Trouble Maker
'Aku sudah berusaha berlari menjauh dari kenangan. Namun tiap kali aku melihat halte bus, aku selalu teriang olehnya. Aku juga gak sanggup untuk melihat taman itu. Bohong, katanya..., tempat itu akan menjadi tempat yang menyenangkan untuk kita. Tetapi kamu pergi sampai setiap lewat sana hatiku selalu pedih.'
Ibas beringsut dari kursinya. Dia menatap keluar dari jendela ruangannya. Hujan membasahi, mega-mega di langit menjadi gumpalan hitam. Seperti rasa rindunya. Kepada gadis yang selama kurang lebih empat tahun ini tidak dia jumpai. Tepatnya setelah mereka memutuskan mengambil jalan masing-masing di malam itu.
"Rinduku seperti awan. Menggumpal dan tak tentu arah!" Dia mengatakan lirih. Tapi berharap jeritan hatinya bisa didengar Selly dimanapun gadis itu berada.
Setelah lulus sekolah. Kehidupan Ibas berubah. Keadaan neneknya yang sakit-sakitan memaksa dia mengambil kuliah magister manajemen berbarengan dengan kuliah kedokteran anak. Dua titel yang setidaknya mesti dia kuasai jika ingin menduduki posisi kepala rumah sakit. Cita-citanya sebagai seorang detektif satreskrim mesti kandas. Tapi semua terbayarkan setelah belajar giat, Ibas bisa dikatakan layak menyandang status kepala rumah sakit.
"Pak, ada masalah di yayasan penitipan anak. Pengajar cabutan yang kita panggil untuk mengisi kekosongan bertengkar dengan orangtua pasien," tutur Bella, bagian tata usaha urusan dalam.
Rumah sakit ini lebih diperuntukkan untuk pasien kanker. Terutama kategori penderitanya yaitu ibu dan anak. Gak cuma dilengkapi ratusan kamar rawat inap. Tapi rumah sakit ini juga punya rumah singgah. Dibuat untuk siapa saja yang lagi menjalani pengobatan rutin, sedang sebenarnya mereka bukan berasal dari ibukota.
Jangankan menyewa rumah kontrakkan selama masa pengobatan. Terkadang pasien-pasien itu tidak sanggup membayar biaya rumah sakitnya. Dan semenjak dia memimpin rumah sakit, Ibas membantu meringankan biaya pengobatan untuk orang miskin. Ibas setidaknya mengesahkan banyak program pengurangan biaya yang bisa dinikmati pasien kurang mampu. Salah satunya adalah menarik keuntungan rumah sakit ke margin terendah. Juga menggalang dana dari lembaga swadaya masyarakat.
Dia lebih banyak bertindak untuk para pasien miskin. Karena Ibas berharap semua pasien bisa mendapatkan pengobatan maksimal.
Gak cuma itu.., dia mendatangkan guru-guru yang bisa mengajari anak-anak itu. Ibas gak mau karena lamanya pengobatan anak-anak jadi kehilangan waktunya untuk belajar. Karena sikapnya Ibas disebut dokter berhati malaikat.
'Hm, gimana mau kencan dan mencari pengganti kamu. Kalau setiap hari ada saja masalahnya. Sebenarnya siapa guru itu. Tumben-tumbenan berantem sama orangtua pasien?' batinnya menimbang. Salahkan Ibas yang tidak mengecek profil guru yang dia pekerjakan dan malah menumpuk CV-nya diantara majalah lama.
"Ya sudah, saya nanti kesana." Sebenarnya apa ini juga urusannya. Bukankah rumah sakit ada pihak HUMAS yang dibayar untuk menjaga hubungan baik antara rumah sakit dan pihak luar. Sayangnya Ibas juga gak bisa berpangku tangan. Dia begitu mencintai rumah sakit ini sampai rasa kepeduliannya begitu tinggi.
Ibas sampai di rumah singgah.
"Sekarang panggilkan guru sementaranya!" titahnya ke Bella. Tetapi ketika Bella mencari, gadis itu sudah tidak ada. Dia pergi tetapi sempat meninggalkan pesan ke bagian personalia golongan dua, yaitu bagian yang mengurusi p********n untuk pekerja sementara atau pun honorer.
"Tapi dia minta gajinya setengah hari dibayarkan, Pak." Adu Bella. Ibas mendelik. Bukannya dia gak mau bayar. Ibas juga tahu, atasan yang baik adalah orang yang membayar keringat bawahannya dengan adil dan sepadan. Dimana ada pengabdian maka disitu ada reward yang dia berikan. Tapi kalau setengah hari saja bekerja, wanita itu sudah minta bayarannya, apa bukan sama saja dia sedang memeras rumah sakit.
"Bilang sama dia. Rumah sakit ini gak bisa membayar pekerja yang baru bekerja selama beberapa jam. Minimal dia harus bekerja tiga hari kalau ingin dibayar," ucap Ibas dengan amarah yang berusaha ditahan. Hei, keuangan rumah sakit sudah memakai sistem dan setiap bulan akan dilaporkan ke lembaga pajak. Artinya, dia gak bisa mengeluarkan recehan untuk membayar setengah hari upah karyawan cabutan.
Ibas menggeleng, kalau gak bisa bertemu si-trouble maker. Maka dia akan menemui pihak satunya lagi. Yaitu orangtua pasien
Ibas tersenyum lembut. Dia memperlakukan semua pasien sama. Dimatanya uang tidak menjadi jaminan supaya sikapnya berubah. Ibas hanya senang saja menjalani bisnis keluarganya selebihnya dia tidak begitu peduli.
Seraya menyentuh kepala seorang anak yang tertutupi topi kupluk dia memanggil. "Hai, adek. Lagi apa?"
Anak itu menatapnya takut. Tangannya juga gemetar seperti orang yang habis dimarahi.
"Kamu kenapa, apa kedinginan?" tanya Ibas. Mungkin paparan radiasi kemotherapi yang membuat bibirnya memucat dan tatapannya berlinang air mata. Mau gimana lagi, tapi itulah konsekuensi yang harus diterima para penderita untuk sembuh.
"Kamu sakit?" Ragu, itu yang Ibas rasakan. Ibas selalu takut bertanya seperti ini. Sebab nantinya hatinya akan mencair dan dia jadi gak mood seharian.
"Kan gue udah bilang. Kalau mau sembuh lo harus makan. Makan, susah banget Lo jadi orang!" Seorang pria menoel kepala anak itu ketika Ibas masih di depannya.
Ibas menjauhkan wajah. Hah! Apa yang dia lakukan? Ibas tidak percaya perlakuannya meski menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri.
"Pak!" Ibas berdiri kembali dengan pongahnya. Rasanya dia mau memelintir tangan itu.
"Kenapa. Anak ini, anak saya. Dia gak mau makan sejak kemarin. Gimana bisa minum obat. Gimana bisa cepet sembuh. Lo pikir di sini enak, tidur ramean kayak gini. Hah!" Kembali tangannya mau menempeleng. Tapi Ibas mencekalnya.
"Wajar untuk anak yang baru kemotherapi jadi gak nafsu makan. Seharusnya Bapak tahu itu!" Emosinya tak terkendali lagi. Tetapi bapak itu menampik kembali,
"Saya cuma mau cepat pulang, Dok. Saya juga mau kerja lagi gak terus berada di sini." Keputus-asaan yang membuatnya gelap mata. Memang berat berharap akan hal yang gak pasti. Kadang perasaan itu menimbulkan frustasi-frustasi lainnya.
"Tapi jangan kayak gini, Pak," kritik Ibas lemah. Dia mengerti posisi bapak itu. Cuma saja, Ibas juga gak bisa melakukan apapun.
"Ahk, anda sama saja dengan wanita tadi. Dia juga sok-sokan ngajarin saya. Apa mentang-mentang kalian fikir, kalian pintar. Punya jabatan sampai berusaha mengajarkan saya." Bapak itu marah tidak jelas tapi karena itu juga Ibas tahu. Ternyata guru itu bertengkar karena masalah ini. Pantas saja, dalam hati dia jadi memaklumi sikap pekerja sementara itu.
"Saya begini karena gak ingin Bapak menyesal nantinya," ucap Ibas. Dia sudah melihat bahkan merasakan sendiri.., bagaimana rasa penyesalan membunuh karakter seseorang perlahan. Sampai rasanya kebahagiaan amat tak pantas untuk digapai.
Bapak yang terlanjur emosional ingin memukul Ibas. Sungguh dia gak pernah menduga dokter muda itu juga pemilik rumah sakit. Memukul dokter saja sudah salah apalagi pemiliknya?
Sayang, Ibas juga gak semudah itu dikalahkan. Dengan sigap dia menampik serangan dan melumpuhkan lawan. Ibas memelintir tangan sang bapak ke belakang. Membuatnya menjerit dan mengaduh kesakitan.
"Tahan emosimu!" titah Ibas tegas.
***
Ditempat lain, Selly lagi bergerutu karena baru saja bertengkar dengan bapak-bapak berjiwa tempramental.
"Huuh! Tuh bapak lagi dapet apa. Kok bisa baper gitu, sih?!" ucapnya geram. Untung saja Selly cepat pergi dari sana sebelum ketemu pria yang sangat ingin dia jauhi.
Orang itu Ibas. Waktu tahu kalau rumah singgah yang memperkerjakannya adalah bagian dari rumah sakit Kisah Kasih. Selly langsung teringat dengan cinta pertamanya.
Meski waktu terus berlalu, namun dia gak pernah bisa melupakan Ibas. Mungkin dia orang yang payah. Bagaimana bisa, rasa itu malah semakin kuat mendera seakan memaksa minta dipuaskan. Ingin sekali Selly bertemu Ibas kembali... Sayang, dia gak punya alasan menampakan wajahnya di depan Ibas.
Semua itu membuat Selly jadi berubah. Perlahan dia menutup diri termasuk tidak pernah sekalipun terlibat kisah cinta kepada pria lainnya. Hanya Ibas.., dan tak akan pernah ada yang lain.
'Maafkan aku karena telah lancang terus mencintai kamu. Aku sudah berusaha menjauhkan perasaan ini. Tapi sayangnya aku juga gak mampu.
Mungkin saat ini kamu sudah berbahagia dengan wanita lain. Atau kalian sudah merencanakan pernikahan. Sedang aku di sini, hanya bisa mendoakan kebahagiaan kamu dari jauh.'
Bagaikan sekuntum bunga yang jatuh diatas air. Meski akhirnya bunga itu layu terbawa arus. Tetapi sesaat bisa memperindah air. Dan Selly inginnya dia memiliki arti seperti bunga itu. Walau sekejap, dia bisa mewarnai Sang air. Dapatkan suatu saat dia merangkul harapannya. Entah! Selly lelah menampiknya. Kini, setelah tahun-tahun berganti. Dia membiarkan rasa emosional itu menguasai perasaan. Membiarkan rasa itu menguap dengan sendirinya.