Jane termenung melihat kearah kaca jendela bangunan paling atas penthouse tersebut, segala fasilitas disana, segala kemewahan yang John berikan. Semua seperti ia bukan seorang sahabat yang telah ditolong, Jane mengerti perasaan John padanya. Meski ia belum bisa membalasnya namun lelaki itu sungguh bersabar, jika saja ia dapat menerima cinta John, mungkin kisah cintanya tidak akan serumit ini.
"Jane!" ujar seseorang dari belakang yang ia yakini adalah John.
Jane berbalik menatap lelaki yang telah rapi mengenakan blouse hitam dan dibalut dengan jaket kulit berwarna putih, Jane berusaha tersenyum. Walau dalam hati ia tak ingin tersenyum saat ini, memikirkan seseorang yang mungkin sedang dalam kondisi tidak baik mencari dirinya.
Jane akui ia sungguh pengecut, tak berani langsung menatap mata indah kecoklatan milik Arthur untuk sekedar berterima kasih atas tempat bernaung yang selama ini ia tinggali. Jane takut..
Takut jika pria itu mengancamnya lagi dan akhirnya ia tidak dapat meninggalkan Arthur lagi, seperti yang biasanya terjadi.
"kau baik-baik saja?" tanya John yang mendekati Jane.
Seketika lamunan gadis itu buyar, ia mengeleng lemah sembari menunduk.
"aku harus pergi, ada sebuah kontrak yang harus ku tanda tangani. Anggap saja rumah sendiri..." ucap John yang hanya diangguki oleh Jane.
Tak lama lelaki itu pamit untuk pergi, John sangat baik mau menerima Jane dirumahnya karena ia sendiri tidak tahu harus pergi kemana lagi. Selagi Jane mencari apartemen atau tempat sewa yang bagus, ia tak punya pilihan lain selain mengetuk kediaman John saat dini hari.
Saat semua orang masih tertidur lelap, Jane malah mengemasi barang-barangnya dan menuju ketempat John. John yang sangat murah hati mempersilakan Jane dengan senang hati bernaung di penthouse miliknya selama gadis itu mau, tanpa mempertanyakan perihal gadis itu pergi dari rumah pamannya. John sangat sabar untuk mendengar penjelasan Jane ketika gadis itu sudah siap untuk bercerita.
Jane mendesah resah, menghubungi Andrea dan Ethanpun rasanya akan sama. Mereka pasti akan menyerahkan dirinya lagi ke Arthur, Jane tidak ingin itu terjadi. Lebih baik ia pergi dari kehidupan pamannya dari pada harus menjadi boneka pria itu, memang awalnya ini adalah perjanjian gila mereka bersama.
Namun lambat laun itu malah membuat perih dihatinya, Jane tidak dapat menampik rasa cinta yang tumbuh untuk pamannya itu. Maka dari itu, ia tidak bisa menahannya lebih lama lagi. Tak sanggup menunggu sampai Arthur bosan dan membuangnya, ia hanya simpanan. Sama seperti yang lain, ia akan ditendang dari segala kemewaham yang ditawarkan oleh mereka yang berkantong tebal jika sudah bosan.
Jane tak mempermasalahkan itu, tapi yang ia pikirkan adalah cintanya. Lebih baik pergi sebelum benih cinta itu kian membesar dan malah akan menghancurkan hidupnya.
Jane berniat menata barang-barangnya yang masih terbungkus rapi dalam koper, namun ia mengurungkan niat ketika mendengar dering yang berasal dari ponselnya. Jane meraih benda kecil itu dari tasnya, terdapat nama Andrea. Sepupunya itu telah melakukan panggilan sebanyak 50 kali dalam sehari ini, begitupun dengan Ethan.
Jane berpikir, pasti Arthur mencarinya hingga kerumah Ethan dan Andrea, jika tidak. Mana mungkin sepupunya itu terus mengirimkam pesan teks dengan nada khawatir.
Jane mengetik sebuah teks berniat membalas pesan Andrea, berkata bahwa dirinya baik-baik saja dan tidak perlu khawatir. Ia mendesah resah, Arthur pasti akan murka pada dirinya. Bersembunyi adalah satu-satunya jalan agar pria itu tidak mengamuk pada orang-orang disekitarnya terutama John. Untuk itulah hari ini Jane tidak dapat hadir kestudio pemotretan, padahal hari ini John akan menandatangani kontrak besar dan dirinyalah yang ditunjuk sebagai potographer seniornya. Sungguh sesuatu yang langka, yang tidak dapat Jane ambil hanya gara-gara menghindari pak tua itu.
John...
Jane sempat berpikir ia telah menyeret John kepada masalahnya, ia tentu tidak ingin menyakiti lelaki itu apalagi sampai sesuatu terjadi padanya. Tapi harus bagaimana lagi? Jane tidak bisa langsung pulang ke London, bisa-bisa Arthur membongkar semuanya kepada ibunya. Jane sangat mengenal sikap Arthur jika dirinya sudah tidak punya pilihan lain, pamannya itu akan berbuat nekat.
Ting...
Jane mendengar suara lift terbuka, tidak ada seorangpun disana selain seorang pelayan. Dan rose si pelayan sedang berada didapur jauh dari lift itu. Jane mengernyitkan kening, tidak mungkin John pulang secepat itu. Karena hari ini adalah hari yang begitu penting bagi perusahannya.
Jane melangkahkan kaki menuju ruang utama, sepi tak berpenghuni. Ia mengernyitkan dahi, melihat sekeliling yang ada hanya berbagai perabotan mahal milik John dan sebuah sofa besar ditengah ruangan.
"halo?" ujar Jane, tapi tak ada jawaban.
"rose? Kau kah itu?" setengah berteriak Jane yang merasa khawatir akan penyusup kemudian berlari kearah lift yang terdapat alarm bahaya jika terjadi sesuatu, ia menekan beberapa tombol dan memasukan sandi yang telah John berikan sebelum ia pergi.
Alarm sudah terpasang, sepertinya ia sendirian dilantai paling atas bangunan itu. Tak ada tanda-tanda rose terdengar dari belakang dapur, itu artinya ia hanya sendiri...
Wajah Jane terlihat takut, ia memundurkan tubuhnya selagi memastikan alarm sudah benar-benar terpasang.
Brak!
Jane sontak berbalik setelah menabrak sesuatu, terasa bukan tembok ataupun benda apapun. Ia berbalik dan mendapati seorang pria dengan tubuh besar dengan jas berwarna biru dan kemeja putih didalamnya, pria itu memasukan kedua tangannya kedalam saku celana dan menunjukan wajah kejam yang tak pernah ia tunjukan.
Sebelumnya wajah itu hanya datar dan dingin, tapi sekarang wajah itu seperti singa yang segera ingin menerkam mangsanya. Dan sayangnya Jane adalah mangsa yang sangat dicari oleh singa itu.
Tubuh Jane seketika mundur teratur hingga membentur lift yang ada dibelakangnya, tangisnya hampir saja pecah melihat pria yang ia tinggalkan namun kini berhadapan dengannya dengan kemarahan dan segala kemurkaan.
"Uncle please... Biarkan aku pergi" rintih Jane disela tangisnya, wajah penuh ketakutan terlihat jelas diwajah Jane ketika pria itu melangkah pelan kearh dirinya.
"kau pikir aku akan melepaskanmu begitu saja, hm?" tanya Arthur mendekat padanya.
Dan saat itulah Jane menumpahkan segala kesedihannya, tubuhnya merosot kebawah ketika Arthur mencoba membawanya kembali. Jane meraung dan memohon agar pria itu melepaskannya dan membiarkannya hidup sebagaimana mestinya gadis lain.
Atau setidaknya ia bisa memilih jalan hidupnya sendiri tanpa ada yang mengatur dirinya apalagi tubuhnya.
"ayo Jane! Kau harus pulang!" titah Arthur menyeret Jane yang masih terduduk dilantai.
"No, Uncle!" cecar Jane sembari memukul kedua bahu dan d**a Arthur yang mencoba mendekatinya.
"you have to go with me, little one! 'cause you're mine"