Crush-nya Aku

1289 Kata
Nada’s POV Hari ini yang aku lakukan hanyalah tidur sepanjang hari di apartemen. Tubuhku terasa begitu lelah sebagian tubuhku masih terasa sakit karena ulah lelaki kurang ajar itu, Rio, mantan kekasihku. Meskipun sudah tiga tahun berlalu sejak putus, dia masih belum bisa menerima keputusanku saat itu. Dia selalu menggangguku puncaknya kemarin malam. Nasib baik aku dibantu oleh dokter Ganda. Dokter Ganda? Senyum mengembang di bibirku saat aku mengingatnya. Dering telepon di ponselku membuyarkan lamunanku tentang sosok dokter tampan itu. “Mama … Papa …,” sapaku begitu sambungan video call terhubung. “Hai, Sayang,” jawab Mama dan Papa bergantian. “Hai, jelek,” tambah Mas Seno dari seberang sana. Oh, ya, perkenalkan namaku Ashara Nada Faqiah, panggil saja aku Nada. Aku mahasiswi—wait, aku sudah tidak mahasiswi lagi. Aku baru saja mendapatkan gelar S. Ked beberapa hari lalu. Baru mendapat gelar, ya, aku belum sepenuhnya menjadi dokter, masih ada tahap selanjutnya yang menantiku. Hampir setiap hari aku melakukan panggilan video call pada kedua orang tuaku, tapi tak mengurangi rasa rinduku pada mereka yang berdomisili di Jepang. Papaku seorang dokter senior di salah satu rumah sakit di sana dan mamaku CFO di perusahaan Eyang Tama yang based office-nya juga di Jepang. Aku anak bungsu dari dua bersaudara. Yang barusan mengolokku itu adalah anak pertama Mama Gania dan Papa Sagara, Seno Pranadipa, masku. “Tidak salah lagi, Ma. Dia beneran Dokter Ganda,” lanjutku bercengkrama dengan keluargaku lewat sambungan video call grup keluarga menceritakan pertemuanku dengan dokter Ganda di restoran. Tentu saja aku tidak lanjut menceritakan pertemuan kami setelahnya, tepatnya di klub malam itu. Keluargaku tidak tahu perihal sikap Rio selama ini padaku, mereka tahunya kami putus karena LDR. Rio di Jakarta dan aku pindah ke Bandung bersama Mas Seno kala itu. “Dokter yang menyelamatkan kamu dari kecelakaan waktu itu?” tanya Mama. Aku mengulum senyum mengingatnya. Siapa sangka ternyata dokter Ganda tetanggaku di lantai ini. Papa yang sebelumnya sibuk berkutat dengan laptop di samping Mama, kini ikut masuk ke dalam frame. “Dokter Ganda Setiaji, spesialis bedah umum di rumah sakit Harapan Nusa,” ujar Papa acuh. “Ih, Papa sudah tahu dokter Ganda di Bandung, kok, nggak bilang-bilang! Kesel,” rajukku. Aku sampai menghentak-hentakkan kakiku menendang selimut. “Memangnya kamu mau ngapain kalau tahu?” lanjut Papa. “Mau minta dinikahkan,” ujarku seraya mengedipkan kedua mataku berkali-kali. “Sudah bakti seorang dokter untuk mengerahkan kemampuan dan dirinya untuk menyelamatkan setiap orang. Jangan kecentilan kamu, dia pun pasti tidak mengingatmu. Ada ribuan pasien yang dia tolong,” ujar Mas Seno dari seberang sana membuat mood-ku rusak. “Dokter Ganda Setiaji? Sepertinya Mas tidak asing dengan nama itu.” “Jahat banget, sumpah. Jangan SKSD, deh, sok kenal sok dekat.” Mas Seno hanya mengedikkan bahunya acuh. “Luna, Sayang …,” panggilku pada keponakan kesayanganku, si centil, putri pertama Mas Seno. Meski tinggal di kota yang sama, pada akhirnya aku memutuskan untuk tinggal terpisah dari Mas Seno dan keluarga kecilnya. Bukan karena tidak nyaman, aku hanya ingin belajar mandiri. Aku menyewa salah satu apartemen yang dekat dari kampusku enam bulan terakhir. Setelah ini, aku akan melanjutkan koas di luar daerah. Dan setelahnya aku akan menyusul Mama dan Papa ke Jepang, sekalipun aku tidak ingin. Panggilan video call berakhir, aku turun ke lobi untuk mengambil makanan yang aku pesan dari aplikasi online. Begitu kembali ke lantai di mana unitku berada, sebelum masuk aku sempat melirik ke arah pintu unit dokter Ganda. Aku kembali mengingat hari di mana dia mengusirku sore itu. Begitu dia mendorongku masuk ke dalam lift, aku menyadari berada di lift apartemenku dan lantai tempat dokter Ganda tinggal sama dengan unit yang aku sewa. Aku yakin ini bukan sekedar kebetulan, mungkin saja dia memang ditakdirkan untukku. *** “Kenapa dia ada di sini, Nada? Apa yang kalian lakukan?” tanya Mama saat kami berada di dalam kamar. Saking takutnya aku sampai menangis, entah apa yang terjadi pada diriku. Yang aku ingat, dokter Ganda bilang melihat Rio memasukkan sesuatu ke dalam minumanku. Tubuhku sedari tadi terasa panas dan ada hasrat yang terasa menggebu. Aku menceritakan semuanya pada Mama tanpa ada yang aku tutupi lagi. Mama memeluk tubuhku, aku menangis dan terus meminta maaf pada Mama. Mama pasti kecewa dengan apa yang beliau lihat tadi, tapi sungguh itu di luar kendaliku. *** Aku membuka mata dan menyadari matahari sudah menjulang tinggi. Tidurku begitu pulas setelah semalaman menangis dalam dekapan Mama. Tidak menyangka Mama dan Papa akan datang ke apartemenku. Mereka memang memberitahu bahwa mereka akan ke Bandung. Agenda rutin melepas rindu pada anak dan cucu, tapi rencananya mereka akan tiba malam hari dan langsung ke rumah Mas Seno. Ternyata mereka mengubah rencana tanpa memberi tahu aku terlebih dahulu. Keduanya datang ke apartemenku sementara aku sedang berada di luar bersama Anas, sahabatku, hingga terjadilah peristiwa semalam. Aku mendengar suara Mama, Papa, dan seseorang di luar sana, sepertinya mereka tidak hanya berdua. Aku bergerak lebih dekat ke pintu kamarku. Namun, aku membatalkan niatku untuk keluar saat mendengar pembicaraan mereka dengan Dokter Ganda. Ya, itu pasti suara Dokter Ganda. “Kapan pertemuan kami dengan orang tuamu Dokter Ganda?” “Pa ….” Aku mendengar suara Mama seolah menengahi. “Secepatnya, Prof.” Aku menutup mulutku begitu mendengar Dokter Ganda memanggil Papa dengan sebutan Prof. Apakah dia sudah tahu identitas Papa? Jabatan Papa di rumah sakit Harapan Nusa yang membuat aku menolak berhubungan dengan rumah sakit itu dalam hal apa pun. Aku tidak ingin semua gerak-gerikku dipantau oleh Papa. Apa lagi kalau orang tuaku mengetahui perihal Rio, habislah aku. Aku memilih untuk tidak bergabung dan kembali ke kasur untuk mencerna maksud pertanyaan Papa. Untuk apa orang tua dokter Ganda bertemu dengan Papa dan Mama, memangnya mau melamarku? Tunggu, apakah Mama dan Papa tidak marah tentang peristiwa semalam? Meski aku menutup mata dan mengerutkan kening, aku tidak bisa menemukan jawaban yang memuaskan dalam pikiranku. Suara ketukan pintu kamarku terdengar, dan ketika pintu terbuka, aku menarik selimutku lebih erat dan berbaring. “Nada.” Mama mengelus lembut lenganku hingga aku berbalik menghadapnya. “Bangun, ayo, makan.” Aku mengangguk dan berusaha untuk duduk dibantu Mama. “Atau mau makan di kamar saja?” “Boleh, Ma?” Kini giliran Mama yang mengangguk. “Tunggu di sini.” Aku merapikan tempat tidur dan duduk di bean bag di sudut kamarku dekat jendela. Tak berselang lama Mama masuk membawa nampan berisi nasi, sop ayam dan semangkuk mini sambal kecap. “Terima kasih, Ma.” Mama menarik kursi dari meja riasku dan duduk di sana mengotak atik ponselnya sementara aku menyantap makan siangku. Kemudian deringan dari ponsel Mama membuat aku mengalihkan sebentar pandanganku kepadanya. Terdengar beberapa kali Mama mengucapkan terima kasih dan memohon meminta bantuan pada lawan bicaranya. “Mohon bantuannya, ya, Jeng. Iya, aduh, terima kasih, loh. Sudah, ya, aku matiin teleponnya. Nggak sudah-sudah yang ada. Pokoknya aku percayakan semuanya ke kamu.” Mama kembali tertawa sebelum menutup sambungan teleponnya. “Nada.” “Ya, Ma.” “Di depan ada Dokter Ganda.” Aku terbatuk kemudian meraih botol minumku dan meneguk air hingga tenggorokanku lega, sambil melirik ke arah Mama yang tengah tersenyum melihatku. “Mau ikut Mama keluar?” Aku mengangguk, kemudian keluar kamar mengikuti Mama, membawa serta piring bekas makanku. Mataku sempat beradu pandang dengan Dokter Ganda. Setelahnya aku terus melangkah ke dapur, dia sudah bersiap untuk pulang berpamitan pada Mama dan mengangguk padaku sebelum akhirnya meninggalkan apartemenku. “Nada, ke sini,” panggil Papa. Aku menyahut dan berjalan ke ruang tengah setelah meletakkan piring di rak. Aku duduk di samping Papa dan langsung memeluk beliau. Meminta maaf dan menjelaskan singkat kejadian semalam. Aku merasakan belaian lembut di kepalaku. “Dokter Ganda bersedia bertanggungjawab dan akan menikahi kamu, Nada.” “Menikah?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN