Suasana begitu intim. Apalagi Ibas tak pernah mau mengalihkan tatapan ke Selly. Meski Selly berusaha kabur dari pandangan Ibas. Sayangnya Ibas mengembalikan fokus gadis itu kearahnya meski harus berulang kali.
"Gimana kamu mau,'kan. Aku jadi lelakimu." Ibas terkekeh. Ia sangat yakin hubungan percintaannya dengan Selly kali ini bisa berjalan mulus. Tak perlu ia menanyakan alasan malam itu. Toh, kalaupun mereka bersama 4 tahun yang lalu. Ia tidak akan pernah tahu, rasa apa yang bisa ia miliki untuk Selly. Yah, rasa cinta dan rindu yang begitu dalam. Perpisahan baginya sekedar meyakinkan dan mendewasakan diri masing-masing.
"Kenapa kamu bisa seyakin itu, Ibas?" Selly merapatkan bibirnya geram dengan mata melotot. Namun sekali gerakkan dari Ibas berusaha mendekati wajahnya ke wajah Selly seolah berniat menciumnya. Mematik reaksi Selly.
"Eeh, Ibas!" Tangannya menahan Ibas sampai gak sadar malah memegang d**a bidang itu. Pertahanan selama ini rontok cuma karena melihat wajah serta kerlingan mata Ibas.
"Kamu suka,ya?" Ibas tersenyum miring. Ia mengerti Selly cuma salah pegang. Tapi justru menguntungkannya. Ibas sengaja menahan tangan Selly. Meminta jemari kecil Selly meremas dadanya. Lantas ia merem melek seraya bergumam "Aaahh~"
"Iihh..., Bas Kamu tuh." Langsung Selly menyimpan tangannya. Ia geli sama kelakuan absurd Ibas, bibir Selly mengulum senyum.
"Kenapa sih?" tanggap Ibas ketika melihat kekehan yang berusaha Selly tahan setengah mati.
"Yah kamu. Lagian." Kembali Selly menahan tawa kali ini sembari menutup mulutnya dengan tangan.
"Huft," Ibas menghembuskan nafas. "Kamu harus kembali sama aku. Titik!" Ibas sudah lelah meyakinkan Selly. Saat ini ia cuma mau Selly menerimanya dan mereka bisa mengulang kisah cinta yang sempat kandas. Eem, enaknya mulai darimana,ya.
"Aku akan memilikimu bagaimana pun caranya," ucap Ibas sembari memainkan rambut Selly, menautkan helai demi helai di belakang telinga.
"Jangan kepedean, Bas. Aku gak mau sama kamu!" Gadis itu mencoba menggeliat. Pria dan wanita berbeda. Kalau Ibas bisa santai mengijabarkan perpisahan sebagai kesempatan memperbaiki diri tetapi Selly berfikir lebih jauh. Bagaimana jika Ibas semakin binal. Gimana kalau ia masih seperti dulu. Playboy!
Tidak, tidak.., usia Selly bukanlah saatnya untuk bermain-main. Ia lelah bila harus menjalin hubungan tanpa kepastian. Seakan hanya ada kata pisah di ujung sana.
Selly mencoba kabur dari Ibas. Namun, Ibas lebih cepat mendekatkan birainya di telinga Selly demi berbisik.
"Kini. Kamu satu-satunya yang aku fikirkan!" Semestinya Selly terenyuh. Tetapi kekerasan hati mengantarkan respon lain. Ia mendorong Ibas lebih kuat dari tadi. Ibas jadi terbawa emosi. Ia mencekal lengan atas Selly dan berteriak supaya mengatensi gadis itu.
"Memangnya apa yang harus aku katakan jika memang seperti itu kenyataannya. Karena kamu, aku kayak gini. Sekarang kamu malah berusaha menjauh." Hatinya sakit terus mendapatkan penolakkan dari Selly. Terutama harga dirinya terasa terluka.
Ketika yang sama, Dirga datang. Remaja dengan tas ransel masih terpasang di punggung, juga topi base ball yang mulai rusak karena terus dipakainya. Ia menatap kedua orang dewasa itu dengan tatapan terkesima. Satu yang Dirga sadari. Kakaknya dalam bahaya, dan ia harus berteriak sekencang-kencangnya. Masalah cowok itu siapa. Tanya nanti saja, tunggu babak belur. Pokoknya dia sudah menjahati Kak Selly!
"Tolong, ada maling. Maling!!" Dirga membuka tasnya dan siap dipukulkan ke Ibas.
"Lo maling,ya. Tolong maling!" Suara menggelegar kedua kalinya akhirnya mampu menyadarkan Ibas dan Selly. Mereka menatap Dirga. Tanpa merembukkan lebih dulu, Selly dan Ibas bekerja sama menutup mulut bocah lelaki itu.
"Iih. Bukan maling!" Kuat Selly membekap mulut adiknya. Ibas pun sampai terangga. Kalau adiknya mampus kehabisan nafas gimana? Namun sisi hati lainnya. Ibas setuju dengan perbuatan Selly. Yah, daripada dia yang digebukkin setelah diteriaki maling.
Ibas melirik keluar pintu. Untung saja gak ada yang mendengar suara teriakkan Dirga.
"Ayok kita bawa masuk dulu!" Ibas memerintah Selly. Ia juga mengangkat kaki Dirga dan memboyongnya ke kamar
'Anjiirrrr..., Kak. Ini gue, Kak. Adek lo. Ngapa jadi digotong kayak gue mau jadi kambing guling aja.' suara hati Dirga murka.
Ia menendang-nendang Ibas sementara pada Selly. Dirga pasrah saja. Ia cukup besar untuk tahu hubungan dua orang ini. Jangan-jangan pria ini mantan kakaknya yang minta balik. Tapi sama Kak Selly-nya gak disetujui. Jadinya berbuat kekerasaan seperti tadi. Oh, tidak semudah itu Ferguso! Biar nanti dia aduin sama Mama!
Akhirnya sampai juga ke kamar setelah tadi susah payah menggotong Dirga.
Selly sesaat menarik nafas dalam.
"Kamu tuh. Bisa gak sih tanya dulu. Jangan langsung teriak dong! bikin kaget aja." Ia menarik telinga Dirga. Dirga mengadu kesakitan "Aduh Kak. Lagi genting masa aku nanya sih. Dikata lagi debat banyak tanya," protesnya. Dirga hanya gak mau Selly dalam bahaya. Selly langsung menarik tangan dan meletakkan di dadanya. 'Eh,ya betul juga,ya, Dirga.' kata hatinya membela prilaku sang adik.
"Yah aku gak tau dia siapa. Bisa aja dia maling atau mantan yang mau balikkan lagi. Tapi dari yang aku lihat dia udah nyakitin Kakak." Dirga menunjuk Ibas tapi pandangannya ke Selly. Selly berdehem.
"Dia bukan maling," katanya membela Ibas.
"Terus kalau bukan maling apa. Mantan frustasi? Iyah...!" Dirga tidak tahu kalau kakaknya itu jomblo ngenes sebab sulit sekali mendapatkan pasangan. Jika disini ada yang disebut mantan berharap balikkan. Yah.., itu Selly.
Walau gitu, Selly mengangguk samar. Ia gak mau terlihat tidak laku di depan Dirga. Itu gak baik buat memupuk kepercayaan diri Dirga. Dirga kudu tahunya keluarga mereka itu laris manis banyak yang suka. Titik!
***
"Mana suprise party,ya, Babe?" Rian memandang rumahnya begitu puas. Ada kelegaan karena mulai kini ia tidak perlu lagi pulang-pergi Indonesia. Tetapi sudah menetap. Tangannya melingkar di pinggul Manda. Rian juga mencium puncak kepala Manda. Bahagia, diberikan suprise party. Dalam fikirannya, party-nya sudah siap. Namun kekehan Manda membuat Rian ragu
"Gak ada?" selidik Rian. Manda membela diri. "Bukannya gak ada. Tapi.., kamu sih pulang yang cepet!"
"Lho kok aku. Jadi kamu gak suka aku pulang lebih cepat!"
Rian menjauhkan dirinya. Tak lagi merangkul Manda dan malah menautkan tangan di d**a.
"Rian gak gitu." Terpaksa Manda menarik Rian. Tentu ia sangat bahagia Rian pulang lebih cepat. Bahkan jika lelaki itu bisa lebih awal satu menit saja. Manda akan sangat bersyukur. Akhirnya penantiannya berbuah manis. Tidak ada lagi cerita menahan rindu untuk pacarnya itu. Apalagi gini... Tadinya Rian berencana pulang akhir bulan. Tetapi baru pertengahan bulan ia sudah bisa di sini.
Itu karena Rian berusaha keras untuk kembali ke negara asalnya. Hidup di luar cukup mengasikkan selain bisa belajar budaya setempat Rian juga bisa mendapat teman baru. Namun semua itu tidak bisa menandingi cinta keluarga. Rian pun sedih karena Manda terlihat kecewa mendapati kepulangannya.
"Aku cemas karena ini. Aku juga belum beli kado untuk kamu, Rian!" sungut Manda. Seharusnya kemarin habis dapat kabar Rian kembali. Manda berbelanja bukan malah galau seharian.
Rian mengulum senyum. Buat apa sih kado. Toh, dia gak ulang tahun. Lagi, ia hanya ingin Manda tersenyum manis juga mengatakan kalau dirinya mencintai Rian.
Rian mencubit kedua pipi Manda. Supaya sadar gitu lho!
"Eeegghh.. Masyih beantakan, Rian." Manda bicara ketika pipinya ditarik Rian.
"Apa sih yang berantakkan?" selidik Rian. Bukannya Manda itu sejajar dengan kata semberono. Kalau dia bisa menanggalkan istilah itu barulah Rian kaget.
Katakanlah, sebanyak apapun waktu yang Rian kasih. Manda pasti selalu gak siap dan alasan ada yang lupa. Namanya juga pelupa.
Manda menunjuk balon-balon yang belum ditiupnya. Niatnya dipasang ke atap. Tapi kok kayak ulang tahun bocah,ya. Huuh! Gak tahulah. Rian nurut saja.
Rian terjongkok. Ia mengambil balonnya. "Kalau ini mah gampang. Ya udah yuk kita kerjain." Padahal ini suprise party untuknya. Tapi Rian malah turun tangan sendiri.