Rados berdeham saat melihat putranya sudah berdandan pada pagi hari, padahal biasanya masih tidur atau bahkan harus dibangunkan lebih dulu apabila hendak ingin melalukan sesuatu. Ia membiarkan Danius memakan sarapannya sedangkan ia kembali menikmati teh yang disuguhkan. Ada hal yang ingin ia bicarakan dengan putranya tetapi belum sempat, jadi sebelum Danius pergi, ia bisa meminta waktu untuk bicara. “Selesaikan saja makanmu, aku tidak akan bicara apa pun.” Seakan tahu kalau putranya menatap karena menyadari ia ingin bicara, Rados akan menunggu Danius menyelesaikan makannya lebih dulu.
“Baiklah, kalau Ayah inginnya begitu.” Danius tentu tidak bisa memaksa ketika sang ayah ingin bicara dengannya tetapi memilih menunggu ia menyelesaikan sarapan. Padahal, ia bisa saja mendengarkan dan setelah selesai makan baru menjawab segala hal yang diutarakan oleh sang ayah. Namun, ayahnya memang tidak suka bicara sambil makan, jadi ia harus segera memakan makanannya dan berbicara karena Rados terlihat sangat serius sekali.
Weni datang sambil membawa beberapa tumpuk buku, ia tersenyum pada Danius sebelum memberikan buku-buku yang ternyata berisi gambar jenis pakaian pengantin kepada suaminya. Ia duduk kemudian menuangkan teh dari teko ke gelas sebelum meminumnya lalu menatap Rados yang malah menyingkirkan buku yang dibawanya. “Ada apa? Bukankah aku sudah memberi tahumu semalam kalau kita akan membicarakan hal ini? Danius perlu ikut serta dalam memilih pakaian pengantin yang cocok dan apabila sudah diputuskan, aku bisa langsung memesan.” Weni agak terkejut dengan suaminya yang masih menikmati teh.
“Bukan itu yang ingin kubicarakan dengan Danius. Ini jauh lebih penting daripada pesta pernikahan. Aku yakin sekali kalau Cassio dan Kiela pasti sedang mempersiapkannya juga. Kita hanya perlu datang lalu menyetujui apa yang telah ditentukan.” Rados sedang tidak ingin repot dengan mengurus pakaian pernikahan dan dekorasi pesta. Jika memang benar pernikahan ini akan berlangsung, ia harus menyiapkan hantaran yang bisa diberikan dan itu jauh lebih memusingkan daripada memikirkan apa yang istrinya pikirkan.
Tentu saja Weni tidak setuju dengan ucapan suaminya, bagaimana pun, Danius merupakan calon pengantin pria yang wajib untuk mengetahui pakaian pernikahan sehingga tidak akan menyesal ketika memakainya. “Ayolah, ini hanya terjadi sekali seumur hidup. Dia bisa memilih pakaian yang ia mau dan aku yakin sekali Cassio akan memberikan izin untuk Danius memilih. Kamu ini kenapa?” Weni mengambil buku dan membereskan karena berantakan oleh suaminya lalu ia mendorong buku ke arah Danius yang sudah selesai makan. “Kamu bisa pilih sekarang sehingga kamu bisa pergi dengan cepat. Kamu jangan dengarkan apa kata ayahmu.”
Danius menggelengkan kepala karena ibunya terlihat kesal dengan sang ayah tetapi ia sendiri juga malas untuk memilih. “Aku akan membawa buku-buku ini bersamaku tetapi aku tidak memilih sekarang karena aku harus meminta pendapat Lisa juga dan kebetulan hari ini aku telah berjanji untuk bertemu dengannya.” Danius menatap Weni dan berharap ibunya akan mengerti tetapi Weni hanya mengangguk setuju saja, jadi ia merasa lega. “Apa yang ingin Ayah bicarakan?” Danius jelas penasaran dengan apa yang ingin Rados katakan karena ini bisa saja menyangkut pernikahannya.
“Aku sebenarnya agak terkejut saat kamu mengutarakan ingin menikahi Lisa,” ungkap Rados sambil menyuruh istrinya diam karena ia tidak sedang ingin berdebat dan pasti Weni akan mencoba menebak jawaban yang bisa diberikan oleh Danius tetapi ia mengharapkan langsung putranya yang bicara. “Bukan aku tidak menyetujuinya, maksudnya aku memang setuju dengan pernikahan ini tetapi kenapa kamu tidak pernah bilang padaku kalau kamu menyukai Lisa? Jika aku tahu kalau kamu menyukai putri negeri Etanio, sudah dari beberapa bulan yang lalu, kita bisa melamarnya.” Rados menatap putranya dengan raut wajah yang masih tidak percaya karena selama ini ia sudah menyuruh Danius untuk mencari calon istri. Andai tahu Danius akan memilih Lisa, sudah langsung saja melamarnya bukan malah menunggu sampai Danius terang-terangan ingin menjadikan Lisa istrinya.
Menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, Danius kemudian tertawa kecil. “Ucapan yang kuutarakan kemarin sangat spontan bukan? Aku sendiri tidak menyangka akan berani meminang Lisa setelah makan malam. Aku sudah berusaha untuk tak membuat kejutan tetapi aku pikir itu waktu yang tepat.” Danius gugup sekali sesaat setelah ia mengutarakan keinginan untuk menjadikan Lisa istrinya. Untungnya, ia bisa menyembunyikan rasa gugupnya dan merasa tenang saat Lisa menerima lamarannya. “Aku selalu mengaguminya dan aku pikir tidak ada salahnya apabila aku menyukainya. Aku memang tidak mengutarakannya pada Ayah dan Ibu karena saat itu aku belum merasa yakin. Sekarang aku yakin sekali karena Lisa sudah menerima lamaranku.”
Ingin rasanya Weni memeluk putranya. Sebagai ibu yang mengandung dan mengurus Danius, ternyata ia masih belum bisa mengenal secara pribadi Danius yang tampan. Ia mungkin harus banyak meluangkan waktu agar bisa bicara dengan putranya tetapi kadang ia punya tugas untuk mengurus hasil panen, menjadi ratu memang tidak mudah. “Kamu tidak salah apabila menyukai Lisa. Aku sering mendengar kalau perangainya sangat baik dan dia begitu sopan saat bertemu. Kapan kamu menyadari Lisa akan menerima lamaranmu? Kamu tentu tidak akan mengungkapkan jika tidak ada tanda yang diberikan olehnya. Aku cukup mengenalmu, Danius. Kamu putraku.” Weni tidak terlalu yakin kalau kepercayaan diri Danius datang begitu saja, pasti ada penyebab yang membuat Danius tidak enggan untuk mengutarakan.
“Ibu, benar. Aku merasa yakin saat Lisa terang-terangan masih mengingat kalau aku suka makanan yang manis sehingga dia menyuruh pelayan membawakan salad buah. Saat itu, aku merasa tatapan Lisa berbeda dari biasanya sehingga aku pun berani untuk mengutarakan. Aku merasa tidak akan ditolak jadi aku pun mengatakan apa yang bisa kukatakan untuk melamarnya.” Danius menyadari kalau Lisa mempunyai perasaan yang sama dengannya meskipun tidak bicara apa pun dan ketika Lisa mengatakan mau menjadi istrinya, ia bisa melihat pancaran bahagia dari mata Lisa. Itu membuktikan kalau Lisa mungkin telah menyukainya sejak lama.
Jadi semua ini berkat salad buah, Rados tidak terlalu menyangka saja. “Karena kamu sudah memilih Lisa sebagai calon istrimu, maka kamu harus memperlakukannya dengan baik. Kamu harus mempersiapkan diri untuk menjadi suami yang bisa membimbing dan menjaga istrimu. Kamu juga harus mempersiapkan diri untuk menjadi penerus ayah sehingga nanti kamu tentu bisa menjadi raja di kedua negeri Etanio dan Terate. Itu tugas yang cukup berat tetapi kamu sudah memilihnya, jadi lakukan yang terbaik. Aku dan Cassio akan membimbingmu pelan-pelan.”
Hampir saja lupa akan kenyataan kalau harus menggantikan sang ayah memimpin, Danius kini harus mempersiapkan diri lebih ekstra lagi. Ia juga ingin agar segalanya berjalan lancar jadi ia harus banyak belajar. “Aku mengerti, Ayah. Kalau begitu, aku akan pergi sekarang.” Danius berpamitan kepada orang tuanya untuk pergi ke negeri Etanio, ia tidak lupa membawa buku yang ibunya berikan. Ia juga ingin tahu selera calon istrinya seperti apa sehingga pasti itu sangat menarik.
Dibantu oleh prajurit untuk mengambil kuda dan membawa barang yang dibawa, Danius sudah bersiap berangkat ke negeri Etanio. Ia tidak pernah datang sendirian jadi rasanya agak degdegan tetapi ia tak lama lagi akan menjadi keluarga besar dari pemimpin negeri Etanio sehingga ia tidak boleh merasa khawatir. Ia mengendarai kuda dengan kecepatan sedang sambil memandangi jalanan yang dilewatinya. Negeri Etanio dan Terate lumayan dekat karena berbatasan langsung sehingga ia hanya perlu melewati jalanan kemudian taman bunga yang indah dan menemukan gerbang negeri Etanio terbuka lebar. Ia tersenyum pada prajurit yang berjaga sebelum melanjutkan perjalanan menuju istana yang dituju.
Seketika Danius menghentikan kudanya karena ia melihat ada orang yang tengah berkumpul, sungguh pemandangan yang hampir sama dengan apa yang biasa rakyat lakukan apabila ada waktu senggang. Melakukan sulap palsu untuk mengelabui orang yang menonton. Ia tidak akan tertipu sehingga melanjutkan perjalanan dan sampailah di depan istana yang megah. Ia berterima kasih pada prajurit yang telah memasukkan kuda di kandang, prajurit istana Etanio memang sangat gerak cepat daripada prajurit yang ada di istana ayahnya yang kadang harus disuruh dahulu. Itu keburukan prajurit negeri Terate dan ia mungkin harus memberikan pelajaran agar mereka bisa jauh lebih waspada dan gesit.
Danius melangkahkan kakinya masuk ke istana tetapi ia kebingungan karena tidak tahu harus ke mana. Biasanya ayah Lisa ada di singgasana, sayangnya kali ini tidak ada jadi ia menatap prajurit yang mempersilakannya untuk memasuki ruangan yang ternyata orang tua Lisa sedang duduk. Ia merasa terhormat saat disambut dan dipersilakan duduk oleh Cassio. Mereka calon mertuanya dan ia mendadak jadi tidak bisa mengatur detak jantungnya. “Aku datang ke sini untuk menemui Lisa, apakah dia ada?” tanya Danius.
Cassio melirik pada istrinya kemudian mengangguk. “Lisa sedang bersiap-siap. Kamu bisa menunggu di sini,” jawabnya sambil tersenyum. “Apakah kamu sudah sarapan? Buku apa yang kamu bawa?” Jelas sekali Cassio penasaran dengan buku gang dibawa oleh Danius karena banyak sekali. Ia menoleh pada istrinya yang mengangkat bahu padahal ia berharap istrinya bisa melihat buku apa yang dibawa karena ia tidak bisa melihat secara jelas.
“Aku sudah sarapan, Paman.” Entah mengapa, panggilan yang digunakan terasa begitu canggung padahal biasanya tidak. “Ini buku diberikan oleh ibuku, dia bilang aku bisa memilih pakaian pengantin dari buku ini, jadi aku membawanya barangkali aku bisa sekalian menentukan dengan Lisa. Aku tidak ingin memilih sendiri karena aku ingin Lisa juga memilihnya.” Danius bisa bernapas lega setelah memberi tahu dan ia bisa melihat Kiela tampak tersenyum. Ia tidak tahu harus bilang apa lagi.
“Aku harus berterima kasih pada Weni karena dia sudah membawakan buku-buku itu kemari. Jika kamu dan Lisa nanti sudah memilih, langsung beri tahu Ibu saja. Kamu bisa memanggilku Ibu mulai sekarang, jangan terlalu sungkan. Katakan juga pada orang tuamu kalau kami akan membantu untuk mempersiapkan gaun yang diinginkan, negeri Etanio punya tukang jahit yang bagus jadi tidak perlu mencari lagi.” Kiela menatap Danius yang tampan mengangguk, ia bisa melihat kalau putra Rados dan Weni terlihat gugup dan canggung. Mungkin belum terbiasa dengan statusnya yang telah berubah menjadi calon suami putrinya. “Itu Lisa sudah datang,” kata Kiela menatap putrinya yang berjalan mendekat.
Tatapan Danius tidak berpaling dari Lisa yang baru saja datang. Ia semakin mengagumi kecantikan Lisa karena ia sendiri bahkan tidak punya kata untuk sekedar memuji. Ia pun mendekati Lisa yang ingin duduk dan membaginya menggeser kursi. Ia merasa kalau posisinya sangat tidak enak dipandang oleh orang tua Lisa tetapi ia tidak ingin Lisa kerepotan kalau harus menarik kursi dengan gaun yang cantik. Ketika Lisa mengucapkan terima kasih dengan senyum merekah dan pipi merona, hati Danius menjadi hangat. Ia tidak salah memilih calon istri.