Pindah ke Rumah

1390 Kata
Aku menghadangnya membuat dia jengah akan tingkahku. “Aa’ atau Sayang?” Ternyata setidak ingin itu dia dipanggil Sayang, dia memilih menyerah dan pasrah aku panggil Aa’. Lagi pula kenapa tadi aku tidak boleh memanggilnya Aa’ membuatku curiga saja. Sebelum sampai di restoran hotel, kami bertemu dengan Mas Seno dan keluarga kecilnya. Aku menyapa Luna dan Aa’ Ganda menyapa Mas Seno, tapi Mas Seno berlalu begitu saja. Sang istri pun tersenyum segan seraya mengusap punggungku lembut sebelum menyusul suaminya bersama Luna. Ketika sampai di restoran, keluargaku dan keluarga Aa’ sudah berkumpul di satu meja. Mas Seno ikut bergabung, terpaksa kami menggunakan meja lain. “Kamu mau makan apa?” tanya Aa padaku. Melihat aku tersenyum ke arahnya dia kembali bersuara. “Jawab, jangan senyum-senyum di gigimu ada lipstick,” lanjutnya lalu beranjak pergi meninggalkanku yang tengah menutup mulut. Ku raih ponselku membuka kamera dan bercermin dari kamera tampilan depan. Aku mengerutu kesal. Ternyata dia mempermainkanku, pandai bercanda juga rupanya. Aku kira dia sekaku kanebo yang kering. Aku menyusul Aa’ ke meja prasmanan yang menyediakan berbagai jenis menu sarapan. Aku mengambil sedikit nasi goreng mengisi pinggiran yang kosong dengan telor ceplok, sotong goreng tepung, dan nugget. Aku tersenyum ke arah Aa’ saat dia melihat piringku. Nasinya memang sedikit, tapi lauknya mengitari piring nyaris membulat sempurna. Aa’ mengambil dua ekor udang goreng dan meletakkannya di atas piringku hingga kini benar-benar menjadi bulat sempurna. “Aa’ ….” Aku menganga tak percaya melihat pemberiannya. “Tidak perlu berterima kasih,” ucapnya dengan sombong. Aku menarik kaosnya saat dia berbalik kemudian berhenti menoleh ke arahku. “Saya alergi udang,” lirihku. Dia tampak terkejut dengan cepat memindahkan udang ke piringnya seraya meminta maaf. *** Entah sudah berapa kali dia menyuarakan kata maaf hingga aku risih dengan rasa bersalahnya. Padahal aku sudah tidak mempermasalahkannya lagi. Papa dan Mama pamit naik ke kamar, mereka ingin mengemasi barang bawaan karena setelah ini akan checkout dan pulang ke Jepang. Sebelumnya, Mama dan Papa tampak bersalaman dengan Mama dan Ayah kemungkinan kedua orang tuaku menyampai perihal kembalinya mereka ke Jepang. Mas Seno pun mengikuti Papa dan Mama tanpa menyapa kami. Mama Ayu pindah duduk di kursiku meninggalkan sang suami yang tengah sibuk dengan telepon yang menempel di telinganya. “Nada,” panggilnya lembut “Ya, Ma.” Cepat aku mengusap bibirku dengan serbet membuat Mama tersenyum. “Sebelum koas menginap di rumah Mama, ya,” pinta Mama Ayu. “Aa’ belum ada waktu libur, Ma.” Bukan aku yang menjawab tetapi Aa’. Dia memotong pembicaraan sebelum aku menyuarakan jawabanku. “Kamu, ya, kerja saja. ‘Kan Mama mau ditemani Nada.” “Nada juga akan sibuk di kampus mengurus persiapan koasnya,” lanjut Aa’. Aku sampai tersenyum segan ke arah Mama karena terus mendapat penolakan dari anaknya yang enggan membawaku menginap di rumah orang tuanya. “Kalau kita belanja atau ke salon bareng gimana, Ma?” saranku tidak ingin Mama Ayu berkecil hati dengan penolakan anaknya. Mama Ayu yang semula murung, akhirnya tersenyum ceria dan menyetujui ideku. “Ih, ayo … nanti kita bicarakan waktunya lagi, ya, Sayang,” ujar Mama seraya mengelus lembut lenganku. “Mama telepon kamu, ya. Simpankan nomor kamu di ponsel Mama. Di sini ada orang resek,” lanjut Mama menjelingkan matanya ke arah anaknya. “Ma …,” tegur Aa tidak suka. “Merasa tersindir?” Aa’ hanya menggeleng dalam diam sebelum menegak habis jus-nya. *** Saat ini kami berada di Bandara, aku memeluk Papa begitu lama. Aslinya aku sedang menyembunyikan air mataku yang tiba-tiba saja mengalir. Aku tak lagi merasakan pelukan Papa seerat tadi kemudian merasakan seseorang berada di dekatku. Aku menoleh ternyata Papa juga membawa Aa’ ke dalam rangkulannya. “Papa titip Nada dengan kamu, ya.” Begitu mata kami saling bertemu, tangan Aa terulur—mengusap air mataku yang baru saja jatuh mendengar kalimat Papa. Setelah memberi beberapa petuah Papa dan Mama masuk menuju ruang tunggu. Luna sudah sibuk mengajak pulang meminta papanya jalan-jalan ke mall. Aku menyalami Mas Seno dan dia menarikku ke dalam pelukannya juga mengecup puncak kepalaku. “Kabari, Mas, kalau sudah dapat jadwal dan penempatan koas.” “Okey, Mas.” Aku tersenyum seraya mengacungkan jempolku ke arah Mas Seno. Aku menyalami Mbak Mita kemudian berlutut memeluk dan mencium Luna. “Apa saya melakukan suatu kesalahan, Mas?” Aku yang tadinya berjongkok kemudian berdiri saat mendengar Aa’ bertanya pada Mas Seno. “Kepalsuanmu yang terlihat jelas salah di mataku,” jawab Mas Seno. “Mas—” “Sejelas itu? Silahkan katakan sendiri kepalsuanku pada Prof. Sagara. Kami permisi pulang lebih dahulu,” pamit Aa’ Ganda berjalan ke arahku dan meraih tanganku. Aku sempat menggeleng ke arah Mas Seno sebelum akhirnya melangkah jauh. Aku memberi isyarat kepadanya agar tidak melanjutkan balasannya dan bertindak lebih jauh lagi. Aku takut keduanya akan tersulut emosi. Aa’ terus menggandeng tanganku dan melepasnya saat tepat di samping mobilnya. Dia membuka pintu mobil dan mempersilakanku masuk tanpa mengatakan apa pun. Sepanjang perjalanan hanya keheningan yang menemani. Aku berdehem sebelum akhirnya memberanikan diri untuk bersuara. “Maafin sikap Mas Seno, ya, Aa’.” Dia diam, menoleh pun enggan. Kemudian deringan dari ponselnya memecahkan keheningan. Aa’ menerima telepon dari layar mobil yang menyambung dengan ponselnya hingga suara seorang wanita dari seberang sana lantang terdengar. “Mas Ganda, semua barangnya sudah di bawa petugasnya sejak tadi. Ini Bibi baru selesai bersihin apartemennya, Bibi izin pulang, ya.” “Silahkan, Bik. Terima kasih banyak.” Setelah sambungan telepon terputus suasana kembali hening. Aku memperhatikan jalan yang kami lalui, ini bukan jalan menuju apartemen. Kuberanikan diri untuk bertanya, tapi tidak mendapat jawaban. Aa’ benar-benar diam membisu. “Mau mampir ke apotek dulu, nggak?” tanyaku padanya “Mau beli apa?” Dia mengerutkan keningnya menatapku sekilas. “Obat sakit gigi untuk Aa’.” Seolah tahu maksudku, dia baru menjawab pertanyaanku yang sudah terlambat. “Mau ke sini,” tunjuknya dengan dagu ke arah sebuah rumah yang terhalang oleh pagar. Aku masih berdiri di samping mobilnya begitu keluar tadi. Terperangah melihat rumah minimalis yang halamannya begitu luas. “Sampai kapan mau berdiri di situ?” tanya kesal karena aku terpaku di tempatku berdiri saat ini. “Ini rumah siapa?” “Rumah kita.” Kita? Mendengar kata kita hatiku terasa berbunga, aku hampir melompat gembira meski sudah ditinggal olehnya yang lebih dulu masuk ke dalam rumah. “Rumah kita?” tanyaku memastikan dan dia mengangguk. Ada beberapa tumpukan kardus yang aku yakini barang-barang dari apartemen miliknya. “Nada,” panggilnya menunjuk sofa memintakku duduk di sampingnya. “Kita akan tinggal di sini mulai sekarang, setelah ini saya ajak kamu berkeliling. Rumah ini sudah lama saya bangun. Bik Santi—yang kemarin menemanimu di apartemen—beliau datang ke sini seminggu tiga kali untuk membersihkan rumah.” Aku menelisik sedapatnya mataku memandang. Rumah satu lantai yang tampak unik, bagian ruang tamunya cukup luas terbagi menjadi dua bagian. Ruangan ini benar-benar hanya sepetak ruang tamu dengan hiasan minimalis, tapi tetap terlihat mewah. Setelah ruang tamu ini ada dinding serta pintu kaca menghadap taman yang membatasi bangunan di sebelah sana entah apa. Aku tersentak saat Aa’ meraih tanganku. “Kartu ini kamu pegang, kamu bisa gunakan untuk keperluan sehari-hari kita dan kebutuhan pribadi kamu. Saya akan memastikan isinya selalu cukup—” “Aa’, sepertinya ini terlalu berlebihan,” lirihku. “Sekalipun kita memiliki perjanjian, kamu wanita yang wajib saya beri nafkah … ehem—nafkah lahir.” Aku terus memandangi kartu debit di hadapanku dengan ragu. “Nada, pin pintu utama rumah ini dan kartu debit yang kamu pegang sama, yaitu tanggal semalam.” Aku mengangkat pandanganku begitu tadi namaku dia panggil. Aku mengerutkan kening mendengar ucapannya. “Tanggal semalam? Maksudnya tanggal pernikahan?” “Hm,” jawabnya ketus. Aku mengangguk paham, haruskah membuat aku berpikir? Padahal cukup bilang intinya saja. “Area ini hanya ruang tamu dan ada musolah di sebelah sana,” tunjuknya pada sudut lain. “Ruang keluarga dan beberapa kamar ada di bangunan seberang,” tunjuknya pada bangunan yang melewati taman. Karena Aa’ sudah beranjak meraih koperku, aku pun mengikutinya. Melewati taman dan masuk ke ruangan yang tampak kosong, tak seperti ruang tamu tadi. “Lain waktu kita belanja, kamu boleh isi ruangan ini agar tidak kosong begini.” Aku melihat ke arahnya seraya tersenyum. Dia kembali berjalan kemudian berhenti di depan pintu yang aku yakini sebuah kamar. “Ini kamarmu, Nada. Kita akan tidur terpisah.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN