejak tiga puluh menit lalu gue lakukan. "Byantara! Kamu dengar nggak sih?" kali ini Oma gue teriak, dikira gue budeg kali ya. "Santai saja Oma, nggak perlu teriak. Byan denger kok." Gue tersenyum manis. "Oma, kalau boleh tahu. Apa Luna nggak punya pacar? Ya takutnya sih dia punya pacar, nanti malah jadi kacau." Oma meletakkan cangkir tehnya di atas meja. "Dari yang Oma tahu, Luna nggak pernah pacaran." Gue hampir tersedak saliva gue sendiri. "Hah? Serius Oma?" Oma hanya menjawab dengan anggukan kemudian beranjak. "Makanya, sayangi dan bimbing dia betul-betul nanti. Karena dia nggak ada pengalaman dalam mencintai," ucap Oma sebelum masuk ke dalam rumah. Gue menggaruk tengkuk gue yang gatal, mendengar fakta bahwa Luna nggak pernah pacaran gue jadi aneh sendiri. Artinya itu cewek masih polos dan nggak tersentuh sama sekali. Maksudnya tersentuh dalam artian pegangan tangan, pelukan, dan sebagainya dengan lawan jenis. Hebat juga dia dalam menjaga dirinya, padahal minimal anak zaman sekarang SMA saja sudah ciuman sambil grepe, bahkan ada yang free s*x juga. Dan dia sudah kuliah masih belum ngapa-ngapain, pacaran aja nggak pernah. Mustahil nggak ada cowok yang suka, kan muka tuh bocah termasuk kategori cewek cantik meskipun pendek. Ah, gue nggak peduli. Mau dia nggak pernah pacaran atau punya mantan sejibun gue kagak peduli. Yang penting bagi gue adalah supaya pernikahan gue sama dia nggak bertahan lama. Sebenarnya dalam hal ini saja gue sama Luna sudah nggak cocok, perjalanan hidup kita sangat bertolak belakang. Di saat Luna yang katanya nggak pernah pacaran dan nggak tersentuh oleh lawan jenis sama sekali, lain dengan gue yang sudah menyentuh beberapa cewek dalam hidup gue. Termasuk Leony, kita menikah karena Leony hamil duluan dan dia menuntut gue bertanggung jawab atas itu. Gue semakin yakin, bahwa gue sama Luna nggak akan jodoh alias pernikahan kita nggak bertahan lama. --- "Byan. Sarapan dulu." Bunda kelihatan sibuk banget dengan sajian di atas meja. Gue mengambil posisi untuk duduk, meraih satu lembar roti dan segelas s**u. "Loh kamu nggak makan nasi? Bunda udah bikinin nasi goreng kesukaan kamu," tanya Bunda. "Enggak Bun, Byan makan roti aja. Habis olahraga tadi." Gue mengunyah pelan roti tawar yang menjadi santapan gue pagi ini. "Kamu lihat Oma?" "Bukannya Oma tadi udah masuk ke rumah? Tadi sih duduk di teras sama Byan tapi udah masuk duluan." "Ayah mana, Bun?" lanjut gue menanyai Bunda. "Ayah di ruang kerja, mau selesaikan urusan katanya biar besok bisa santai di pernikahan kamu," tutur Bunda. Dan gue hanya angguk-angguk nggak jelas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN